Proyek Pencerdasan Umat

  • 2
"Hayati  perKKNan kali ini" pesan dari salah seorang kakakku di Bandung. Pembicaraan ini masih sejalan lurus dengan perkataannya "ciptakan universitas di hati dan pikiranmu." ia maksudkan disini bahwa kita sebagai manusia yang memiliki kesempatan mencari ilmu, mesti melihat segala sesuatu dengan kacamata pengetahuan. Sehingga pun, ketika melihat suatu hal yang amat ganjil bisa diteliti lebih dalam, dengan kacamata ilmu pengetahuan.

Tempat KKN ku kali ini berada di sebuah daerah di Bandung, yang akupun tak menyangka ada tempat macam ini di Bandung. Aku pun menikmatinya seperti di kampung halaman sendiri. Pijakkan kaki ku kali ini ceritanya dimaksudkan sebagai sebuah kerjasama dengan pemerintah atas program kerja mereka, yaitu pengentasan buta huruf.

Ini adalah sebuah proyek pencerdasan umat. Maka, aku berharap perKKNan kali ini kita dibantu malaikat, semoga program ini tidak terlalu menjadi sebuah kesempatan untuk berduyun-duyun memakan hal yang tidak selayaknya dimakan. Tidak menjadi kesempatan bagi penjahat-penjahat yang cerdas, hingga ia tak merasa dirinya adalah penjahat. Serta, seperti do'a guruku, "semoga semua kelompok-kelompok manusia yang kita bimbing mnemukan kebenaran yang sejati dalam ilallah yang sesungguh-sungguhnya."

Niat awal perKKNan kali ini adalah harapan agar segera bisa mendapat gelar dan memakai toga. Yang orang bilang, lebih cepat lebih baik, tapi bukan itu alasanku. Karena alasan itu entah alasan keberapa setelah alasan masih senang berkumpul dengan teman-teman seperjuangan ceritanya. Namun, ada hal yang aku maksudkan, dan tidak terlalu penting jikapun aku menuliskannya disini. Dan bantu amini saja.. :)

Kehidupan di desa adalah kehidupan yang akrab bagiku. Kampung halamanku lebih desa daripada tempatku KKN. Namun, sepertinya disini agak lain ceritanya. Diceritakan bahwa di daerah ini banyak yang masih kurang mengenal aksara. Khususnya anak-anak, dan untuk dewasa lebih pada tahap lanjut pembacaan Al-Qur'an. Lebih jauh ku telusuri dari beberapa pembicaraan dengan warga kampung, aksara berhubungan dengan tulisan yang dipergunakan untuk membaca. Yang bisa lebih jauh pemahamannya adalah pembacaan akan sebuah situasi. Situasi yang ku maksud adalah penyeimbangan antara syukur dan pemberian. Sebab, dari cerita yang ku dengar, ketika menikmati hasil alam mereka seringkali lupa pada pengajian. Lupa, bahwa mereka akan "pulang" dan seperti yang dikatakan ibu yang bercerita "merenan bade megar etamah moal mulang".  Namun, semoga ini bukan hal yang sebenar-benarnya terjadi. Sehingga, dimanapun mereka berada bisa berpengajian.

Warga kampung disini mata pencaharian utamanya adalah berkebun dan beternak. Sehinggapun, ketika mereka memiliki anak, anak-anak mereka lebih diperkenankan untuk membantu memanen hasil pertanian mereka. Mencintai dan memberinya asupan yang lebih bergizi daripada untuk asupan mereka sendiri.

Maksudku, kesenangan mereka memelihara apa yang mereka miliki tak ubahnya seorang anak yang terlalu senang dengan permainan Pokker misalnya. Menumpukkan nilai hingga lupa apa ada hal yang telah dilupakan. Semisal, bagaimana pencipta Pokker bisa menciptakan suatu permainan yang luar biasa membuat penasaran dan menarik. Begitupun pemilik perkebunan, ternak dan sawah disini. Terlalu asik dengan permainan dunia yang teramat sangat hijau. Barangkali akupun bakal begitu, jika menempati posisi seperti mereka. Tapi aku tak diberi kesempatan itu, dan di tunjuk untuk menyaksikan mereka. Yang selanjutnya Tuhan serahkan semua itu kepadaku, apa yang mesti aku kerjakan dan apa tindakan yang aku kerahkan. Apa hanya berkomentar, menjadi penyaksi saja. Atau mencoba seperti para aktifis memberikan mereka sebuah jalan yang kita tau itu bakal lebih baik. Maksudku lebih baik, bisa mencerdaskan, meminimalisir penjajahan kembali  dari sebuah kecerdasan di luar sana. Meskipun ketahanan untuk tidak dijajah masih belum teruji dalam diri kami.

Hijaunya alam dan pemberiannya menurut salah seorang warga tak mampu menciptakan mesjid dalam kehidupan mereka. Segala tempat adalah mesjid, mesjid yang kita tahu adalah tempat ibadah. Maka, kita bisa fahamai segala tempat adalah mesjid, karena tak ada batasan tempat untuk kita mengingat Tuhan. Sehinggapun saat pengajian rutin ibu-ibu sandal di luar mesjid hanya beberapa pasang saja, jikapun di hitung tak sampai sepuluh pasang sandal. Sebab, sandal mereka pergunakan untuk berjalan memamah alam dan pemberiannya. Barangkali mereka lebih merasa "pengajian" dengan pergi ke kebun, barangkali mereka lebih merasa "pengajian" dengan memetik hasil alam, barangkali, dan semoga saja tak meleset. Amin.

2 komentar:

Mari berbagi pengalaman dan fikiran untuk terus belajar... :)