Komunitas Lima Gunung

  • 0

Malam itu, bulan Juni tanggal 16 tahun yang sama saya dan teman-teman pergi ke acara bulanan Kenduri Cinta. Tema yang diangkat saat itu adalah "Bayang-bayang Para Ksatria". Malam itu sekaligus merayakan acara ulang tahun Kenduri Cinta. 

Sebelum pukul 20.00, di Taman Ismail Marzuki (TIM) sudah terlihat orang-orang yang hadir. Kami seperti biasa mampir di depan panggung Kenduri Cinta, mengganjal perut dengan nasi kucing, gorengan dan sate jeroan.

Pukul delapan lebih acara sudah dibuka dengan membaca alquran bersama, dan pemaparan tema oleh beberapa orang di depan. Yang sangat menarik malam itu adalah kehadiran komunitas Lima Gunung.

Mas Tanto Mendut, yang membawa Komunitas Lima Gunung malam itu duduk di depan, dan memimpin penampilan 53 orang perwakilan Lima Gunung. Perbincangan diawali dengan definisi Ksatria yang diangkat menjadi tema malam itu, dengan kesimpulan dari dalang yang merupakan anggota Lima Gunung, bahwa ksatria adalah ia yang konsisten pada tugasnya. Hal ini tidak lain diangkat dari realita yang terjadi pada pemilihan presiden saat itu dan seperti sebuah sindiran pada mereka yang mencalonkan diri menjadi presiden. Dan tarian Tembang Gunung mengawali penampilan Lima Gunung. 

Tembang Gunung dibawakan oleh beberapa orang perempuan, lelaki dan anak-anak. Diawali oleh kawih Jawa yang entah apa arti dan judulnya saya gagal faham. Tapi disana saya sedikit mengerti nyanyian tersebut berupa wejangan. Kemudian tarian disambung dengan datangnya empat orang pria dewasa, dengan dandanan gagah ksatria. Badan kekar, pandangan tajam dan tidak pernah membungkukan badan. Kumis tebal yang menunjukkan wibawa yang agung. Serta tarian yang menggambarkan berani dan siap melawan. Sungguh pemandangan menakjubkan yang sering saya tunggu-tunggu. Dan tarian diakhiri dengan tembang ayo maju, maju terus pantang mundur, maju sampai penghabisan.

Gambar dari web lima gunung


Yang ketiga, berjudul warok anak dan hiphop. Mas Tanto berujar, bahwa mereka dipengaruhi Los Angeles, Frank Sinatra, Institute Kesenian Jakarta, pidato-pidato yang kurang kultural dari tim sukses, intinya mereka sangat terbuka pada pengaruh-pengaruh, terutama khazanah Jawa yang rumit. Tarian itu dibawakan oleh delapan orang bocah berpipi kembung yang membawakan warok dan satu orang anak muda berkacamata hitam yang menari hiphop  dengan tubuh yang amat lentur. Paduan tarian tradisional dan modern menjadi sajian yang sangat meriah malam itu, suara musik yang bersemangat membawa suasana fikiran menjadi gegap gempita. Di tengah-tengah tarian warok ada adegan teatrikal antara dua bocah yang paling kecil. Mereka seolah sedang bertengkar, saling beradu kepala dan saling menantang dengan gagah. Katanya ini diibaratkan sebuah keberanian saat melawan dan berhadapan dengan musuh.
Gambar dari web lima gunung

Selanjutnya puisi yang dibawakan oleh Atikah seorang anak muda dari desa yang senang berpuisi, dan Mba Tias yang merupakan direktur utama Borobudur dan Candi Prambanan. Dilanjutkan dengan tarian yang berjudul kipas nego yang dibawakan oleh ibu-ibu dari Lima Gunung.

Komunitas Lima Gunung terdiri dari paguyuban warga dusun yang tinggal di daerah yang dikelilingi lima gunung di Magelang. Yaitu Merbabu, Merapi, Sumbing, Andong dan Menoreh. Orisinalitas Indonesia mereka bawa dari desa, dengan ketulusan dan cinta mereka terhadap kebudayaan yang memiliki pesan yang sangat tinggi terhadap kehidupan. Selain itu, seperti yang dipaparkan mas Tanto bahwa Lima Gunung menciptakan budaya yang tidak dilakukan oleh orang-orang kota yang disebut modern. Misalnya, kamar mandi di rumah mereka lebih bersih daripada TIM atau UIN Jakarta, serta meraka adalah orang yang selalu tepat waktu dimanapun, tanpa ada yang membawa jam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari berbagi pengalaman dan fikiran untuk terus belajar... :)