Belajar dari Semua Bangsa

  • 4
Kalau belajar bahasa asing Eropa untuk mengenal  Eropa. Melalui Eropa kau baru mengenal bangsamu sendiri. Belajar bahasa-bahasa Eropa bukan berarti kau harus tidak bicara dengan bangsamu dan hanya  bicara pada orang-orang eropa.

Itulah sebuah kutipan dari novel Anak Semua Bangsa yang di tulis Pram. Saya kira namanya cukup populer, lebih populer di kalangan para pembaca dan penikmat novel, karena dia adalah seorang novelis yang tersohor di berbagai negeri. Novel Anak  Semua Bangsa ini adalah Novel kedua setelah Bumi Manusia. Dan novel ini dibentuk dalam sebuah tetralogi.

Membaca sebuah novel, layaknya menelusuri jejak perjalanan dengan segala batu sandungan, suka cita dan gelombang yang membentuk karang menjadi pahatan yang indah. Segala emosi yang dikeluarkan pengarang lewat novelnya bisa kita rasakan juga dalam posisi duduk dibawah senja, atau dibawah langit yang meninggalkan birunya dengan taburan bintang dan bulan yang mengintip dari celah langit. Darinya kita bisa mengambil pelajaran, mengambil hikmah dari hidup dan menempelkannya menjadi sebuah laku, bukan hanya mengikuti jejak emosi dalam sekejap.

Adalah sebuah perjalanan panjang sebuah ilmu pengetahuan yang masuk ke Indonesia. Dan kekakuan seorang Pribumi terpelajar bernama Minke yang selalu merasa bangga dengan Eropa dan tulisannya yang selalu berbahasa Belanda. 

Kekakuan yang membuat ia dituding melupakan bangsanya, melupakan tanah kelahirannya, karena ia terlihat seperti kacang lupa kulitnya. Sosok Minke yang seorang penulis, telah lupa bahwa kewajibannya tidak hanya menulis saja, menulis untuk kepentingan Belanda, dengan segala kebanggaannya. Sedangkan sebangsa pribuminya sendiri tidak bisa mengambil pelajaran dari saudaranya yang mempunyai pengetahuan yang lebih, dari semua bangsa. Namun ada sumber yang mengatakan bahwa Minke adalah seorang jurnalis pertama dari Indonesia dalam novel ini.

Jaman modern ini telah menyampaikan padaku buah dada untuk menyusui aku, dari pribumi sendiri, dari  Jepang, Tiongkok, Amerika, India, Arab, dan semua bangsa di muka bumi ini. Mereka adalah induk-induk sejarah yang menghidupi aku untuk menjadi pembangun Roma! Apakah kau benar akan membangun Roma? Ya, jawabku pada diri sendiri. Bagaimana? Aku tak tahu. Dengan rendah hati aku mengakui, aku adalah anak semua bangsa dari segala jaman, yang telah lewat dan yang sekarang. Tempat dan waktu kelahiran, orang tua, memang hanya satu kebetulan, sama sekali bukan sesuatu yang keramat.

Mengawali sebuah perjalanan pengetahuan yang masuk kedalam diri Minke, seluruh pengetahuan  didapatnya dari seluruh bangsa. Karena dengannya dia bisa membangun Roma, membangun suatu hal yang bisa dinikmati manusia di Buminya ini. Hal itu bisa diawali oleh sebuah pemikiran seorang yang mulai berfikir revolutif, membongkar pemikiran yang membeku, meminimalisir penggunaan akal dan melatih otot-otot lengannya untuk mendapatkan senyuman dibawah telunjuk-telunjuk pemilik modal atau seorang Nyai. Seperti yang dilakukan Darsam terhadap Nyai Ontosoroh.

Darsam, dan orang-orang seperti dia, baru sadar : selama ini hidup hanya terkandung pada jari-jari kanan. Hidup dan jari-jarinya. Mendadak, jari-jari itu tak dapat dipergunakan lagi. Dia baru tahu setelah modalnya rusak, modal hidup si jari-jari. Orang lain berlagak bekerja dengan otak, belasan tahun dia belajar, belajar berfikir untuk bisa hidup secara layak sebagaimana dia kehendaki. Juga pada suatu kali otak bisa rusak. Lenyap semua pendidikan dan latihan belasan tahun. Gentayangan seperti hewan di makan hari, tak tahu lagi diri masih manusia.

Pram selalu menampakkan bahwa kemanusiaan itu  perlu dijunjung, karena bagaimanapun juga bumi ini adalah bumi manusia.   Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berfikir waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang memang berjiwa kriminal, biarpun dia sarjana.

Sehingga melalui Nyai Ontosoroh nampaknya Pram menampakkan sosok seorang yang mampu mencukulkan manusia dari ketertindasan. Dia menampilkan sebuah kehidupan Nyai yang terhina dengan segala kemampuannya mengangkat segi-segi kemanusiaan.

Nyai Ontosoroh adalah sosok perempuan jawa yang dengan keadaannya yang tertekan oleh segala hal terutama kelakuan suaminya, membuat dia bisa bangkit dan membangun. Seorang wanita yang berfikir, tidak lagi bisa kalah dengan ketertindasan sebagai Nyai. Berbeda dengan wanita-wanita Jawa kebanyakan, yang hanya bisa menunduk patuh terhadap Tuannya. Dia mempunyai keberanian sehingga dengan itu, dia bisa belajar dari apapun dari manapun, dengan satu keyakinan bahwa manusia adalah manusia yang harus menjadi manusia. Dia juga yakin bahwa orang yang menulis akan merubah segalanya, yang membuat dia sayang kepada menantunya, Minke.

Menulis bukan hanya untuk memburu kepuasan pribadi menulis juga mengisi hidup. Ungkap Pram, yang membuat tulisan-tulisan saya memerah, dan merunduk malu, jangan-jangan tulisan-tulisan saya hanya memburu kepuasan itu. Tapi saya sudah mengenal terang itu dan harus memburunya, saya yakin suatu saat bisa menemukan terang. Walaupun jalan yang dilalui harus dengan meraba dan meraba, dengan keadaan air yang deras. Saya tahu, jalan yang dilalui bukan jalan yang mudah, dimana disana saya harus menunduk, bahkan saya harus jongkok dengan air yang sudah mencapai dada. 

4 komentar:

  1. saya merinding bacanya.aneh memang.

    tapi saya juga suka menulis, sehingga ketika saya membaca kata perkatanya saya jadi merinding.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iyah mba,, ada kegundahan juga dalam hati seorang penuls, memang.

      Hapus
  2. Wow, Pelajaran yang luar biasa....
    Jadi tertarik lagi baca-baca Novel..

    BalasHapus
    Balasan
    1. enyaa,,, eta nu dina lemari ang novelna,, bumi manusia.

      Hapus

Mari berbagi pengalaman dan fikiran untuk terus belajar... :)