JURNALISME DAN PLURALISME

  • 0
Sabtu, 29 September 2012 Flads (forum lintas agama deklarasi Sancang) dan Kompas, menyelenggarakan  pelatihan jurnalistik. Acara tersebut dilaksanakan di GKI Maulana Yusuf dan dihadiri oleh berbagai umat lintas iman.

Ketika mendengar kata Kompas, yang diharapkan pasti pemateri para senior-senior kompas yang tulisan-tulisannya sudah tidak bisa diragukan lagi. Ya, dan memang seperti itu, pemateri yang hadir waktu itu adalah Kang Pepih (admin kompasiana), mbak Chris (redaktur kompas kampus), om Tony (editor artikel), dan mas lupa lagi siapa. Pertemuan  yang mungkin bisa dibilang langka dengan kesibukan yang mereka jalani.

Yang lebih menarik disini, bukan hanya pelatihan jurnalistiknya. Namun, bisa kita amati lebih dalam dari pelatihan. FLADS sebagai forum lintas agama telah membuat konsep yang menarik dalam mempertemukan beragam agama. Kenapa menarik? karena disini, kegiatan tidak hanya dihadiri oleh umat kristen saja. FLADS, mengundang peserta khusus dari berbagai macam agama yang ada di Indonesia, termasuk  aliran Ahmadiyah. Ketika saya melihat hal tersebut,  di gereja itu seperti sebuah miniatur negeri, dengan kedamaian yang didambakan oleh setiap manusia.

Teh Ai, Sekretaris FLADS mengatakan "setelah kita berwacana, maka kita harus melakukan diskusi dan setelah itu aksi" ungkapnya ditengah perjalanan pulang.

FLADS bisa memberi kita contoh dalam hal ini, secara tidak langsung acara tersebut mempertemukan keberagaman dalam satu gereja. Sumber Daya Manusia yang ada dalam gereja tersebut mungkin bisa kita katakan sebuah miniatur negeri indonesia. Negeri yang terdiri dari berbagai suku, ras, dan agama.
Miniatur tersebut hendaknya bisa dijadikan perenungan kembali, dimana ketika kita mempunyai niat yang sama, satu tujuan yang sama, walaupun kita berbeda dalam hal kepercayaan, itu bukanlah hal yang harus dipermasalahkan. Bambang Q  Anees juga pernah mengatakan, ketika duri dijalan, dia tak akan menusuk orang muslim saja atau orang agama selain islam saja. Ketika menyakiti, duri tidak akan pernah memandang siapa yang akan dia sakiti. Kemudian Cak Nun pernah juga mengatakan bahwa kita beragama sebenarnya harus belajar pada alam.

Cak Nun pernah mengatakan bahwa teologinya masing-masing saja, tapi budayanya bisa dipersamakan. Seringkali kita melupakan masalah sosial yang memang dan mempersoalkan masalah teologis yang senantiasa membuat semakin banyak konflik berkembang.

Budaya dalam hal ini, bisa kita terapkan pada pelatihan-pelatihan seperti ini, atau diskusi-diskusi lain yang melibatkan sumber daya lintas agama. Namun perlu ditekankan sekali lagi, bukan untuk memperdebatkan masalah teologis.

Karena fanatisme mungkin disebabkan karena sejarah yang tersusun sedemikian rupa, sehingga membentuk sebuah dogma yang berbeda. Antar agama pun bisa mendapatkan representasi yang berbeda dalam memahami sejarah ini. Sehingga, akan sulit untuk mempersatukannya, dan barangkali suatu kemustahilan.

Cak Nun juga mengatakan bahwa ranah teologis adalah ranah pribadi yang tidak mungkin bisa dipersamakan. Jika kita representasikan dalam diri, ranah teologis adalah ranah kemaluan yang sangat diyakini bahwa itu semua kita punya dan kita akan malu jika kita tunjukan kepada orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari berbagi pengalaman dan fikiran untuk terus belajar... :)