Sebagai pencerita aku berhak menceritakan apapun yang aku mau. Termasuk aku akan membentuk sendiri jalan ceritaku. Sebab inilah hidupku. Pilihanku bukan hidup dalam hidupku yang nyata, aku hanyalah kamera pengintai. Aku tidak bisa menikmati kebahagiaan mereka. aku hanya bisa melihat, dan berkhayal tertawa bersama mereka. Ya, karena bagiku aku adalah hal yang harus selalu disembunyikan dari apapun diluar diriku.
Mereka bilang aku orang aneh. Mereka
menjulukkiku si Hane, pelesetan dari aneh. Terserah mereka bilang apa, aku
nikmati yang sedang aku jalani dan pilih dalam hidupku.
Pilihan mengandung resiko, ya aku tahu itu.
dan sampai hari ini hidupku terasa begitu normal-normal saja, tak ada yang
berubah. Berjalan sendiri dengan sandal kuning yang murahan. Diantara mereka
yang berjejal dengan sepatu high heals yang menyusahkan. Cewek-cewek bercelana
jeans ketat, make up yang menor layaknya orang yang pergi kondangan atau
ibu-ibu arisan. Ah, gaya hidup bentukan dari modernisasi memang aneh.
Keadaan hidupku menjadi begitu terusik, saat
aku harus masuk kuliah di kelas yang penuh dengan perempuan-perempuan yang
kerjaannya hanya nongkrong saja, mereka bahkan tidak kenal bahkan bersentuhan
dengan buku. Satu hal yang sering aku dengar dari percakapan mereka, “Eh gue
pengen sepatu yang kayak gitu, lagi musim tuh”. Itu-itu saja setiap hari.
Sampai saat ini aku masih yakin bahwa
peradaban yang maju adalah peradaban yang menjadikan buku sebagai pasangan
hidupnya. Aku akan tua bersama karya, dan aku yakin orang-orang seperti itu
hanyalah manusia yang tidak tahu caranya berterimakasih kepada orang tua, dan
hanya menghabiskan uang ibunya saja.
Maka dari itu, aku lebih senang berjalan
sendiri, memerhatikan sekitar kemudian menuliskannya. Atau menikmati musik
sendiri di atas sepeda tuaku.
“Mas, kenapa diem aja sih?”
Perempuan berbibir merah merona, dengan
farfum menyengat mendekatiku dan menyapaku. Aku tidak menjawab dan fokus pada
buku bacaanku.
“Ya, ampun Mas, gitu banget sih”
Sambil berlalu mungkin dengan rasa malu dia
meninggalkanku. Aku lebiih senang dengan cerita di buku bacaanku dari pada
harus menanggapi perempuan tidak jelas itu.
***
Begitu jelas di telinga aku mendengar ibuku
sedang menangis di kamar. Aku tahu apa yang ia tangisi, ia merindukan bapak.
Aku hanya berlalu melewati kamarnya membiarkan dia menikmati kerinduannya. Dan
aku tidak pernah bertanya, apapun tentang kerinduan itu. sampai nanti aku
sendiri mengerti rasanya rindu itu seperti apa.
Sering ibu menangis begitu, setiap aku pulang
kampung sekali atau dua kali kudapati ibu menangis seperti itu. tapi di dalam
kamar, tak ia tunjukan kepadaku. Bahkan saat keluar dari kamar, wajahnya sudah
tegar lagi. Matanya sudah bersinar lagi.
“Nak, tinggal di rumah dulu yah sebentar, ibu
mau kerumah Bude dulu,” ucap ibuku sambil berlalu meninggalkanku di kamar.
Tubuhnya yang semakin mengecil karena lelah, dan dahinya yang semakin banyak
kerutan tersalip dikepala.
“iya bu, hati-hati” ucapku singkat.
Tidak berapa lama kemudian, ibu datang dengan
beberapa kain putih untuk para jemaah haji. Aku ingat kalau itu adalah kain
yang dibawa dari Bude, karena budeku mempunyai usaha travel haji.
“Apa itu bu,” tanyaku pada ibu, aku sedikit
gembira, apa mungkin ibu akan pergi umrah. Mungkin saja dia menyembunyikannya
dariku bahwa dia punya uang simpanan karena ibu rajin sekali menabung.
“Ini kain nak, ibu bantu-bantu Bude lumayan
buat tambahan uang jajanmu” ucap ibu sambil menyunggingkan senyuman yang
sepertinya ia paksakan untuk keluar.
Seketika mataku bergenang air, air mata yang
belum pernah keluar dari mataku sebelumnya menetes tepat di pipiku. Aku terpaku
dalam diam, menatap punggung ibu yang renta, dan tangan-tangan tua itu yang
berusaha memasukan benang dan payet-payet diantara kain-kain putih. Betapa aku
rasai tanganku sungguh tak berguna, kepalaku tak berguna, juga kakiku tidak
berguna.
Aku lepas kacamata yang aku pakai, karena
airmataku ternyata menggenang. Dan aku ingat, kacamata ini pun adalah pemberian
ibu. Dari hasil menjual hasil rempah. Setiap pagi giat menumbuh kopi, kopi dari
Budeku juga. Ia memberikan uangnya kepadaku untuk membeli kacamata, karena dia
tahu mataku mulai bermasalah saat belajar.
Tubuhku yang tinggi besar sungguh terasa tak
ada gunanya, hanya menemani ibu dengan peluh di kening, dan harus memutuskan
keinginannya sendiri untuk menjadi apa yang dia inginkan. Barangkali, kalau aku
tidak ada, ibu akan menjadi wanita karir di luar, karena aku tahu kemampuan ibu
tidak kalah hebat dengan ketua PKK di kampungku. Tapi ibu tidak ingin sekalipun
meninggalkan kami, anak-anaknya di tengah arus zaman yang tidak menentu,
apalagi setelah ayah pulang. Ibu semakin mengerahkan seluruh kemampuannya untuk
tetap membuat kami tersenyum.
Sedangkan aku, statusku sekarang adalah
mahasiswa. Aku masih bodoh, dan tidak bisa apa-apa. Tanganku saja masih di
ragukan oleh orang-orang.
Entah berapa lama ibu mengerjakan pekerjaan
itu, saat aku mengambil minuman malam-malam, ditemani dengan segelas kopi hitam
kesukaannya, ibu masih mengerjakan pekerjaannya. Matanya tidak lelah, campursari
menemani kerjanya di tengah malam.
Malam itu aku hampiri ibu, dan bercakap-cakap
dengannya. Aku dekat dengan ibu, jadi aku ceritakan apapun yang aku temukan di
kampus. Dan aku pun bercerita pada ibuku bahwa perempuan zaman sekarang tidak
ada yang seperti ibu.
Tapi seperti biasanya, ibu menjawab
persoalanku dengan tidak menyalahkan satu pihak. Ia selalu bersikap adil, baik
dalam ucapan ataupun perbuatan.
“Kau ini, jangan terlalu kesal sama orang
lain, nanti kamu cinta lho” canda ibu sambil tersenyum.
“Ah, ibu mana mungkin aku suka sama perempuan
yang tidak seperti ibu”.
“gini lho nak, manusia Tuhan ciptakan dengan
karakter yang berbeda-beda, zamannya juga beda. Kamu harusnya menjadi manusia
yang bisa menyesuaikan zaman. mereka seperti itu karena mereka hidupnya di
zaman sekarang. Mungkin kalau ibu hidup di zaman sekarang, ibu juga akan
seperti mereka. Dan tugas kamu nak, sebagai orang yang Tuhan beri kesadaran.
Dekatilah mereka, ajak mereka bicara, tanyakan apa yang mereka mau, kau sebagai
orang yang tahu, berilah mereka tahu. Sesungguhnya orang yang memberi itu lebih
baik daripada orang yang menerima, bukan? ah, kau anak kuliahan kau akan lebih
tahu. Dan kalau kamu mau perempuan seperti ibu, kamu bakal dapat nenek-nenek”
sambil terkekeh ibu menggodaku.
Setiap ibu berkata panjang lebar seperti itu,
aku hanya bisa mendengarkan dan dalam hati aku iyakan. Mataku juga tidak pernah
berkedip agar memastikan semua perkataan ibuku aku kutip dengan baik di dalam
sanubari.
Sambil menasehatiku, tangan ibu dengan lihai
memegang jarum dengan jemarinya yang mulai keriput dan terbakar sinar matahari.
Ia tusukkan ke bagian bawah kain, dan diatasnya ia pertemukan dengan kancing,
sehingga membentuk ikatan yang kuat.
“Bu, ibu mau aku jadi apa?” aku keluarkan
pertanyaan itu yang sedari dulu aku fikirkan.
“Kamu ini, ada-ada saja, kenapa kok kamu
bertanya seperti itu” sambil menyunggingkan senyum ibu menjawab pertanyaanku.
“He,, soalnya aku penasaran bu, kenapa ibu
selalu bekerja buat anakmu ini yang sudah besar. Kok mau-maunya ibu membiayai
aku dan adik-adik padahal belum tentu masa depan kami cerah lho bu”
“Nak, siapa yang bisa menjamin masa depan
seseorang. Siapa yang tahu, ibu hanya berusaha memenuhi kewajiban ibu sebagai
orang tua. Ibu hanya tandur nak, ibu sudah mengharamkan diri ibu untuk panen.
Ibu hanya memaksimalkan anggota tubuh ibu, jari, tangan, kaki karena sudah
Tuhan kasih”
Aku menundukan kepala, aku tahu ibu selalu
memiliki jawaban yang membuatku harus merunduk. Mencari lagi diri sendiri.
Aku tahu, aku belum membebani diriku dengan
kerja yang maksimal. Saat pelajaran aku masih sering mengantuk dan tidur.
Bahkan aku tidak tahu pelajaran apa yang aku dapatkan hari ini. Tapi, kau tahu,
meskipun ibu tidak pernah memberikan kata semangat, atau bualan kata semangat.
Manusia desa sepertiku tidak suka bergombal-gombal mengatakan hal apa yang
sering orang-orang kota lakukan.
Ibuku tidak begitu, aku bahkan tidak pernah
mengatakan kata sayang kepada dia. Tapi ibu tahu aku sangat sayang. Aku juga
tidak pernah mengucapkan selamat pada ibuku saat hari ibu tiba. Tidak seperti
yang lain. Tapi, aku yakin ibu tahu, bahwa cinta aku kepada ia tidak hanya
dengan ucapan selamat hari ibu. Bahkan aku tidak tahu hari ulang tahun ibu. Itu
pun tidak masalah baginya.
Maka dari itu, hal yang menyemangatiku, orang
kecil sepertiku adalah dari cara ibuku mengabdikan dirinya menjadi seorang ibu.
Melakukan kewajibannya dengan sempurna sebagai seorang ibu.
****
Aku renungi kembali perkataan ibu, bahwa kita
diciptakan berbeda-beda. Dengan keadaan dan zaman yang berbeda pula. Kelas yang
aku rasa sempit karena kesalnya aku melihat kelakuan anak-anak kelas, mulai aku
fikirkan matang-matang. Aku cari sampai ke akar, permasalahan kenapa aku sampai
berfikir seperti demikian.
Akhirnya aku tahu, aku memenjarakan diri
sendiri. Aku membuat neraka dari kepalaku sendiri. Melihat orang lain adalah
musuh besar yang harus dihindari adalah salah besar. Justru hal yang aku yakin
adalah penting adalah cara Tuhan menciptakan manusia. Kenapa mereka harus aku
kenal adalah karena mereka adalah partnerku dalam hidup. Mereka adalah
penyempurna kehidupanku.
Aku mencoba terbuka dengan mereka,
perempuan-perempuan yang tidak enak di pandangan itu. Orang pertama yang aku
kenal adalah Roma, dia anak yang paling update. Pakaiannya ketat sekali, dan
kadang dadanya terlihat. Ia berperawakan Barby, dan aku akui di cantik.
Ia orang pertama yang aku ajak bicara. Aku
ajak bicara dengan pembicaraan yang biasa-biasa saja. Dan dia memang atraktif,
seperti yang ilmu komunikasi bicarakan, orang seperti ini adalah orang yang
akan menarik si pembicara. Nada bicaranya lantang, matanya fokus melihatku
setiap apa yang aku bicarakan. Dan dia pun merespon setiap apa yang aku
bicarakan dengan gaya yang menarik.
“Apa yang kamu rasakan ketika berbicara
tentang ibu?” aku memberikan dia pertanyaan seperti itu.
“Ibu, ibu adalah kata yang paling sulit
buatku, sejujurnya. Sebab, aku tahu dia segalanya bagi aku. Speachless mas,
aku gak bisa bicara soal ibuku” dengan matanya yang berkaca-kaca.
Ternyata setelah aku bicara lebih jauh, Roma
memiliki seorang ibu yang sudah tidak bisa melakukan apapun. Penyakit menahun
yang dideritanya telah membuat saraf-saraf ibunya tidak berfungsi.
Aku ketahui lagi, bahwa Roma bekerja di
sebuah butik. Ia berbakat dan pintar mendesain pakaian. Jadi dia bekerja
disana, dan pekerjaan itu membentuknya menjadi perempuan seperti itu.
Tuhan, maafkan aku salah menilai orang.
Memang benar yang ibuku katakan. Bukan hanya Roma yang aku ajak bicara, Meri,
Andriani, dll. Mereka memiliki karakter yang berbeda. Dan ternyata mereka
adalah anak-anak yang penuh semangat. Dan satu orang yang paling pendiam. Dia
adalah Senja. Senja lain dengan yang lain. Dia tidak bertingkah seperti
perempuan-perempuan lain di kelas. Dia diam, hanya tersenyum saja jika melihat
hal-hal yang mungkin baginya menarik.
Dan aku dekati dia, aku bicara beberapa patah
kata dengannya. Masih belum ia menampakkan aslinya. Aku heran dengan anak ini.
Lelaki mana yang tidak penasaran dengan perempuan seperti dia, ia membuatku
penasaran. Dan aku hanya melihatnya dari jauh. Ia nampak seperti pemurung. Tapi
dari matanya tampak sinar lain, bercahaya.
Aku dekati ia hari demi hari. Senyumannya
semakin hari semakin berkembang. Aku yakin dia sudah mulai tertarik padaku. Aku
gali terus siapa dia, sampai pada akhirnya aku harus tahu bahwa dia adalah
seorang penulis muda berbakat yang tidak tulisannya sudah diterjemahkan kedalam
5 bahasa. Sialan, anak ini. Bagaimana mungkin aku tidak tahu.
***
Benar kata ibuku, aku tidak akan pernah tahu
dimensi setiap manusia tanpa aku melihat mereka dengan dekat. Terimakasih bu,
terimakasih Tuhan.
KEDIRI, 29
DESEMBER 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari berbagi pengalaman dan fikiran untuk terus belajar... :)