Semua orang selalu memuji mawar, mencium harumnya dan menikmati indahnya. Sebagian ingin merawatnya dan rela tertusuk durinya. Ada juga yang hanya ingin mencium wanginya dan hanya sesekali menengoknya ke kebun. Dan sesakit apapun mawar takkan sesakit rumput, rumput hijau yang selalu berada di dekat mawar. Dia selalu saja dibawah. Kalaupun berani mengangkat kepala, pasti tukang kebun itu akan memangkasnya karena ia hanya hijau dan tak berbunga.
Dia juga selalu diinjak, dan dijadikan sandaran untuk orang-orang yang ingin melihat mawar lebih dekat.
Betapa kasian dan terpuruknya dia. Tak ada yang peduli, padahal dia jembatan menuju mawar.
Jika mawar mulai kering, akan ada yang kasian padanya dan segera menyiramnya dengan selimut hangat senja. Membuat merahnya kembali merekah dan mewarnai seluruh permukaan kalbu. Namun rumput hanya bisa menelan ludah saat melihat itu, dia kering dan selalu kesepian.
Kenapa Tuhan menyiksa rumput seperti itu? membuatnya menjadi sosok hijau yang ceria dan munafik. Mereka dibiarkan menjalar dimana-mana dan hanya hujan yang mampu membuatnya tersenyum dan dahaganya terobati.
Tuhan, apa Engkau hanya menciptakan rumput sebagai sandaran?
Tuhan, apakah aku rumput itu?
Biarkan aku menawarkan diri untuk menjadi sebatang pohon rimbun. Yang berdaun hijau walaupun bertangkai hitam, namun anggun dan berwibawa. Daunku berguguran, namun daun-daun cantik baru menggantikannya. Mungkin orang tidak memujinya cantik seperti bunga mawar yang merah. Tapi pohon melindungi mereka dari cubitan sang surya yang menyerap keringat ke udara. Dan menghapus peluh dengan bersandar di batangnya. Serta orang-orang bisa menulis puisi dengan tenang di bawah rimbun daunnya. Tak pernah peluh bersandar saat mereka menemukannya.
bandung, 11 Mei 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari berbagi pengalaman dan fikiran untuk terus belajar... :)