Nasib Sang Mimbar

  • 0
Setiap masuk kelas di kampus UIN (Universitas Islam Negeri) Sunan Gunung Djati Bandung, jangan heran kalau kita melihat mimbar dakwah disetiap penjuru kelas. Mimbar ini ukurannya lumayan tinggi, ya setinggi yang biasanya ada di masjid. Mimbar ini mempunyai bentuk yang unik, pondasinya yang berbentuk balok, kemudian mengerucut ke atas berbentuk hampir seperti segitiga terbalik, dan diatasnya ada balok lagi dihiasi dengan pahatan-pahatan yang indah. Tak lupa warnanya sangat elegan yaitu warna coklat.
Berkali-kali saya masuk ke ruangan kelas di gedung Y fakultas Ushluddin setiap kelas dijaga ketat oleh sang mimbar. Tak ada yang berani mengusiknya, bahkan dosenpun hanya mencoba mengukur tinggi badannya yang hampir sama dengan mimbar, sehingga yang terlihat bisa hanya kepalanya saja.
Selain mimbar yang baru, ada juga kursi baru yang lumayan menarik bentuknya untuk digunakan di gedung baru itu, dan hasilnya dosen pun tampak nyaman dengan kursi baru tersebut. Begitupun meja baru, dan papan tulis baru yang berbeda dari yang pernah ada, yaitu yang bisa di pakai bolak-balik dan itu sangat bermanfaat, begitupun kursi untuk mahasiswa itu sudah baru, sehingga kita merasa lebih nyaman belajar dan untuk tidur sekalipun saat perkuliahan (hehe). Ada juga barang-barang yang sangat kecil yang manfaatnya sangat besar, seperti spidol, saklar lampu, penghapus, semuanya tersedia dan juga sangat bermanfaat kalau saya lihat di setiap perkuliahan.
Namun saya heran dengan benda yang satu itu, dia selalu berdiri di pojok kelas, tak ada yang menggerakannya, tak ada yang mencoleknya, tapi yang ada hanya yang lirikan sinis dan sekali waktu digunakan sebagai sandaran dosen saat mengajar. Kasian sekali nasibnya, dia digunakan hanya sebagai pajangan dan interior yang tidak ada kerjanya.
Belum ada sosialisasi dari dosen manapun apa sebenarnya kegunaan mimbar yang ada disetiap pojok kelas, bahkan sebagian ada yang menyayangkannya kenapa sampai ada mimbar segala. Kalau seumpamanya digunakan sebagai alat untuk belajar berdakwah, tapi ushuluddin terutama jurusan PA (Perbandingan Agama) tidak ada mata kuliah yang menunjang hal itu. Kebanyakan kita presentasi, dan itu tidak hanya bisa dilakukan di mimbar, karena kadang-kadang kita melakukannya dengan kelompok. Dosen yang mengajarpun lebih terlihat nyaman duduk di kursi daripada naik ke mimbar seperti orang yang akan Khutbah.
Mau dibawa kemana sebenarnya nasib mimbar ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari berbagi pengalaman dan fikiran untuk terus belajar... :)