“Aku hanya
ingin menjadi bagian dari hidupumu, Pras”
Dalam ruang yang tidak sadar aku menumpahkan kata itu kepada
Prasetyo. Seketika tubuhku gemetar, tanganku sulit kukendalikan, mataku menatap
ke segala arah yang mungkin bisa aku jangkau untuk membuang pandangan.
“Maksud kamu apa?”
“Aku ingin menjadi manusia yang tua bersamamu. Aku sampaikan
itu lewat tulisan-tulisanku. Aku maksimalkan kemampuanku untuk itu, lalu
bernegosiasi dengan Tuhan, dan mungkin Ia memberiku petunjuk untuk menulis.
Maka itu yang aku lakukan, aku selalu berharap dalam setiap kata yang aku
tuliskan itu sampai pada kamu.”
Berasal dari keberanian pertama yang aku keluarkan menegaskan
seluruh gerak tubuhku, hingga sampai pada perkataan itu. Mataku seperti memerah,
keberanian mulai mengakar meskipun sejenak sepertinya angin berhenti berembus.
Kursi yang aku duduki seperti ikut bergeming, kopi dan teh
yang kami nikmati di senja itu seperti ikut terkejut mendengar ucapanku . Dudukku
semakin tidak menentu. Kursi panjang yang kami duduki di taman itu pun seperti
manusia ketiga yang mendengarkan ucapanku, malu.
Pras menatapku, aku yakin dia menatapku karena dari ujung
mata aku melihat tangan kanannya bertumpu pada sandaran kursi. Dan posisi
tubuhnya juga menghadapku. Aku merunduk sedari tadi, mencari-cari sesuatu yang
bisa mendukungku, bertepuk tangan atas ke beranianku di atas rumput sana.
****
Jariku dengan lancar menari di atas keyboard laptop, kata-kata
meluncur dengan luwes tanpa ada hambatan sedikitpun. Seperti tidak ada kata
bosan padaku, seperti tidak akan ada kata lelah buatku menyanjung manusia itu. Dia
aku umpamakan Jogjakarta, sebuah kota yang penuh kenangan dan cerita. Seperti
itulah Pras, dengan segala hal ajaib yang ada di kepalanya, dan lakunya. Ah,
ingin rasanya segera berkunjung ke kota itu, menjamah seluruh unsur dalam
kepalanya.
Sialnya aku sangat tergoda, seperti penyair aku sampaikan rinduku
pada orang itu. aku menulis puisi di koran-koran. Aku yakin manusia berkacamata
seperti Pras akrab dengan dunia literasi. Sesekali aku samarkan namanya, tapi
sering sama sekali tidak aku samarkan nama Prasetyo.
Kebiasaan menkhayalku aku dayagunakan untuk kembali berimajinasi
dan mengharapkan suatu hal. Sebenarnya aku agak merengek pada Tuhan, sebenarnya
kalau Ia mengerti maksudku. Seperti pengagum lainnya, aku pun berkhayal untuk
berbicara selamanya dengan Pras, di sudut kafe atau kamar misalnya. Mauku, aku
dan Pras tidak berhenti membicarakan suatu hal yang sangat menarik. Ah, aku
tidak bisa mengabaikan hal ini menjadi mimpi.
Sebenarnya aku tidak terlalu suka dengan suatu hal yang berbau-bau
resmi. Seperti pakaian, ia sering memakai baju batik yang dikepalaku tertancap
label pakaian resmi. Aku sering diancam baju batiknya. Kerap aku disingkirkan
oleh baju batiknya yang resmi itu. Ya, karena setiap aku melihatnya memakai
batik aku merasa menjadi perempuan paling kumal. Aku selalu beranggapan perempuan
kumal sepertiku sepertinya tidak elok bersanding dengan lelaki berbaju batik.
Itu aku tahu, tapi ada yang tidak juga menyerah di kepalaku.
Juga seperti seorang kepala desa picik, aku ingin memilikinya dan
menjadi bagian dari desanya yang elok. Sering aku memerhatikannya dengan tidak
wajar. Melihat dari belakang, kupingnya aku perhatikan, atau ujung rambutnya. Dalam
hati sering aku bergumam “Persilakan aku mencintaimu, tersenyum saja kau,
sekarang itu cukup. Entah nanti, entah esok hari. Tapi aku yakin, haha iya aku
masih memiliki keyakinan bahwa ini tidak akan menjadi hal tidak berarti semata.
Aku perempuan hebat, aku tidak akan mati oleh rasa. Bahkan aku akan hidup lebih
mantap dengan rasa ini. Mungkin hanya membawa ini menjadi tulisan atau
benar-benar diam dikotamu. Sehingga aku dan kau menjadi kita.” Seperti
perempuan yang telah mendapat mantra guna-guna, aku terus merapalnya dalam
setiap tulisan atau yang aku lafalkan dalam fikiran saja.
Pernah suatu hari aku mengetik sebuah surat, dan hendak dikirimkan
padanya. Tapi urung, karena keraguan lebih matang daripada rasa yakinnya
sendiri. Selain itu, perempuan yang hidup di zaman modern ini masih saja
memikirkan bahwa tidak eloknya perempuan yang mengatakan suka pada pria yang ia
senangi.
“Pras, kau tahu perempuan sepertiku tidak
pernah merasa puas. Aku penulis yang tidak pernah bisa meraba tanah. Aku belum
juga bisa menginjak tanah. Aku bisa gila karena ini. Setiap hari aku selalu
berharap ada seorang Mesiah yang mengajakku turun ke bumi lalu meminjamiku
sandal dan aku berjalan di atas tanah dengan riang. Bernyanyi seperti Tasya
anak kecil itu.
Betapa menyedihkannya jadi penulis yang tidak
pernah menginjak tanah. Mungkin bagimu tidak, kau adalah orang bertangan
malaikat. Sedangkan aku, orang-orang yang sering menguatkanku adalah orang-orang
gila, tapi mereka membuatku tenang. Dan orang sepertimu Pras, adalah orang yang
membuatku gila. Orang yang membuat hidupku tidak tenang. Kau mengusikku dengan
tingkahmu yang tidak aku miliki.
Coba Pras, sapa aku sejenak saja pagi ini.
Jangan terlalu sibuk dengan pekerjaanmu, aku pun adalah dunia, memiliki
cakrawala yang mungkin saja belum kau lihat dari dunia yang kau temui
sebelumnya.
Coba sapa aku, hingga akhirnya aku tahu apa
yang akan terjadi denganku. Mungkinkah aku bisa menapak pada tanah, atau aku
malah akan terbang lebih jauh. Apapun itu, bagiku tidak masalah. Asalkan aku
sudah merasakannya dan aku bisa menuliskannya, Pras. Ketahui saja, hidupku
untuk menulis. Jangan kau anggap remeh, sebab mungkin aku diturunkan Tuhan ke
bumi untuk menuliskan segala cerita dan membuat buku harian yang begitu unik.
Jangan kau heran dan menyesal nanti jika saja aku sudah menjadi penulis
terkenal dan kau mengagumiku, serta menyesal tidak pernah menyapaku.”
***
Bip bip... ponselku berbunyi. Segera pesan itu aku buka
“Tulisanmu ditunggu sampai akhir bulan ini Des,” ya Tuhan, SMS dari
pak Seno. Penerbit yang sedang menunggu terbit buku ke duaku. Disamping rasa
syukurku yang semakin mendalam aku semakin stress mendapati hal ini. Dan urusan
dalam kepalaku belum juga selesai.
“saya usahakan pak, “ aku jawab dengan singkat saja. Memangnya
penulis harus memaksakan diri. Ah, tidak bagiku. Aku butuh ruang untuk
memaksimalkan tulisanku.
Buku pertama laku keras, usahaku menulis buku diari dari semester
pertama kuliah tidak sia-sia. Kerja kerasku terbayar lunas, dan cita-citaku
menjadi penulis novel terwujudkan. Catatan-catatan target pencapaian sudah
hampir semua aku coreti. Kecuali yang berhubungan dengan manusia itu, Pras.
Tidak lain adalah karena dia, Prasetyo. Lelaki tinggi besar itu,
yang sejak pertama aku menulis dialah satu-satunya inspirasi terbesar,
pendorong aku menulis.
Sudah dua tahun aku tidak bertemu dengan dia, sejak farewell
party memisahkan jarak kita. Aku tidak bisa setiap hari bertemu dengannya
lagi. Kabar pun tidak aku dapatkan. Di facebook aku berteman dengan Pras, tapi
aku sama sekali tidak berani menyapanya. Karena dia tidak bergeming di Facebook
dan jarang menulis status atau memberikan komentar pada statusku.
****
Pagi di Tahun baru kembali, aku memberi semangat pada diri sendiri.
Seperti kebiasaan, aku duduk di beranda rumah, menatap taman yang tidak begitu
luas di depan rumah. Kopi menemani aktifitas pagiku, menulis.
Sialnya selalu ada saja hal yang membuat Pras berlalu lalang di
ingatan. Aku tatap sejenak kopi disampingku. Ah, sial kenapa aku merasa disini
begitu kosong. Dan Pras mondar-mandir di kepalaku. Rasanya tak lengkap karena
manusia yang aku harapkan itu tidak juga datang. Maka aku biarkan lamunanku
menerawang ke segala arah yang di mau.
Pagi ini rasanya aku sedang membujuk Tuhan untuk bisa minum kopi
bersamaku, dan kita berbincang. Aku akan menunggu izinNya. Hati mendorong akal
dan fikiran untuk mengirim pesan singkat pada Pras. Untuk bertanya apa yang dia
fikirkan tentang tahun baru ini. Aku tahu dia akan punya jawaban yang mengasyikan.
Aku sendiri akan dengan bangga bercerita kepada Pras bahwa tahun baruku aku
habiskan di kamar dengan keberanian. Sebab, dengan caraku aku seperti menemani
mereka yang tidak bisa merayakan tahun baru. Serta, aku selalu malu kepada
Tuhan jika aku foya-foya menikmati hal
yang sejenak saja. Sebuah pergantian yang tidak merubah apapun selain
menimbulkan banyak sampah, dan rumput-rumput yang rusak.
“Kalau kamu punya waktu, mari minta izin bersama kepada Tuhan untuk
keluar sebentar. Kita bicara di angkringan” itu saja yang muncul dalam
kepalaku, harapan kosong.
Setelah menikmati kopi aku putuskan untuk membeli koran, aku ingin
melihat tulisanku yang katanya hari ini di muat di surat kabar harian. Selalu
lagu Jazz menemani perjalanku di sepeda ontelku. Seberang jalan aku lihat orang
berbaju hijau, tubuhnya tinggi besar dengan celana kain berwarna cream. Dia
melihat ke arahku, dan aku memerhatikan dengan seksama tanpa bisa menebak siapa,
karena mataku memang bermasalah ketika melihat orang dengan jarak jauh. Pandanganku
jadi kabur.
“DESEMBER....” orang itu memanggilku dengan lambaian tangannya.
Aku memerhatikan lagi dengan seksama, dan membalasnya dengan sapaan
biasa. Karena aku ragu.
“Hai...”
Lalu orang itu melihat kiri kanan, dan menghampiriku. Wajahnya
mulai jelas, kacamatanya aku kenal, gerak tubuhnya aku kenal, Pras. Aku terpaku
pada sepedaku, Ia berlari kecil menyeberang jalan menuju ke arahku. Pras sudah
berada di sampingku mengulurkan tangannya kepadaku.
“Apa kabar? Lama gak ketemu, kemana aja?”
“A... aku baik-baik aja, kamu sendiri gimana?”
Senyum aku buat-buat, dari rasa keterkejutanku. Seperti tiba-tiba
waktu berhenti mendengarkan denyut jantungku yang sangat kenccang. Mataku tidak
berkedip menatap matanya yang tetap seperti dulu.
“Mau kemana? Kita ngobrol dulu yuk”
“Engga kemana-mana, aku Cuma beli koran.”
“Wah,, Wah,, mulai berlangganan koran nih. Kaya pejabat aja.. hahaha”
“Aku nulis, kata temanku tulisanku dimuat. Jadi aku beli hehe”
“Keren nih temen aku. Ayok jangan lama-lama berdiri dipinggir
jalan, nanti ada yang nawar haha”
“Dasar...”
Candaannya tidak pernah luntur, sekalipun sudah dua tahun kita
tidak bertemu. Tapi ia tidak menampakan kesungkanannya. Lain denganku, aku
semakin canggung.
“Beli kopi yuk.. “ ajakku berharap lelaki seperti dia juga senang
menikmati kopi.
“Emh,, aku berhenti minum kopi. Aku teh saja.”
Sedikit kecewa, tapi tak mengapa. Setelah memesan teh dan kopi kami
duduk di taman samping warung itu. Seperti mimpi dan cerita di sinetron. Aku
fikir ini gila, dan Tuhan, apa yang Dia rencanakan.
“Tempat ini masih sama ya, seperti dua tahun lalu. Kamu betah
banget disini”
“Hheu iya, betah, tempat ini selalu memberi aku banyak inspirasi”
“Aku kangen sahabat-sahabat kita dulu, kemana ya mereka”
“Gak tahu mungkin sudah pada pulang, aku kan kurang akrab sama
mereka. heu”
Aku ambil kopi panas di depanku, diatas meja bulat. Berharap mereka
bisa menyela pembicaraanku, dan memberiku sedikit inspirasi untuk bertanya apa
saja pada Pras. Meja di depanku menjadi sasaran empuk untuk aku jatuhi
pandangan lekat. Ia berwarna putih, dan sudah agak pudar warnanya, tapi
bentuknya kecil membuat dia terlihat unik.
Kadang, korban pandanganku juga adalah kebun jagung di sebrang
jalan. Aku melihat mereka meliuk-liuk, dan seolah aku ancam mereka untuk
memberi tahuku sedikit pertanyaan yang bisa aku ajukan pada Pras.
“Kamu masih sama aja, diam terus. Ngobrol dong.. gak kangen sama
aku”
“Heu,, gimana kuliah disana? Apa yang bawa kamu kesini?”
“Ya gitu deh,”
“Gitu gimana? Singkat banget jawabnya. Ngeselin..”
“Aku mau tanya sesuatu, boleh?”
Dadaku mulai berdetak kencang, sepertinya aku tahu pertanyaan apa
yang akan dilontarkan oleh Pras.
“Ya,, silakan. Minta izin segala ni orang”
“hehe.. Sejak kapan nulis novel?”
Aku menggigit bibir, mataku bergerak kesana kemari. Bingung,
jawaban apa yang mesti aku keluarkan.
“Udah lama...”
“Ohh... aku baca novel kamu. Aku gak nyangka kamu bisa nulis
sebagus itu. Pras, siapa dia, kayaknya dalem banget kamu mengenalnya” matanya
menajam dan mengarah ke mataku, barangkali dia mencari kejujuran disana.
“Heeu,, khayalan Pras, dia nyata tapi khayalan buatku. Sorry aku
pake nama kamu, aku kira kamu gak bakalan baca buku aku. Aku juga gak nyangka
bakal selaku itu, novel aku padahal biasa banget. Aku aja gak yakin”
“Dari hati, biasanya tulisan yang dari hati akan sampai ke hati
juga”
“Kata siapa dari hati, dari komputer keless”
Pras hanya tersenyum saat aku lirik sebentar. Perbincangan
berhenti, aku mulai bingung lagi. Kaki ku ayun-ayunkan mencari kesibukan lain.
Pras menghadap ke arahku duduk dengan tangan dijulurkan diatas sandaran kursi.
Dan caranya duduk membuatku kikuk.
“Kamu mau cerita?”
Dan, aku seperti perempuan yang sedang disorot diatas panggung.
Dimintai pertanggung jawaban atas segala perbuatan. Pras seperti menikamkan
pisau di jantungku.
Aku ceritakan seluruhnya kepada Pras.
“Desember,”
Aku mengangguk tanpa berani menatapnya.
“Sekali ini aku minta maaf, Des. Kalau saja aku tahu dari dulu,
kalau saja kamu bilang itu dari dulu. Banyak kemungkinan yang bisa aku lakukan,
tapi sekarang aku sudah punya Satria.”
“Satria?”
“Ya, anakku”
Bibirku kaku, tidak ada kata yang bisa aku keluarkan. Tapi tidak
ada airmata yang jatuh, untung saja. Aku
malah merasa aku lebih tegar, dan menjadi pemenang di areal pertandingan itu.
Dan aku tersenyum, mendapati Pras yang nampak menyesal.
“Tidak apa-apa, meskipun begitu aku berhasil mencairkan seluruh
rasaku Pras. Sungguh tidak apa-apa”
Giliran Pras yang merunduk, mungkin menyesal dan aku yang berani
menatap sekujur tubuhnya. Keberanian bermuara dari kejujuran dan kemampuanku
untuk berhadapan dengan kenyataan yang pahit.
“Ini buatmu,”
Pras memberikan sebuah buku tulis dan pulpen. Dalam buku itu, ia
membuat sketsa wajahku. Ia menulis bahwa ia kagum kepadaku, bahkan sangat
kagum. Dan ia berkata
“Tetap jadi penulis, aku mengirimu cerita lagi. Mungkin ini jawaban
rindumu, maaf barangkali bukan kabar baik yang bisa aku berikan.”
Aku hanya tersenyum puas. Ya, benar kata Pras, inilah jawaban rindu
yang tidak pernah mencair itu. Jawaban itu hakku, dan yang berhak menjawab
hanya Tuhan yang memiliki beribu rahasia.
Kediri, 8 Januari 2015
oke. ini baru yang namanya keren..
BalasHapus