Mengejar matahari pagi pangandaran

  • 0

Tepatnya selasa tanggal 9 januari 2012 saya dan teman-teman perbandingan agama meluruskan badan setelah lama berbungkuk-bungkuk di bangku kelas, mendengar dan melihat para dosen yang selalu dengan hati datang ke kelas. Kalau kemarin perjalanan setelah UAS itu ke Pangalengan, lain halnya dengan liburan UAS kali ini, kami menghabiskan waktu di Pantai Pangandaran.
Penyerbuan kerumah kawan yang rumahnya dekat menuju pantaipun tak kami lewatkan. Makanan minuman sudah tersaji seolah senang menyambut kami.

Tak ingin melewatkan cantiknya matahari yang baru bangun tidur, kami memutuskan untuk berangkat lebih pagi. Pukul 4 dinihari kamipun berangkat menuju pantai dengan sebuah mobil elf mini yang dibebani 14 orang. Sepanjang perjalanan hati bergumam berharap-harap cemas dan memanjatkan doa semoga sang surya tak dulu bangun. Nafas yang turun naik dan hati yang penasaran ingin segera sampai. Nafas-nafasyang menunjukan kegelisahan akhirnya terjawab dengan datangnya kami ke lokasi pukul 05.30 dan awan yang murung sehingga matahari enggan berseri.


Walaupun demikian, tak ingin kami lewatkan pagi dipantai dengan senda gurau dan narsis ria yang selalu kami bawa kemanapun. Sebelumnya kami sejenak menahan untuk meneruskan menjamah pantai yang merona, karena ingat kalau kami belum shalat subuh. saya dan seorang teman pergi untuk mencari kamar mandi dan mushola. Tempat yang kami kunjungi itu tampak seperti tumpukan sampah dan tempat berkembang biaknya hewan yang tak kusukai, bau yang tidak enak tetap kami terobos karena takut kehilangan waktu shalat subuh. ditambah lagi dengan penjaga kamar mandi yang menyeramkan seperti di film-film horror.
Menuruti permintaan perut yang tak bisa dikompromi lebih tepatnya ingin segera melahap hidangan yang sedari tadi kami terlantarkan, dan dibiarkan duduk dibawah karena tak ada kursi kosong lagi. Sopir membawa kami ke tempat yang katanya nyaman untuk makan. Sepanjang perjalanan menuju tempat makan, pemandangan pantai memanjakan mata yang biasanya melihat jejeran tulisan bulat lengkung dan jangkung. Selain pantai, banyak saung imut yang diberi nama dengan nama wanita-wanita. Saung itu Nampak penuh dengan rahasia, karena mirip kamar yang dibiarkan tertutup padahal pemandangan pantai indah didepan mata. Kami sampai disuatu tempat yang disana bertengger dengan anggun saung kecil. Didepan saung itu ada sebuah kapal terbang yang terlantar dan diabadikan oleh penduduk, kapal yang konon katanya terbawa saat sunami pangandaran tempo lalu.

Puas menyantap hidangan dari tuan rumah, kami lanjutkan perjalanan ketempat yang katanya biasa dipakai untuk berenang. Setelah sampai dan tawar menawar harga perahu berangkatlah perahu menuju pantai pasir putih. Kenapa pasir putih? Yang saya lihat sendiri sih pantai itu pasirnya berwarna putih.
Pasir putih menjadi inti perjalanan kami. Disana kami bermanja-manja dengan ombak duduk dipantai dengan pasir yang merekat seperti bulu-bulu boneka. Laut yang terus menggoyang-goyangkan air menumpahkan ke sisi pantai menggoda kami yang enggan menjamah tengah laut. Angin pun terasa seperti belaian seorang dewi, membelai lembut membawa aroma alam yang sangat bersahabat.

Pecah tawa tak juga reda, ombak yang datang seperti kakek memanjakan cucu yang sudah lama tidak bertemu. Kakek yang sangat kuat dan cucu yang lemah, sehingga mentari yang semakin terik tak terasa menyengat kulit yang terasa semakin gelap.
Menjelang senja, kami pun berkemas dan say goodbye pada laut dan ombak yang mulai mengacuhkan kami. Guyuran hujan menemani perjalanan pulang dan tubuh yang seolah memaksa cepat-cepat ingin berbaring, dan mata yang memaksa terpejam dan dipaksa dibuka sehingga membuat wajah-wajah yang gembira tadi menjadi layu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari berbagi pengalaman dan fikiran untuk terus belajar... :)