"Hayati perKKNan kali ini" pesan dari salah
seorang kakakku di Bandung. Pembicaraan ini masih sejalan lurus dengan
perkataannya "ciptakan universitas di hati dan pikiranmu." ia
maksudkan disini bahwa kita sebagai manusia yang memiliki kesempatan mencari
ilmu, mesti melihat segala sesuatu dengan kacamata pengetahuan. Sehingga pun,
ketika melihat suatu hal yang amat ganjil bisa diteliti lebih dalam, dengan
kacamata ilmu pengetahuan.
Tempat KKN ku kali
ini berada di sebuah daerah di Bandung, yang akupun tak menyangka ada tempat
macam ini di Bandung. Aku pun menikmatinya seperti di kampung halaman sendiri.
Pijakkan kaki ku kali ini ceritanya dimaksudkan sebagai sebuah kerjasama dengan
pemerintah atas program kerja mereka, yaitu pengentasan buta huruf.
Ini adalah sebuah
proyek pencerdasan umat. Maka, aku berharap perKKNan kali ini kita dibantu
malaikat, semoga program ini tidak terlalu menjadi sebuah kesempatan untuk
berduyun-duyun memakan hal yang tidak selayaknya dimakan. Tidak menjadi
kesempatan bagi penjahat-penjahat yang cerdas, hingga ia tak merasa dirinya
adalah penjahat. Serta, seperti do'a guruku, "semoga semua
kelompok-kelompok manusia yang kita bimbing mnemukan kebenaran yang sejati
dalam ilallah yang
sesungguh-sungguhnya."
Niat awal perKKNan
kali ini adalah harapan agar segera bisa mendapat gelar dan memakai toga. Yang
orang bilang, lebih cepat lebih baik, tapi bukan itu alasanku. Karena alasan
itu entah alasan keberapa setelah alasan masih senang berkumpul dengan teman-teman
seperjuangan ceritanya. Namun, ada hal yang aku maksudkan, dan tidak terlalu
penting jikapun aku menuliskannya disini. Dan bantu amini saja.. :)
Kehidupan di desa
adalah kehidupan yang akrab bagiku. Kampung halamanku lebih desa daripada
tempatku KKN. Namun, sepertinya disini agak lain ceritanya. Diceritakan bahwa
di daerah ini banyak yang masih kurang mengenal aksara. Khususnya anak-anak,
dan untuk dewasa lebih pada tahap lanjut pembacaan Al-Qur'an. Lebih jauh ku
telusuri dari beberapa pembicaraan dengan warga kampung, aksara berhubungan
dengan tulisan yang dipergunakan untuk membaca. Yang bisa lebih jauh
pemahamannya adalah pembacaan akan sebuah situasi. Situasi yang ku maksud
adalah penyeimbangan antara syukur dan pemberian. Sebab, dari cerita yang ku
dengar, ketika menikmati hasil alam mereka seringkali lupa pada pengajian. Lupa, bahwa mereka akan "pulang" dan seperti
yang dikatakan ibu yang bercerita "merenan
bade megar etamah moal mulang". Namun, semoga ini bukan hal yang
sebenar-benarnya terjadi. Sehingga, dimanapun mereka berada bisa berpengajian.
Warga kampung disini
mata pencaharian utamanya adalah berkebun dan beternak. Sehinggapun, ketika
mereka memiliki anak, anak-anak mereka lebih diperkenankan untuk membantu
memanen hasil pertanian mereka. Mencintai dan memberinya asupan yang lebih
bergizi daripada untuk asupan mereka sendiri.
Maksudku, kesenangan
mereka memelihara apa yang mereka miliki tak ubahnya seorang anak yang terlalu
senang dengan permainan Pokker misalnya. Menumpukkan nilai hingga lupa apa ada
hal yang telah dilupakan. Semisal, bagaimana pencipta Pokker bisa menciptakan
suatu permainan yang luar biasa membuat penasaran dan menarik. Begitupun
pemilik perkebunan, ternak dan sawah disini. Terlalu asik dengan permainan
dunia yang teramat sangat hijau. Barangkali akupun bakal begitu, jika menempati
posisi seperti mereka. Tapi aku tak diberi kesempatan itu, dan di tunjuk untuk
menyaksikan mereka. Yang selanjutnya Tuhan serahkan semua itu kepadaku, apa
yang mesti aku kerjakan dan apa tindakan yang aku kerahkan. Apa hanya
berkomentar, menjadi penyaksi saja. Atau mencoba seperti para aktifis
memberikan mereka sebuah jalan yang kita tau itu bakal lebih baik. Maksudku
lebih baik, bisa mencerdaskan, meminimalisir penjajahan kembali dari sebuah kecerdasan di luar sana. Meskipun
ketahanan untuk tidak dijajah masih belum teruji dalam diri kami.
Hijaunya alam dan
pemberiannya menurut salah seorang warga tak mampu menciptakan mesjid dalam
kehidupan mereka. Segala tempat adalah mesjid, mesjid yang kita tahu adalah
tempat ibadah. Maka, kita bisa fahamai segala tempat adalah mesjid, karena tak
ada batasan tempat untuk kita mengingat Tuhan. Sehinggapun saat pengajian rutin
ibu-ibu sandal di luar mesjid hanya beberapa pasang saja, jikapun di hitung tak
sampai sepuluh pasang sandal. Sebab, sandal mereka pergunakan untuk berjalan
memamah alam dan pemberiannya. Barangkali mereka lebih merasa
"pengajian" dengan pergi ke kebun, barangkali mereka lebih merasa
"pengajian" dengan memetik hasil alam, barangkali, dan semoga saja
tak meleset. Amin.
teh iis Kkm dmana???
BalasHapusDi Cilengkrang teh,, desa ciporeat..
Hapus