“Jakarta sedang banjir.
Dan hatiku biasa-biasa saja, degup jantungku normal-normal saja, tuh Pak.” Ujar
Bu Darmin sambil membawa sepiring goreng singkong untuk suaminya. Kebayanya
yang berwarna hijau muda mencetak tubuhnya yang gempal.
“Hus, mereka juga kan manusia bu. Sama-sama
orang Indonesia, saudara kita juga” timpal pak Darmin menyeruput kopi hitamnya,
dengan tangan yang renta dan urat-urat yang menonjol.
“Orang-orang disana itu,
yang hidupanya enak itu sedang kebanjiran dan mereka diliput oleh media
merengek-rengek meminta bantuan dan menyalahkan berbagai pihak. Padahal siapa
juga yang membuang sampah sembarangan, to
Pak.” Bu Darmin mengambil satu goreng singkong dan memasukan ke mulutnya
dengan segera.
“Dan Jakarta banjir, itu
pun urusan mereka. Orang bilang penyebabnya adalah ketidak becusan pemerintah
dalam menjalankan amanah. mungkin memang begitu. Aku memang mungkin tak begitu
pilu, sebab, desa kita juga tidaklah senyaman seperti apa yang dilihat. Jalan
yang tak pernah tersentuh perbaikan, entah berapa zaman tak juga mendapat
sentuhan hasil pembayaran pajak. Tak pernah juga di eskpose semacam selebriti.
Yang mereka tahu, desa kita ini lugu pak, jadi tak usah memiliki kenyamanan
yang memanjakan.” Semangat bu Darmin, hingga tangannyapun ikut menunjuk-nunjuk
yang ia maksudkan mereka.
“Tapi ibu nyaman tho bu? Coba kalau jalan di desa kita
ini mulus seperti Jakarta, mungkin disini juga bisa banjir seperti di Jakarta.
Mereka orang-orang pintar yang tinggal di Jakarta pun tidak bisa menangani,
apalagi kita yang orang desa bu.” Pa Darmin menyeruput kembali kopi hitamnya.
Kali ini ia mengambil satu buah singkong goreng yang istrinya simpan tepat di
sebelah gelas kopi pak Darmin
Pak Darmin terdiam, asik
menikmati rokok yang selalu setia istrinya sediakan setiap pagi sebelum ia
pergi ke kebun.
“Orang kecil itu bu,
lebih kreatif. Selalu mempunyai ide-ide dan ketahanan mental yang lebih. Ia
kalaupun mereka kalah dengan kekuatan besar, mereka tidak akan menyerah melawan
nasib buruk. Belum tentu orang-orang di sana kuat seperti kita tho bu.
Setiap hari kita bisa makan hanya sepiring nasi dengan garam, dan selanjutnya
pergi kembali bekerja di ladang. Dan kita tidak diberikan kesempatan untuk
mengeluh oleh Yang Maha Kuasa.”
“Tak mengapa jalan ke rumah
kita tidak pernah diperbaiki. Itu mencirikan bahwa kita adalah orang desa yang
kuat. Jangan kita menggugurkan semangat, apalagi rasa cinta kepada sesama
manusia. Seharusnya bu, kita mengingatkan mereka. kita ini masih diberi
kesadaran oleh Allah untuk bisa menjaga lingkungan, melestarikan dan
memanfaatkan sumber daya alam. Kita seharusnya orang desa ini yang mengingatkan
mereka, bu. Dunia selalu membuat orang lupa.” Pak Darmin menjelaskan pada
istrinya yang dari tadi misuh-misuh saja.
“he’em”, bu Darmin menanggapi perkataan suaminya
dengan singkat. Ia berfikir memang benar juga apa yang dikatakan suaminya.
Bu Darmin terdiam
menerawang ke halaman depan rumahnya dengan tatapan kosong. Kota Jakarta adalah
kota yang membuat bu Darmin sakit bukan kepalang. Pada saat itu rumahnya yang
berada di salah satu komplek mesti direlakan dihancurkan untuk sebuah
pembangunan industri.
“ibu harus meninggalkan
tempat ini secepatnya. Tanah ini kami beli dengan harga satu juta” ucap Satiman salah satu petugas yang datang ke
rumah bu Darmin di Jakarta.
“subhanallah pak, sudah
10 tahun saya tinggal di sini. Ini tempat kelahiran anak-anak saya, saya sudah
nyaman berada di sini, bapak dengan seenaknya saja membeli harga tanah
kelahiran saya seenak bapak.” sambil
menangis bu Darmin marah kepada orang yang berseragam yang katanya petugas itu.
“Tapi ini juga demi
kesejahteraan masyarakat bu, perusahaan kami memiliki visi yang sangat
bijaksana yaitu mensejahterakan masyarakat dan berlandaskan kemanusiaan yang
adil dan beradab seperti tercantum dalam pancasila.!”
Bu Darmin hanya menangis
karena ia memang tidak paham. Ini persoalan kemanusiaan katanya, tapi bu Darmin
sama sekali tidak mengerti kenapa harus rumahnya dan rumah para tetangganya
yang dijadikan lahan. Kenapa tidak lahan lain yang memang tidak ada manusianya.
Kemudian pak Darmin
datang dengan wajah lelah sehabis bekerja.
“Ada apa ini bu?” wajah pak Darmin nampak heran melihat orang
berseragam dan bu Darmin yang menangis. Dan salah satu petugas yang datang itu
menjelaskan kembali perihal kedatangan mereka kepada pak Darmin.
“Subhanallah, ya sudah
bu, kita tidak usah tinggal di kota ini lagi. Kita punya desa, punya kampung
halaman yang menusianya lebih manusiawi daripada disini. Mari kita besok pulang
ke Cilacap” jelas pak Darmin
dengan wajah yang tidak bisa menyembunyikan kekesalah yang amat mendalam.
“Nah, begitu dong pak,
begini kan lebih enak. Ini demi kesejahteraan rakyat juga pak”. Dengan senyum puas petugas memberikan uang yang
sudah dijanjikan itu kemudian pergi meninggalkan rumah tersebut dengan hentakan
sepatu hitam yang begitu keras menusuk jantung pak Darmin dan Bu Darmin.
Sebulan berlalu, rumah
mereka sudah rata dengan tanah. Dan berdiri sebuah pabrik yang megah dengan
ketinggian mencapai langit. Begitu cepat pembangunan itu.
Bandung, 5 September 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari berbagi pengalaman dan fikiran untuk terus belajar... :)