Pertemuan dengan seseorang mengandung makna Tuhan. Mengandung lebih
banyak makna Tuhan. Namanya Tyo, lelaki yang kutemui dua bulan yang lalu ditempat
aku bekerja. Dia baru masuk, begitupun aku.
Tak ada kesan saat pertama berpapasan di ruangan itu, semua orang
yang ditraining bermuka sama. Tidak ada yang menarik, mungkin juga karena aku
tidak terlalu tertarik dengan pekerjaan itu karena tidak mendapatkan panggilan
kerja lain.
Aku jenuh, bahkan kehilangan semangat mulai pertama kerja pun.
Seluruh ruangan senyap padahal banyak orang riuh, apalagi anak-anak sekolah
menengah yang baru lulus dan ikut training juga. Tingkah mereka aneh-aneh saja.
Dan aku, lebih memilih membiarkan suasana itu dan menikmati apa yang aku rasa
sendiri. Aku menjadi seorang individual, bekerja sendiri, dan mengutamakan
perasaan sendiri.
Yang ada, dari hari kehari, perasaanku semakin kacau. Tidak juga
aku mendapatkan kenyamanan berada di tempat itu. Seperti sebuah kesialan yang
aku ciptakan sendiri, isi dalam kepalaku hanyalah umpatan-umpatan yang tidak
juga memberi ruang pada keyakinan.
“Semangat”.. bisik seseorang ke telingaku.
Dalam lamunan aku terkaget. Dan mencari-cari darimana suara itu
berasal. Aku menoleh ke kanan, Tyo mengepalkan tangan semangatnya kepadaku. Dan
tidak lama, akupun mengerjakan kembali pekerjaanku, tanpa lupa membalasnya
dengan senyuman. Senyuman? Ya aku kembali tersenyum setelah entah berapa lama
aku tidak bergairah untuk tersenyum. Seperti orang yang dahaga, yang diberi
segelas air putih.
Perhatianku menjadi terpusat kepada Tyo, bagaimana tidak. Raut
wajahnya tidak pernah digambarkannya dengan perasaan kesal, sedih ataupun
jengah. Wajahnya seperti matahari yang selalu terang. Matahari yang tak pernah
bisa ditandingi awan, merekahkan bunga-bunga di sekelilingnya.
Dari hari ke hari semangatku mulai pulih, sebab aku ingat seseorang
yang duduk di sampingku. Dia selalu bersemangat, aku berfikir mungkin Tuhan
hanya menitipkan padanya satu rasa, semangat. Ia tidak pernah menoleh padaku
sebelum pekerjaannya selesai. Dan setelah selesai bekerja sesekali dia
mengajakku berbicara. Tapi aku tidak begitu percaya diri berbicara dengannya,
sehingga jawaban yang keluar dari mulutku tidak meyakinkan dan aku rasa aku
memang ragu mengatakan hal itu.
“Kuliah dimana?” sesekali dia menanyakan hal yang menurutku tidak
penting-penting amat.
Atau dia mengajakku membahas suatu hal,
“Bagaimana pendapatmu tentang universitas yang membatasi buku
rujukan skripsi hanya lima tahun terakhir?.” Ia bermuka serius setiap
berhadapan denganku, tapi tidak dengan yang lain.
Aku anggap dia orang berbahaya, maksudku dia bukan orang biasa yang
memiliki pemikiran yang sama dengan yang lainnya. Ia selalu tepat waktu, tidak
pernah aku melihatnya terlambat, lain dengan teman-teman sekantor yang
seringkali datang terlambat sampa setengah jam. Jika dia tidak datang sebelum
waktu kerja berarti dia tidak masuk kerja. Tubuhnya yang tinggi besar
mengalahkan orang-orang di sekitarnya, sehingga orang lain terlihat seperti
manusia-manusia kerdil. Dengan kacamata tebal dan kening yang lebar memberi
kesan bahwa dia orang cerdas.
Semakin hari keberadaannya menjadi hal yang wajib buatku. Tidak ada
dia perasanku menjadi tidak tenang. Padahal dia tidak melakukan apapun padaku,
bahkan menunjukkan suatu hal yang manis, tidak. Dia hanya menggodaku dengan
kerja keras, cara dia menghargai waktu serta caranya menghargai orang
disekelilingnya.
Pernah aku dapati dia menasihati seorang perempuan yang mungkin
bertingkah terlalu kekanak-kanakan.
“Kamu itu yang serius, ada waktunya serius ada waktunya bercanda.
Jangan keterlaluan, ingat ibumu di rumah berusaha keras agar kamu bisa tamat
sekolah...” nasihatnya kepada Mira anak tamatan SMA yang memang selalu
bertingkah berlebihan.
Orang itu ramah, tapi aku sendiri orang yang pasif. Aku tidak
pernah berani memberi sapa dia terlebih dahulu. Karena setiap akan aku ucapkan
satu hal, dalam kepalaku selalu ada ketakutan, aku takut salah. Ya, itu memang
hal bodoh yang sulit sekali hilang di kepalaku.
Sampai pada siang itu, tepatnya 6 Maret ternyata dia ulang tahun.
Aku tahu dia ulang tahun, tapi aku tidak mengucapkannya terlebih dahulu. Aku
baru mengucapkan selamat setelah teman-temanku yang lainpun mengucapkan
selamat. Senangnya aku bisa menjabat tangannya, ia menyalamiku dengan keras
tanda kepercayaan diri. Aku berlalu dengan senyum dan duduk kembali di tempat
kerjaku. Selanjutnya usianya yang sebenarnya aku tahu ketika menulis biodata
para pekerja magang.
***
Usiaku menginjak 23 tahun, usia dimana perempuan menginjak
kedewasaan. Bahkan fikirannyapun bukan lagi hanya mencari lelaki yang dia
inginkan, tapi lelaki yang bisa hidup bersamanya sampai tua. Pekerjaan, naik
jabatan, diterima kerja bukan hal utama ketika hal itu belum terwujudkan.
Begitupun halnya aku, hal yang masih mengganggu kepalaku adalah satu hal itu.
aku merindukan manusia yang akan mendampingiku segera datang.
“Kenapa melamun terus” Tyo menyapaku siang itu.
“Ga apa-apa” jawabku singkat karena terkejut, dengan tidak lupa
mengukir senyuman sebisa mungkin berharap dia tahu bahwa aku benar-benar
tertarik dan dia mengajakku berbicara lebih lama.
Dia menghampiriku, menarik kursinya dan duduk di dekat kursiku.
“Kamu gak mau sodakoh perkataan? Gak karena istilah diam itu emas
kan? Sodaqohlah, walaupun sedikit.” Ia menohokkan pertanyaan itu dengan muka
tegasnya, sehingga raut mukaku kurasa langsung berubah.
“Enggak” jawabku singkat kembali.
“Kalau kamu tidak berkomunikas dengan orang lain, kamu akan sulit
berkomunikasi dengan Tuhan.” Tegasnya.
Aku hanya diam terpaku, suasana sejenak berubah menjadi tidak
menentu. Antara malu, dan merasa bodoh. Aku mulai ragu untuk menggerakkan
badanku sendiri, apalagi untuk mengutarakan kata apa yang mesti aku ucapkan
pada Tyo untuk melanjutkan perbincangan. Padahal aku benar-benar ingin
berbincang dengannya. Tapi itu tidak terjadi, harapanku untuk berkata banyak
dengannya hanya tinggal di hati saja, tidak aku ungkapkan. Dan dia berlalu,
duduk di kursinya kembali. Dengan sesak dadaku, karena tak keluar kata yang
hendak aku ucapkan.
Tapi aku tetap bersyukur, karena begitu semakin hari perasaanku
semakin bergejolak menjadi sebuah kegelisahan. Dari itu aku bisa lebih banyak
mengarang, tulisanku bisa aku tumbuhkan. Dan kebiasaanku menulis seperti
didukung oleh semesta. Aku jadi ingat pesan ayah “penulis cerdas adalah ia yang
bisa berkarya dalam hal apapun”.
***
Pernahkah kau merindukan sesosok manusia di malam hari saat kau
terjaga untuk minum air putih atau buang air kecil? Aku sering, selama beberapa
hari terakhir pikiranku diracuni lelaki bertubuh tinggi besar itu. Dia
menyapaku setiap malam dalam khayalan. Dan rindu, hanya menguap tanpa ada yang
tertangkap kata. Tanpa ada kata yang sampai pada si rindu.
Yang tidak terbatas waktu bukan saja Tuhan, tapi kurasa rasa pun
begitu. Aku semakin menjadi mengaguminya. Yang terjadi denganku bukanlah
keberanian untuk mengajak Tyo bicara, tapi malah kemunduran diri untuk tidak berbicara,
menarik diri darinya. Sebab, ketakutan-ketakutan mulai berdatangan.
Semangatku datang ke tempat kerja, semata bukan karena pekerjaan.
Tapi bagaimana cara mengajak Tyo bicara. Kata-kata yang sudah ku rangkai di
kepala seketika beku saat berhadapan langsung dengan manusia itu.
“Apa kabar” sapanya pagi itu kepadaku.
“baik” jawabku singkat dengan senyuman yang semoga mantap untuk
diberikan pada manusia seperti dia.
Aku tidak bisa menyapanya balik, tidak ada hal yang aku rasa pantas
untuk aku tanyakan kepada seorang manusia tangguh, pemberani, dan yakin seperti
Tyo. Dan pertanyaan itu, kembali tertahan sampai di hati. Dan lagi lagi tidak
sampai ke bumi.
Bagiku setiap hari bukan usaha untuk lebih baik dalam bekerja. Aku
hanya memiliki satu tujuan saja, yaitu bagaimana caranya agar aku bisa merayu
hati dan fikiranku untuk keluar dari ketidaknyamanan ini. Untuk keluar dari
penjara yang aku buat sendiri. Aku sangat kagum pada Tyo, maka dari itu
hasratku untuk bisa lebih dekat dengan lelaki itu bisa terpenuhi. Bisa aku
wujudkan.
Ah, mungkin orang akan menganggapku orang gila dan orang bodoh yang
bercita-cita hanya secuil upil. Tapi bagi manusia sepertiku itu bukan hal
mudah. Manusia yang tidak pernah bisa menyapaikan rasa apapun yang dimilikinya
kepada orang yang membuat dia tertarik. Mungkin itu bukan hal sulit bagi orang
lain, tapi bagiku itu seperti membalikan sebuah gunung. Penuh keraguan, penuh
ketidakyakinan dan kepasrahan.
“Kemarin aku pulang, menjenguk ibu. Dia berdua bersama adik di
rumah. Jujur saja, aku tidak kuat kalau aku berbicara tentang ibu. Dia
pahlawanku, dan kemarin aku baru tahu kalau ibuku bekerja di budeku.
Bantu-bantu, menempelkan kancing.” Jelas aku dengar cerita Tyo kepada Budiman
yang tidak aku perhatikan dari awal apa yang mereka ceritakan. Aku dengar dia
terisak.
Aku diam dan aku mendengar dia melanjutkan pembicaraannya.
“Itu kenapa aku berusaha bersemangat disini, aku tidak boleh
ngantuk sedikitpun. Sebab, ibukupun di rumah bekerja tanpa mengenal waktu. Aku
harap kau pun menghargai waktumu Man” cerita Tyo kepada Budiman.
Dan akupun begitu,setiap ku dengar cerita seseorang tentang ibu,
aku langsung teringat ibuku dan tidak pernah bisa aku menahan airmata untuk
manusia yang bernama Ibu.
Aku diam, sampai pembicaraan mereka pun selesai karena Bos datang
memeriksa kami yang sedang bekerja. Dan aku tetap terpaku, merenungkan seluruh
perkataannya.
Dari minggu ke minggu aku semakin jarang berkomunikasi dengannya,
mungkin dia jengah menghadapiku. Atau mungkin dia mendapati aku yang tidak
begitu tertarik di matanya. Ah, entahlah. Dan itu membuat nafasku semakin
sesak. Padahal, aku selalu berusaha menarik dia kepadaku. Usahaku, diam di meja
kerja dan melamun lagi. Itu usahaku agar dia mau menyapaku. Tapi luput, tak ada
yang berhasil.
***
“Aku telah melakukan suatu hal konyol yang belum pernah aku lakukan
sebelumnya kepada lelaki manapun, mas” ucapku lirih saat senja mulai
mengucurkan warna merahnya di langit.
“Benarkah?” lelaki itu bertanya dengan menarik pandangannya ke
arahku.
“Ya, “ jawabku dengan kepala yang kusandarkan pada bahunya yang
kekar. bahu yang dulu hanya bisa kulihat dari balik meja kerjaku.
“Aku telah berhasil keluar dari penjara yang aku ciptakan sendiri.
Ternyata memang bebas itu indah ya mas” ungkapku kepada lelaki berkacamata dengan
perubahan rambut yang berubah warna menjadi putih.
“Ya, kita dipertemukan karena Tuhan menyuruhmu belajar. Aku pun
begitu” ucapnya kepadaku dengan tatapan yakin yang sama seperti ia lakukan
dulu.
Tyo, sekarang dia telah berada tepat disampingku. Senyumannya telah
menjadi milikku setiap pagi. Tatapan keyakinannya juga telah ia berikan
untukku. Bukan untuk yang lain. Dengan keluar dari zona nyamanku, memberinya
sebuah senyuman setiap pagi dan mengantarnya dengan sapaan yang telah aku
penjara selama beberapa lama.
“Selamat pagi” ucapku lirih pagi itu, dengan senyuman terbata yang
aku miliki.
“Pagi” balasnya. Dengan senyuman jernih penuh pertanyaan dimatanya.
Kalimat pembuka dariku membuka seluruh jalan di depanku. Seperti
sebuah pintu yang kembali aku temukan. Aku bisa berkomunikasi dengannya tanpa
ada penghalang apapun. Aku memerdekakan diriku dari ketakutan yang selama ini
menghalangiku untuk berkomunikasi dengannya. Aku mengalahkan keraguan, aku
berusaha mengikuti kata hatiku yang didalamnya terdapat petunjuk dari Tuhan.
Dan aku telah sampai pada hari tuaku, bersamanya.
KEDIRI, 29 DESEMBER 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari berbagi pengalaman dan fikiran untuk terus belajar... :)