Sentimeter Indonesia

  • 0
Pare, sebuah kampung di Tegalrejo ini menjadi sayap kebangkitan kota Kediri. Menjadi tempat mengunduh ilmu bahasa. Kedatanganku kedua kalinya kesini menjadi perjumpaan yang tidak biasa lagi.
Kereta yang mengantarku ke Kediri seperti perjumpaan dengan kawan lama. Bahagia meski kembali canggung. Kemudian ia menjadi tempat tidur paling nyaman saat perjalanan. Lalu tepat di arah aku melihat ke kanan, aku melihat seorang lelaki berkulit coklat tua duduk disana. Dengan pakaian hitam, dari wajahnya aku bisa menebak kalau ia orang Jawa, maksudku dengan bahasa Jawa pula. Kemudian, suasana Jawa mulai tercium dari pemuda itu.
Dua belas jam kurang lebih, telah berlalu, perjalanan sudah sampai di statsiun Lempuyangan. Stasiun yang sering aku temui, bercerita dan kurindukan. Kotanya selalu memanggilku, selalu memberiku sebuah imajinasi untuk segera menyambanginya sekedar berjalan kaki di senja hari atau menikmati terik mentarinya. Ya, Jogja bagiku tidak hanya sekedar cantik, tapi anggun dan bersahaja.
Datang ke gerbong satu, tempat dimana aku duduk dua orang berkacamata. Kulit sawo matang dan hidung yang bagus. Bibir yang sama besar tapi tipis, serta berjaket merah dengan kaos di dalamnya. Aku yakin dia seorang mahasiswa, dan ternyata benar, setelah temanku sempat berbincang dengannya. Ia duduk di bangku yang sama denganku. Tepat berada di depan kursi ku duduk. Sampai aku tidak tahu harus membuang pandangan kemana, karena disampingku jendela, maka ku putuskan berpura-pura melihat jendela di sebelahku. Padahal raut muka pria itu lebih menarik.
Setelah dia duduk aku tahu ada yang tidak beres dengan kepalaku. Khayalanku kembali liar setelah melihat pemuda itu. Seluruh alam bawah sadarku bangkit menerka-nerka ingin dan memintaku untuk tidak tinggal diam. Untuk sekedar bertanya, berdiskusi atau membicarakan hal yang ia sukai. Aku yakin ia bukan lelaki yang sering aku kenal. Ia pembaca buku, ia mencitai buku dan perempuan yang ia suka adalah perempuan yang anggun dan berpenampilan bersahaja. Serta terlihat solehah, berkacamata pula. Fikiranku kembali meracau, aku melihat jendela dan memikirkan hal yang jauh dari kemugkinan. Aku berfikir untuk bisa berjalan berdua dengannya bersepeda santai menyusuri kota Kediri. Sebab kebetulan dia pun pergi ke Pare. Namun, kemudian aku mengingat bentuk tubuhku, caraku berpakaian, caraku bersosialisasi dan akupun mengurungkan untuk melanjutkan imajinasi liarku. Dan aku putuskan tidur saja sebelum akhirnya aku harus pindah tempat duduk.
Perjalanan kereta api adalah perjalanan yang paling berkesan. Tahui saja, Kereta Api itu seperti raja di perjalanan. Ia menyingkirkan orang yang lewat di jalan untuk Ia berjalan di rel. Ya, sebab ia raja kendaraan. Dan untuk orang kampung sepertiku itu adalah hal yang sangat menyenangkan. Meskipun untuk kesekian puluh kalinya aku naik kereta. Tapi kesannya selalu saja berbeda di setiap kesempatan. Dengan kereta api kita diajak kembali ke alam. Menyapa alam dari sudut pandang masing-masing yang melihat pemandangannya. Dan itu hanya bisa kau dapat dengan hati yang tenang, dengan fikiran yang jernih. Maka, aku yakin senyummu akan melebar saat kau melihat sawah-sawah yang terbentang luas. Hutan-hutan yang seharusnya lebih rimbun, dan kebun-kebun yang bersahabat dengan petani.
Kemudian Cleaning Servis Perjalanan mulai membersihkan kereta. Mereka menyusuri tiap gerbong memunguti sampah yang berserakan. Ia adalah seorang bapak yang usianya mungkin sudah 40-an dan seorang lelaki yang usianya sekitar 28-an. Mereka kompak memunguti sampah. Hingga kemudian aku mendengar suara si bapak yang berumur 40-an itu berbicara, dan memerhatikan koperku yang ada di bawah menghalangi jalan. Si bapak bilang “nanti saya bereskan ya mbak kopernya”. Dengan wajah datar namun penuh tanggung jawab dan rasa sayang. Demikian kesan yang aku dapat. Si bapak itu kemudian menggeser ransel yang ada di atas dan menempatkan koperku disana. “terimakasih ya pak” kata temanku. “Iya, sama-sama” sambutnya masih dengan wajah yang datar namun terdengar sopan dari logat Jawanya. Ah, sungguh.
Lalu stasiun demi stasiun kereta menurunkan penumpang. Stasiun Madiun, Stasiun Barok, stasiun Balapan, ahhh asyik sekali melihatnya. Yang di dalam, seperti keluarga yang harus singgah di tempat-tempat yang mereka tuju. Tapi ada perasaan lega, dan ingin tersenyum saja.
Kemudian, aku turun di stasiun kediri. Membawa koper dan mengikuti orang-orang melewati pintu yang sama. Sampai disana, sumringah yang ada. Perjalanan yang sangat menggembirakan. Lalu, kita disambut oleh para lelaki yang berseragam kuning, sponsor dari salah satu kartu perdana. Mereka tahu bahwa kami menuju ke Pare dan menawarkan jasa becak untuk sampai ke tempat mobil yang menuju ke desa Pare. Mereka menawarkan Jasa sebesar Rp. 20.000 untuk satu becak. Aku setuju saja untuk membayar mereka sebesar itu, dan sebenarnya sama sekali tidak ingin menawar kembali. Sebab, dari raut muka mereka aku melihat lelahnya mencari uang. Legamnya kulit mereka yang harus mengakrabi matahari membuatku enggan untuk menawar lebih rendah daripada harga itu. lalu, kami putuskan untuk naik becak, meskipun temanku sempat enggan naik becak, sebab menurut informasi yang ia dapat harganya cukup mahal.
Perjalanan becak mengajaku menelusuri Kota Kediri meskipun sedikit, tapi lagi-lagi nuansa Jawa membuat tubuhku memberikan respon positif untuk selalu menikmati perjalanan, dan segala hal yang ada disana. Terik matahari tidak canggung ku nikmati, sebab bagian dari Jawa adalah terik matahari.
Lalu becak menurunkan kami di tempat lewatnya kendaraan umum menuju ke Pare. Ada tukang becak juga disana. Dan mereka bertanya kepada kami hendak kemana. Entahlah, yang selalu ku rasa dari logat Jawa adalah bahasa dan logat mereka yang selalu anggun dan bersahaja. Lalu, mereka pun membantu kami memberhentikan setiap kendaraan umum yang lewat yang memang tujuannya ke Pare.
Sedikit informasi, di daerah Kediri memang kalau untuk pendatang akan sulit menemukan kendaraan seperti di kota-kota besar, semisal Bandung yang memiliki banyak kendaraan umum seperti angkot. Tapi di Kediri, kita tidak akan menemukan kendaraan semacam itu, kendaraan umum yang dipakai lebih mirip kendaraan pribadi dan sebagian kendaraan tidak ada tertera nama tujuan mobil tersebut. Maka, jika tidak dibantu oleh tukang becak entah bagaimana aku mendapatkan kendaraan menuju ke Pare.
Kemudian, aku perhatikan supir yang membawa kendaraan ini. Ia berambut ikal dengan sedikit di kepang ke belakang. Rautnya garang, tapi tutur bahasanya masih saja aku suka, aku anggap bersahaja. Seperti itulah aku melihat orang Jawa hari ini.
Beberapa orang kutemui disini, Pare kota kecil nan anggun. Kebunnya masih asli, begitupun rumahnya, hanya sebagian rumah yang berukuran raksasa dan yang lainnya masih mempertahankan kesederhanaan desa. Begitupun warung-warung makan. Banyak warung makan sederhana dengan menu-menu kental jawa, bumbu yang tidak begitu asin dan pecel. Fast food juga ada, tapi lidah dan hatiku lebih akrab dengan makanan asli mereka.
Banyak orang berharga yang aku temui kembali disini. Pertemuan dengan orang-orang disini bukan tidak berarti, tetapi pasti akan ada yang paling berkesan dan  ada juga yang berkesan biasa saja.
Orang kedua setelah orang-orang yang kutemui di perjalanan itu adalah lelaki bertubuh tinggi besar, jika orang lain berdiri disampingnya, orang itu akan terlihat sangat pendek, apalagi yang memang asalnya pendek (hehe..) ia berkacamata, dan berkening lebar. Ya, nampak seperti orang-orang pintar kebanyakan. Dan aku tidak salah menilai, ternyata dia bukan orang bodoh.
Berasal dari sebuah kota dekat Kediri, bernama Tulungagung. Dia sarjana bahasa Inggris dari STKIP PGRI Tulungagung. Agak heran melihat anak ini, aku tidak pernah melihatnya malas, mengeluh, atau murung. Keadaannya selalu bersemangat, meskipun kadangkala dia mengantuk. Tapi, dalam keadaan sadar dia selalu menunjukkan kesan semangat dimataku. Dan dia selalu mengharga waktu, aku tidak pernah mendapati dia datang telat, kalaupun sudah melewati jam masuk, sudah di pastikan di tidak masuk.
Dan suatu hari aku pernah berbincang sedikit dengan lelaki berusia 23 tahun ini, dia membawaku berbincang tentang keadaan anak muda zaman sekarang, tentang cabe-cabean dan perkembangan zaman. Beberapa kali berbincang dengannya isinya bukan hal biasa, menurutku. Tapi selalu ada kesan perjuangan, kritik sosial dan “mahasiswa” itu ada pada dirinya.
Selain itu, yang aku heran dia juga selalu cerita. Padahal orang-orang disekitarnya adalah anak-anak yang baru keluar dari SMA. Aku saja tidak begitu kerasan bersama mereka. Tapi cara dia menghadapi anak-anak itu lain, aku beranggapan mungkin karena dia adalah figur guru. Tapi ternyata bukan hanya itu, dia beranggapan untuk menjadi manusia besar, kita harus bisa masuk ke berbagai kalangan. Dan itu, aku nilai dia  berhasil. Sebab, aku sendiri tidak mampu seperti itu.
Ya, akan selalu ada seseorang yang berharga di balik orang seperti itu, begitupun dia. Dari ceritanya, Ibu adalah inspirasi tertinggi baginya. Segalanya bagi dia.
Dan orang selanjutnya yang aku temui disini, baru-baru ini adalah lelaki berbadan gemuk berumur 28 tahun berasal dari Jogjakarta. Kita sempat berbincang di sebuah angkirangan dekat kosan. Dari pembicaraannya dia orang yang banyak pengalaman. Ya, dia pernah menjadi reporter sebuah surat kabar dan sekarang dia adalah penulis di salah satu website besar indonesia. Tapi, sempat dia bilang, “jangan anggap aku orang keren, itu bukan keinginan aku, itu karena kepepet. Jangan ditiru” ungkap dia siang itu.
Dia pun pernah kuliah selama dua tahun, tapi tidak pernah selesai. Dia bilang “Saya hanya kuliah sampai saya tahu 5W+1H, setelah itu saya tidak lanjutkan kuliah lagi” aku tanyakan pada dia kenapa. Dia hanya bilang bahwa dia kuliah hanya ikut-ikutan saja. Dan  jurusan yang diambil pun asal. Dia ambil fakultas Komunikasi dengan konsentrasi periklanan.
“Kuliah memang bukanlah tempat kita menggantungkan pekerjaan, tapi kuliah untuk mendapatkan ijazah. Sebab, bukti nyata bagi orang tua adalah ijazah. Dia akan merasa telah berhasil menjadi orang tua ketika mereka telah kita berikan bukti ijazah. Mereka akan senang ketika kita mendapatkan ijazah kita. Soal nanti dapat kerja atau tidak itu masalah lain.” Ungkapnya dengan nada nampak menyesal. Karena dia harus ditinggal bapaknya beberapa waktu setelah dia memutuskan berhenti kuliah.
Ia pun bercerita tentang didikan bapaknya yang mebuat aku sendiri terheran-heran dengan orang tua yang berani seperti itu. Dia bilang, ayahnya sering menampar jika adiknya yang duduk di bangku sekolah dasar nyanyi-nyanyi lagu-lagu galau zaman sekarang. Dan ayahnya lebih senang jika anaknya mengumpat saja jika dia merasa sedih ataupun kesal. Tapi, itu harus dilakukan di rumah, tidak di tempat lain.
Cara pendidikan ayahnya memang unik. Ayahnya tidak pernah melarang dia merokok, tapi dia berpesan untuk merokok di rumah saja. Tidak di tempat lain, dan jika ketahuan merokok di luar rumah, maka kembali ke rumah tubuh tidak akan selamat. Pasti akan ada yang kena dampar.
Dia sadar, merokok di rumah itu tidak asyik. Karena keasyikan merokok itu adalah ketika bersembunyi dari orang tua dan merokok disuatu tempat yang tersembunyi dari orang tua. Itulah asyiknya merokok.
Aturan paling ekstrim di keluarganya yaitu, ayahnya membolehkannya minum dan masih sama, tempatnya hanya di rumah. Sebab, dia sendiri pernah ketahuan minum oleh ayahnya bersama temannya. Dan akhirnya ayahnya berani membelikannya minuman asal dia minum di rumah dan tidak diketahui ibunya. Dan lagi-lagi itu tidak membuatnya ingin minum, karena baginya itu tidak asyik.
Selanjutnya pesan-pesan ayahnya untuk dia dan adik-adiknya adalah dia boleh melakukan hal apapun di luar, asalkan bertanggungjawab, tidak berbohong, dan tidak menyakiti manusia manapun. Begitupun saat adiknya yang SMP harus melalui masa SMPnya dengan tawuran. Ayahnya tidak bergeming melarang, pesannya hanya satu, jika berantem dan pulang dengan babak belur. Jangan anggap mereka musuh, lalui dengan rasa gembira dan pulanglah dengan tersenyum. Dan ya, adiknya pernah pulang dengan keadaan babak belur dan bibirnya tidak sedikitpun terlihat dendam tapi tetap tersenyum.
Hingga, kelakuan paling parah membawa adiknya ke penjara. Dan saat itu juga adiknya tidak tawuran lagi, sebabnya sepele. Karena ketika ayahnya menjenguk, ia tidak marah atau mengumpati dia. Dia hanya bilang “Hebat kamu bisa sampai masuk penjara, kamu tetap anak ayah, asal kamu tidak nyolong” ungkap ayahnya dengan senyuman. Dan itulah yang membuat adiknya tidak kuat melihat raut wajah ayahnya.
Ia datang ke Pare dibiayai oleh bosnya untuk belajar bahasa. Tidak sama seperti mahasiswa bahasa Inggris yang aku katakan tadi, semangat lelaki yang berasal dari Jogja difokuskan pada pekerjaannya, dan dia bilang dia tidak kuat mengikuti pelajaran. Dia pun berujar bahwa semua yang diberikan dan diulangankan itu belum selesai disitu saja. Masih ada dunia nyata yang harus dihadapi. Sehingga dia lebih sering bolos kelas untuk bekerja daripada masuk untuk mendengarkan guru menjelaskan.
Tapi dia tetap bertanggung jawab menjadi ketua kelas, dia tetap memberikan wejangan kepada anak-anak kelasnya dan memberikan tanggungjawabnya sebagai ketua kelas. Seperti mengakomodir keinginan anak-anak kelasnya saat akan liburan, atau untuk sekedar menjenguk anak kelasnya yang sakit. Dia datang, meskipun pada waktu mata pelajaran dia tidak datang.
To be continued...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari berbagi pengalaman dan fikiran untuk terus belajar... :)