Pare, sebuah
kampung di Tegalrejo ini menjadi sayap kebangkitan kota Kediri. Menjadi tempat
mengunduh ilmu bahasa. Kedatanganku kedua kalinya kesini menjadi perjumpaan
yang tidak biasa lagi.
Kereta yang
mengantarku ke Kediri seperti perjumpaan dengan kawan lama. Bahagia meski
kembali canggung. Kemudian ia menjadi tempat tidur paling nyaman saat
perjalanan. Lalu tepat di arah aku melihat ke kanan, aku melihat seorang lelaki
berkulit coklat tua duduk disana. Dengan pakaian hitam, dari wajahnya aku bisa
menebak kalau ia orang Jawa, maksudku dengan bahasa Jawa pula. Kemudian,
suasana Jawa mulai tercium dari pemuda itu.
Dua belas
jam kurang lebih, telah berlalu, perjalanan sudah sampai di statsiun
Lempuyangan. Stasiun yang sering aku temui, bercerita dan kurindukan. Kotanya selalu
memanggilku, selalu memberiku sebuah imajinasi untuk segera menyambanginya
sekedar berjalan kaki di senja hari atau menikmati terik mentarinya. Ya, Jogja
bagiku tidak hanya sekedar cantik, tapi anggun dan bersahaja.
Datang ke
gerbong satu, tempat dimana aku duduk dua orang berkacamata. Kulit sawo matang
dan hidung yang bagus. Bibir yang sama besar tapi tipis, serta berjaket merah
dengan kaos di dalamnya. Aku yakin dia seorang mahasiswa, dan ternyata benar,
setelah temanku sempat berbincang dengannya. Ia duduk di bangku yang sama
denganku. Tepat berada di depan kursi ku duduk. Sampai aku tidak tahu harus
membuang pandangan kemana, karena disampingku jendela, maka ku putuskan
berpura-pura melihat jendela di sebelahku. Padahal raut muka pria itu lebih
menarik.
Setelah dia
duduk aku tahu ada yang tidak beres dengan kepalaku. Khayalanku kembali liar
setelah melihat pemuda itu. Seluruh alam bawah sadarku bangkit menerka-nerka
ingin dan memintaku untuk tidak tinggal diam. Untuk sekedar bertanya,
berdiskusi atau membicarakan hal yang ia sukai. Aku yakin ia bukan lelaki yang
sering aku kenal. Ia pembaca buku, ia mencitai buku dan perempuan yang ia suka
adalah perempuan yang anggun dan berpenampilan bersahaja. Serta terlihat
solehah, berkacamata pula. Fikiranku kembali meracau, aku melihat jendela dan
memikirkan hal yang jauh dari kemugkinan. Aku berfikir untuk bisa berjalan
berdua dengannya bersepeda santai menyusuri kota Kediri. Sebab kebetulan dia
pun pergi ke Pare. Namun, kemudian aku mengingat bentuk tubuhku, caraku
berpakaian, caraku bersosialisasi dan akupun mengurungkan untuk melanjutkan
imajinasi liarku. Dan aku putuskan tidur saja sebelum akhirnya aku harus pindah
tempat duduk.
Perjalanan
kereta api adalah perjalanan yang paling berkesan. Tahui saja, Kereta Api itu
seperti raja di perjalanan. Ia menyingkirkan orang yang lewat di jalan untuk Ia
berjalan di rel. Ya, sebab ia raja kendaraan. Dan untuk orang kampung sepertiku
itu adalah hal yang sangat menyenangkan. Meskipun untuk kesekian puluh kalinya
aku naik kereta. Tapi kesannya selalu saja berbeda di setiap kesempatan. Dengan
kereta api kita diajak kembali ke alam. Menyapa alam dari sudut pandang
masing-masing yang melihat pemandangannya. Dan itu hanya bisa kau dapat dengan
hati yang tenang, dengan fikiran yang jernih. Maka, aku yakin senyummu akan
melebar saat kau melihat sawah-sawah yang terbentang luas. Hutan-hutan yang
seharusnya lebih rimbun, dan kebun-kebun yang bersahabat dengan petani.
Kemudian Cleaning
Servis Perjalanan mulai membersihkan kereta. Mereka menyusuri tiap
gerbong memunguti sampah yang berserakan. Ia adalah seorang bapak yang usianya
mungkin sudah 40-an dan seorang lelaki yang usianya sekitar 28-an. Mereka
kompak memunguti sampah. Hingga kemudian aku mendengar suara si bapak yang
berumur 40-an itu berbicara, dan memerhatikan koperku yang ada di bawah
menghalangi jalan. Si bapak bilang “nanti saya bereskan ya mbak kopernya”.
Dengan wajah datar namun penuh tanggung jawab dan rasa sayang. Demikian kesan
yang aku dapat. Si bapak itu kemudian menggeser ransel yang ada di atas dan
menempatkan koperku disana. “terimakasih ya pak” kata temanku. “Iya, sama-sama”
sambutnya masih dengan wajah yang datar namun terdengar sopan dari logat
Jawanya. Ah, sungguh.
Lalu stasiun
demi stasiun kereta menurunkan penumpang. Stasiun Madiun, Stasiun Barok,
stasiun Balapan, ahhh asyik sekali melihatnya. Yang di dalam, seperti keluarga
yang harus singgah di tempat-tempat yang mereka tuju. Tapi ada perasaan lega,
dan ingin tersenyum saja.
Kemudian,
aku turun di stasiun kediri. Membawa koper dan mengikuti orang-orang melewati
pintu yang sama. Sampai disana, sumringah yang ada. Perjalanan yang sangat
menggembirakan. Lalu, kita disambut oleh para lelaki yang berseragam kuning,
sponsor dari salah satu kartu perdana. Mereka tahu bahwa kami menuju ke Pare
dan menawarkan jasa becak untuk sampai ke tempat mobil yang menuju ke desa
Pare. Mereka menawarkan Jasa sebesar Rp. 20.000 untuk satu becak. Aku setuju
saja untuk membayar mereka sebesar itu, dan sebenarnya sama sekali tidak ingin
menawar kembali. Sebab, dari raut muka mereka aku melihat lelahnya mencari
uang. Legamnya kulit mereka yang harus mengakrabi matahari membuatku enggan
untuk menawar lebih rendah daripada harga itu. lalu, kami putuskan untuk naik
becak, meskipun temanku sempat enggan naik becak, sebab menurut informasi yang
ia dapat harganya cukup mahal.
Perjalanan
becak mengajaku menelusuri Kota Kediri meskipun sedikit, tapi lagi-lagi nuansa
Jawa membuat tubuhku memberikan respon positif untuk selalu menikmati
perjalanan, dan segala hal yang ada disana. Terik matahari tidak canggung ku
nikmati, sebab bagian dari Jawa adalah terik matahari.
Lalu becak
menurunkan kami di tempat lewatnya kendaraan umum menuju ke Pare. Ada tukang
becak juga disana. Dan mereka bertanya kepada kami hendak kemana. Entahlah,
yang selalu ku rasa dari logat Jawa adalah bahasa dan logat mereka yang selalu
anggun dan bersahaja. Lalu, mereka pun membantu kami memberhentikan setiap
kendaraan umum yang lewat yang memang tujuannya ke Pare.
Sedikit
informasi, di daerah Kediri memang kalau untuk pendatang akan sulit menemukan
kendaraan seperti di kota-kota besar, semisal Bandung yang memiliki banyak
kendaraan umum seperti angkot. Tapi di Kediri, kita tidak akan menemukan kendaraan
semacam itu, kendaraan umum yang dipakai lebih mirip kendaraan pribadi dan sebagian
kendaraan tidak ada tertera nama tujuan mobil tersebut. Maka, jika tidak
dibantu oleh tukang becak entah bagaimana aku mendapatkan kendaraan menuju ke
Pare.
Kemudian, aku
perhatikan supir yang membawa kendaraan ini. Ia berambut ikal dengan sedikit di
kepang ke belakang. Rautnya garang, tapi tutur bahasanya masih saja aku suka,
aku anggap bersahaja. Seperti itulah aku melihat orang Jawa hari ini.
Beberapa
orang kutemui disini, Pare kota kecil nan anggun. Kebunnya masih asli,
begitupun rumahnya, hanya sebagian rumah yang berukuran raksasa dan yang
lainnya masih mempertahankan kesederhanaan desa. Begitupun warung-warung makan.
Banyak warung makan sederhana dengan menu-menu kental jawa, bumbu yang tidak
begitu asin dan pecel. Fast food juga ada, tapi lidah dan hatiku lebih
akrab dengan makanan asli mereka.
Banyak orang
berharga yang aku temui kembali disini. Pertemuan dengan orang-orang disini
bukan tidak berarti, tetapi pasti akan ada yang paling berkesan dan ada juga yang berkesan biasa saja.
Orang kedua
setelah orang-orang yang kutemui di perjalanan itu adalah lelaki bertubuh
tinggi besar, jika orang lain berdiri disampingnya, orang itu akan terlihat
sangat pendek, apalagi yang memang asalnya pendek (hehe..) ia berkacamata, dan
berkening lebar. Ya, nampak seperti orang-orang pintar kebanyakan. Dan aku
tidak salah menilai, ternyata dia bukan orang bodoh.
Berasal dari
sebuah kota dekat Kediri, bernama Tulungagung. Dia sarjana bahasa Inggris dari
STKIP PGRI Tulungagung. Agak heran melihat anak ini, aku tidak pernah
melihatnya malas, mengeluh, atau murung. Keadaannya selalu bersemangat,
meskipun kadangkala dia mengantuk. Tapi, dalam keadaan sadar dia selalu
menunjukkan kesan semangat dimataku. Dan dia selalu mengharga waktu, aku tidak
pernah mendapati dia datang telat, kalaupun sudah melewati jam masuk, sudah di
pastikan di tidak masuk.
Dan suatu
hari aku pernah berbincang sedikit dengan lelaki berusia 23 tahun ini, dia
membawaku berbincang tentang keadaan anak muda zaman sekarang, tentang cabe-cabean
dan perkembangan zaman. Beberapa kali berbincang dengannya isinya bukan hal
biasa, menurutku. Tapi selalu ada kesan perjuangan, kritik sosial dan
“mahasiswa” itu ada pada dirinya.
Selain itu,
yang aku heran dia juga selalu cerita. Padahal orang-orang disekitarnya adalah
anak-anak yang baru keluar dari SMA. Aku saja tidak begitu kerasan bersama
mereka. Tapi cara dia menghadapi anak-anak itu lain, aku beranggapan mungkin
karena dia adalah figur guru. Tapi ternyata bukan hanya itu, dia beranggapan
untuk menjadi manusia besar, kita harus bisa masuk ke berbagai kalangan. Dan
itu, aku nilai dia berhasil. Sebab, aku
sendiri tidak mampu seperti itu.
Ya, akan
selalu ada seseorang yang berharga di balik orang seperti itu, begitupun dia.
Dari ceritanya, Ibu adalah inspirasi tertinggi baginya. Segalanya bagi dia.
Dan orang
selanjutnya yang aku temui disini, baru-baru ini adalah lelaki berbadan gemuk
berumur 28 tahun berasal dari Jogjakarta. Kita sempat berbincang di sebuah
angkirangan dekat kosan. Dari pembicaraannya dia orang yang banyak pengalaman.
Ya, dia pernah menjadi reporter sebuah surat kabar dan sekarang dia adalah
penulis di salah satu website besar indonesia. Tapi, sempat dia bilang, “jangan
anggap aku orang keren, itu bukan keinginan aku, itu karena kepepet. Jangan
ditiru” ungkap dia siang itu.
Dia pun
pernah kuliah selama dua tahun, tapi tidak pernah selesai. Dia bilang “Saya
hanya kuliah sampai saya tahu 5W+1H, setelah itu saya tidak lanjutkan kuliah
lagi” aku tanyakan pada dia kenapa. Dia hanya bilang bahwa dia kuliah hanya
ikut-ikutan saja. Dan jurusan yang
diambil pun asal. Dia ambil fakultas Komunikasi dengan konsentrasi periklanan.
“Kuliah
memang bukanlah tempat kita menggantungkan pekerjaan, tapi kuliah untuk
mendapatkan ijazah. Sebab, bukti nyata bagi orang tua adalah ijazah. Dia akan
merasa telah berhasil menjadi orang tua ketika mereka telah kita berikan bukti
ijazah. Mereka akan senang ketika kita mendapatkan ijazah kita. Soal nanti
dapat kerja atau tidak itu masalah lain.” Ungkapnya dengan nada nampak
menyesal. Karena dia harus ditinggal bapaknya beberapa waktu setelah dia
memutuskan berhenti kuliah.
Ia pun
bercerita tentang didikan bapaknya yang mebuat aku sendiri terheran-heran
dengan orang tua yang berani seperti itu. Dia bilang, ayahnya sering menampar
jika adiknya yang duduk di bangku sekolah dasar nyanyi-nyanyi lagu-lagu galau
zaman sekarang. Dan ayahnya lebih senang jika anaknya mengumpat saja jika dia
merasa sedih ataupun kesal. Tapi, itu harus dilakukan di rumah, tidak di tempat
lain.
Cara
pendidikan ayahnya memang unik. Ayahnya tidak pernah melarang dia merokok, tapi
dia berpesan untuk merokok di rumah saja. Tidak di tempat lain, dan jika
ketahuan merokok di luar rumah, maka kembali ke rumah tubuh tidak akan selamat.
Pasti akan ada yang kena dampar.
Dia sadar,
merokok di rumah itu tidak asyik. Karena keasyikan merokok itu adalah ketika
bersembunyi dari orang tua dan merokok disuatu tempat yang tersembunyi dari
orang tua. Itulah asyiknya merokok.
Aturan
paling ekstrim di keluarganya yaitu, ayahnya membolehkannya minum dan masih
sama, tempatnya hanya di rumah. Sebab, dia sendiri pernah ketahuan minum oleh
ayahnya bersama temannya. Dan akhirnya ayahnya berani membelikannya minuman
asal dia minum di rumah dan tidak diketahui ibunya. Dan lagi-lagi itu tidak
membuatnya ingin minum, karena baginya itu tidak asyik.
Selanjutnya
pesan-pesan ayahnya untuk dia dan adik-adiknya adalah dia boleh melakukan hal
apapun di luar, asalkan bertanggungjawab, tidak berbohong, dan tidak menyakiti
manusia manapun. Begitupun saat adiknya yang SMP harus melalui masa SMPnya
dengan tawuran. Ayahnya tidak bergeming melarang, pesannya hanya satu, jika
berantem dan pulang dengan babak belur. Jangan anggap mereka musuh, lalui
dengan rasa gembira dan pulanglah dengan tersenyum. Dan ya, adiknya pernah
pulang dengan keadaan babak belur dan bibirnya tidak sedikitpun terlihat dendam
tapi tetap tersenyum.
Hingga,
kelakuan paling parah membawa adiknya ke penjara. Dan saat itu juga adiknya
tidak tawuran lagi, sebabnya sepele. Karena ketika ayahnya menjenguk, ia tidak
marah atau mengumpati dia. Dia hanya bilang “Hebat kamu bisa sampai masuk
penjara, kamu tetap anak ayah, asal kamu tidak nyolong” ungkap ayahnya dengan
senyuman. Dan itulah yang membuat adiknya tidak kuat melihat raut wajah
ayahnya.
Ia datang ke
Pare dibiayai oleh bosnya untuk belajar bahasa. Tidak sama seperti mahasiswa
bahasa Inggris yang aku katakan tadi, semangat lelaki yang berasal dari Jogja
difokuskan pada pekerjaannya, dan dia bilang dia tidak kuat mengikuti
pelajaran. Dia pun berujar bahwa semua yang diberikan dan diulangankan itu
belum selesai disitu saja. Masih ada dunia nyata yang harus dihadapi. Sehingga
dia lebih sering bolos kelas untuk bekerja daripada masuk untuk mendengarkan
guru menjelaskan.
Tapi dia
tetap bertanggung jawab menjadi ketua kelas, dia tetap memberikan wejangan
kepada anak-anak kelasnya dan memberikan tanggungjawabnya sebagai ketua kelas.
Seperti mengakomodir keinginan anak-anak kelasnya saat akan liburan, atau untuk
sekedar menjenguk anak kelasnya yang sakit. Dia datang, meskipun pada waktu
mata pelajaran dia tidak datang.
To be continued...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari berbagi pengalaman dan fikiran untuk terus belajar... :)