Menanggapi kasus-kasus diskriminasi yang
belakangan ini terjadi di negara republik Indonesia, membuat sebagian kaum muda
merasa tersentuh hatinya untuk segera bergerak mengangkat 'senjata' melawan
penindasan.
Manusia, adalah makhluk sosial, maka semestinya
melindungi hak-hak setiap manusia. Seperti hak untuk bersuara, hak untuk
berfikir, hak untuk bertindak dan hak lainnya. Selain hak, manusia juga
memiliki kewajiban untuk orang lain dan dirinya sendiri, yaitu kewajiban untuk
menghargai suara orang lain, kewajiban untuk menghargai pendapat orang lain,
dan kewajiban untuk menghargai tindakan orang lain. Jika hak dan kewajiban itu
sudah menjadi budaya yang kita pegang dengan erat dalam benak dan fikiran, maka
tidak akan ada konflik yang berarti. Dan barangkali itulah cita-cita setiap
bangsa demokrasi.
Negara kita, Indonesia memiliki landasan
yang sudah seharusnya ditancapkan dalam sanubari. Yaitu, Pancasila. Dalam
pancasila memuat dasar-dasar dari apa yang seharusnya manusia Indonesia
lakukan. Periketuhanan, perikeadilan, dll adalah sebuah jalan yang sudah
ditawarkan Indonesia sebagai negara Bhineka Tunggal Ika.
Selain itu, dalam berbagai hal lain lebih
dikhususkan dalam UUD. Dalam pelaksanaanya haruslah ada sebuah kerjasama yang
intens antara masyarakat dan pemerintah. Sehingga setiap kebijakan tidak akan
mendiskreditkan satu pihak, atau mengunggulkan satu golongan. Yang nantinya
akan membuat negara Indonesia ini dipegang oleh satu golongan yang akan
mendominasi dan mengikis hak serta kewajiban orang lain.
Seperti halnya kita lihat hari ini,
ternyata memang untuk membentuk negara majemuk menjadi sebuah negara yang aman
dan damai, serta menjalankan hak dan kewajiban memang sangatlah sulit. Banyak
permasalah superioritas, ingin menjadi lebih unggul, sehingga terjadilah sebuah
diskriminasi. Seperti halnya yang disoroti oleh sekelompok pemuda yang peduli
akan bangsanya itu. Yang menyuarakan aspirasi dan menggugah hati pemuda lain,
dengan jalan ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace) Youth Camp
dengan tema "Membangun Harmoni dalam Keberagaman, Merayakan
Perbedaan".
ICRP Youth Camp dilaksanakan di sebuah
Vihara Vipassana Graha, Lembang-Bandung. Dengan menghadirkan pemuda dari
berbagai agama di Indonesia, Islam, Kristen, Hindu, Budha, Islam Syi'ah,
Ahmadiyah, Baha'i, dan Sapta Darma. Semuanya berkumpul dalam satu ruangan,
berbincang bersama, bekerjasama dalam sebuah permainan, dan acara yang
diselenggarakan panitia. Canda tawa melebur menjadi sebuah harmoni, dan damai
benar-benar ada dalam benak kami bersama.
Dan kami, berkumpul bukan tanpa alasan.
Diskriminasi yang dialami kawan-kawan yang hadir di tempat itu yang membuat
kami ingin menyamakan suara untuk melawan kekerasan sesama manusia. Seperti
kasus yang dialami sahabat Syi'ah di Sampang. Dan kisah pilu yang dari keluarga
HKBP Philadelphia yang mengalami kekerasan dari masyarakat. Yang akhirnya harus
beribadah secara terbuka di pinggir jalan. Hal ini bukan tidak adanya tindakan
dari HKBP Philadelphia, yang mana sebelumnya mereka sudah mengirim surat kepada
bupati setempat untuk membuat surat izin tempat ibadah, namun sayang surat
tersebut tidak digubris. Sampai puncaknya terjadi saat natal tahun lalu, mereka
di hadang masa, dilempari telur busuk, air kotor dll.
Terkait dengan administrasi, hal serupa
dialami oleh pemeluk agama Baha'i dan Sapta Dharma saat ingin membuat KTP.
Hanya diakuinya enam agama yang ada di Indonesia, membuat pemuda ini harus
pasrah menerima kolom isian KTP yang diisi tidak sesuai dengan kepercayaan yang
dipeluknya, namun mengisinya dengan pilihan enam agama tersebut.
Jika hal ini kita alami, apakah kita
tidak akan merasa didiskriminasi sebagai warga Indonesia, warga yang senantiasa
akan memberikan sumbangan terhadap keragaman bangsa Indonesia. Pemuda adalah
harapan bangsa, jika bangsa saja tidak mengakui, bagaimana bisa sumbangan hebat
mereka diabaikan.
Komisi III DPR RI, Eva Kusuma Soendari
menyadari pula hal tersebut. Ia berkomentar bahwasanya telah diputuskan oleh MK
bahwa negara tidak memiliki wewenang untuk menentukan agama resmi dan non
resmi. Karena agama lebih dulu ada daripada negara. Dan ia pun merasa bahwa
pencantuman agama dalam KTP merupakan sumber diskriminasi. Namun, jawaban
simple diberikan oleh pemerintah bahwasanya ketika ada kecelakaan di tempat
asing, jika tidak mengetahui agama apa yang dipeluknya bagaimana cara
mengurusnya(?)
Kasus kekerasan tidak hanya disebabkan
oleh hal ini, namun ada hal yang seringkali tidak tersentuh oleh kaum pluralis
yaitu kaum fundamentalis. Gerakkan kaum fundamentalis adalah gerakkan yang
sangat gesit. Kaum pluralis jangan sampai seperti menegakkan batang yang sudah
tegak, namun kaum pluralis mestinya bisa lebih agresif menyebarkan value dan
lebih sistematis. Hal yang sama dikemukakan oleh Basar Daniel Zefrie Tampubolon
bahwa isu pluralis ini sudah clear
adanya di kalangan kaum pluralis, yang mesti dihadapi adalah kaum
fundamentalis. Jadi, mesti ada satu hal
yang mungkin bisa dilakukan bersama-sama. Seperti yang beliau lakukan yaitu
mengangkat permasalahan bersama untuk diselesaikan bersama, namun bukan berupa
hal yang akan menyinggung agama.
Dan satu alat negara yang sangat
potensial untuk melakukan hal ini adalah pemuda. Maka, pluralisme haruslah
dikenalkan sejak dini, agar terbentuk mental pemuda bangsa yang setuju dalam
perbedaan. Untuk melakukan perubahan, Basar mengatakan bahwa kita harus
mengenali potensi dan mengoptimalkan peran.
Share diary yang agak berat nih :) Namun meski begitu ada beberapa pendapat dari saya sehubungan dengan poin dari penjelasan diatas.
BalasHapusPertama, menurut saya pribadi, permasalahan diskriminasi ini bukan toh hanya berada konteks pluralisme, dalam arti yang luas. Artinya ia berhubungan dengan definisi yang cenderung agak buram tentang konteks keagamaan-keagamaan. Meskipun penulis hanya mencantumkan konteks ini diakhir paragrap, akan tetapi setidaknya kesan dari pembaca, khususnya saya sendiri (yang mempuyai kuasa atas teks) berpendapat bahwa isu inilah yang sering banter menjadi perdebatan.
Pertanyaannya adalah apakah permasahalan, terbesar, diskriminasi agama itu hanya karena akibat adanya gerakan fundamentalisme? atau ada juga suatu wacana subversif dari pancasila dan dengan asas tunggal dll? Kalau misal sistem diatas, vertical, saja sudah tak mempuni untuk menampung aspirasi kemajemukan masyarakat maka akan seperti apa masyarakat yang ada dibawahnya?
Yang kedua; Kalau merunut pada definisi Esposito (ketika ia mengajukan dirinya sebagai salah satu orang yang ingin berpendapat tentang tulisan Huntington, mengenai fundamentalisme yang dimana point pentingnya adalah miskonsepsi atau bisa jadi fatal discourse orang-orang terhadap pengertian fundamentalisme.
Fundamentalisme menurut Esposito ini sedikit mirip dengan ungkapan Huntington tentang entitas peradabannya, renan dengan matinya kehendak yang satu, atau Solidaritas sosialnya Khaldun. Hal ini berhubungan dengan bagaimana suatu golongan memaknai dirinya sendiri berbeda dengan golongan yang lainnya.
Dengan tiadanya raison d'etre atau kehendak yang satu maka suatu perpecahanpun akan mudah untuk kita jemput. Sekarang boleh kita melampaui suatu keadaan yang didamba, yakni suatu keadaan hikmat dan bijak akan tetapi pada tataran tertentu cita-cita kita itu ternyata masih jauh dari yang diharap.
Sekarang mari kita bertaruh :D apakah yang akan menjadi kenyataan, tanpa harus berapa lama waktu bergulir, adalah apa yang tuliskan huntington dalam dalam benturan peradaban ) perpecahan dari suatu golongan, atau yang akan menjadi kenyataan adalah terciptanya suatu keadaan yang harmoni dalam keragaman?
Salam. Nice diary :)
Iya saya setuju sekali dan memang wacana (masalah pengeritan agama) itu kita angkat dan insya allah kita ingin merumuskan lebih jauh lagi dan ditindak lanjuti.. tapi kalo dalam tulisan ini, saya memang agak menekankan ke arah fundamentalisme, karena dalam acara itu memang yang ditekankan hal tersebut..
Hapusterutama di Indonesia, fundamentalisme agama memang bukan merupakan masalah paling dominan terhadap masalah diskriminasi. bahkan sepertinya jika dilihat negara sejauh ini tidak terlihat adanya dukungan terhadap fundamentalisme terhadap agama. Tapi ketika mengarah pada pengertian agam ayang didominasi hanya enam agama saja, itu juga refleksi dari fundamentalisme bukan?. Jadi ada sebuah politisasi identitas.
Tapi tetap kita sebagai umat Islam mesti menyelesaikan PR kita bersama yaitu agenda politik seperti yang diungkapkan Lutfie Assyaukanie, yakni bagaima sikap politik kaum muslim dalam melihat sistem pemerintahan yang berlaku. Mmang secara teologis sudah selesai khususnya setelah para intelektual muslim sembaca al raziq, cak Nur.
Fundamentalisme menurut Basam Tibi, bukan merupakan sebuah gerakka kebangkitan suatu agama, melainkan lebih pada refleksi ideologi semu yang berasal dari agama, yang jelas bertujuan politis. Dan pasti didominasi satu golongan. Jadi, gak bakal adanya persatuan atau perdamaian jika keadaannya seperti ini, yang ada Clash of civilization akan benar-benar terjadi.
hhe masi sebatas spekulasi, maaf kalau jawabannya krang relefan, masih perlu belajar banyak,, hhe, terimakasih responnya seneng banget dapet ilmu lebih jadinya..