Seperti Rumah Diatas Pasir dan Angin Sedang Badai

  • 0



Hilman berujar kepada Arsena, “Jangan buru-buru ingin maju, jangan ambil jalan pintas. Memang akan memakan waktu sangat panjang dan butuh kesabaran. Batin harus tetap lega. Dan jujur, itulah kerja kreatif, kerja kesenian.”

Hilman semakin khawatir dengan kehidupan adiknya, Arsena menjalani hari-hari dengan imajinasi tentang orang-orang yang sangat berpengaruh terhadap dirinya. Ayah yang dituduh sebagai PKI, Herman kakak yang dicintainya, dan Nancy kekasihnya sebagai penyebab kekalutan pikiran Arsena. Selain itu, kebersamaannya bersama Edu ia rayakan sebagai kesalahan yang manis.

Arsena menemukan nasibnya di Jakarta dari kota C, ia bekerja di produksi film dalam film baru berjudul Rahasia Permata Biru. Ia tinggalkan kehidupan di kota C yang mana kemiskinan mulai dirasa mencekik lehernya. Meskipun tenaganya mesti hilang setelah ia disuruh pulang kampung oleh orang tuanya, mau dikawinkan.

Perjalanan hidup yang menarik ia tuliskan menjadi sebuah novel. Daya Imajinasi yang dimiliki Arsena saat ia menulis novel itu tidak bisa dikendalikan. Sehingga seringkali kehidupan nyata Arsena dikendalikan oleh bayangan orang-orang yang membuatnya menangis, menyesal, dan merasa disayangi. Proses menulis novel yang ia rasa sebagai sebuah perjalanan yang melelahkan.

Arsena putus asa, menyalahkan dirinya dan novel yang ia rasa telah membuatnya melupakan Nancy. Isi pikiran Arsena selama dua tahun adalah isi pikiran dan kesimpulan yang ditolak oleh para penerbit. Isi pikiran yang katanya membahayakan stabilitas negara. Isi pikiran tokoh rekaan di novel yang juga bernama Arsena, namanya. Namun pikirannya mengatakan bahwa ia tidak mempunyai daya dan kekuatan seperti Rahwana yang mampu membahayakan stabilitas, dan hanya kutu yang rapuh. Orang sakit yang tidak tahu apa sakitnya.

“Seperti rumah diatas pasir dan angin sedang badai” sebuah kata yang sering diungkapkan oleh Hilman ini menggambarkan kehidupan Asena. Kehidupan  Arsena yang terus ragu dan goyah, dan tidak bisa mengatasi imajinasi yang terus muncul dari masa lalu yang terus menghantui. Sehingga ia tahu bahwa upah bagi seorang peragu adalah ketidak pastian.

Lakon-lakon diceritakan penulis dengan kejutan-kejutan yang membuat pembaca mesti bertanya-tanya, siapakah ini? Yang kemudian diceritakan dengan sangat lihai dengan perasaan dan percakapan yang sangat teliti dan jeli pada judul-judul berikutnya.

Novel ini berjudul Cermin Merah karya Nano Riantiarno. Nano Riantiarno adalah pendiri Teater Koma, lahir di Cirebon, 6 Juni 1949. Nano menulis sebagian besar karya panggungnya. Selain menulis naskah teater Nano juga menulis skenario film, dan novel.

Novel ini merupakan novel autobiografi dengan memakai kata aku sebagai kata pengganti. Si aku yang bernama Arsena berhasil membawa dimensi-dimensi kekalutan kehidupan, dinamika seorang laki-laki yang kehilangan orang-orang yang dicintai dan menjadi penentram hidupnya.

Cermina Merah adalah sebuah kuburan Arsena, Nancy dan seluruh kenangan lama. “Aku akan belajar mencintai lagi. Aku tidak akan berkutat hanya menulis diriku sendiri saja. Ada banyak di luar diriku yang berharga untuk diserap dan dibaca. Aku harus membaca Indonesia seumur hidup.” ungkap Arsena..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari berbagi pengalaman dan fikiran untuk terus belajar... :)