Diskusi bersama FAS

  • 0

“menulislah untuk persoalan kemanusiaan bukan persoalan pribadi manusia, karena hidup terlalu singkat jika hanya untuk mendengar permasalahan pribadi”
Kutipan itu saya dapat dari Pak BQ saat berbicara di FAS (Forum Alternatif Sastra) yang di gelar di fakultas Ushuluddin UIN Bandung. Bersama para aktifis sastra, HMJ-Akfil, BSI, Komunitas Rumput, SUAKA, SASAKA dan Verstehn.
Menarik memang ketika membicarakan sebuah tulisan atau sastra bagi saya, bagaimanapun sastra adalah sebuah seni meramu kata-kata menjadi suatu bacaan yang penuh ornament cantik, atau pengharum ruangan yang bisa membuat orang betah lama-lama disuatu ruangan. Dan kadang kala ada suatu pesan yang tersembunyi yang harus di selami dengan hati nurani.
Seperti itu juga sastra, sastra selalu menyampaikan suatu pesan yang cerdas dengan kata-kata menindas yang sedikit pedas, tapi dengan liukan bahasa yang tidak bablas.
Kadangkala kita menulis suatu hal yang memang merupakan urusan pribadi, dan ditujukan pada orang-orang agar simpati kepada kita. bukankah begitu (saya)? betapa kita egois. Kita tidak menunjukan simpati  kepada orang lain, sedangkan kita tidak memandang mereka sebagai objek perhatian kita.
Salah satu orang yang menulis persoalan sosial adalah A A Navis, salah satu penulis hebat dari daerah Minang. Sebelumnya saya belum pernah membaca karyanya, tapi namanya lumayan familiar di telinga. Bagi yang belum tahu, A A Navis adalah orang yang menulis cerpen Rubuhnya Surau Kami.
Baginya menulis adalah suatu kesenangan sama halnya seperti bermain music, melukis, dan memahat. Karena awalnya dia bergelut dalam bidang itu, tapi akhirnya lebih memilih untuk menulis. “Jika kita menulis, kita harus menentukan siapa yang akan kita tuju dalam tulisan itu. Apakah itu orang pintar, orang bodoh, anak kecil, remaja, tukang becak atau siapapun. “Dan saya tidak menulis untuk orang bodoh” lanjutnya.
Pilihan-pilihan untuk genre-genre tersebut akan membuat kita focus pada satu objek ,kalau saya komentari. Dan bahasa-bahasa kita pun akan lebih cepat tersampaikan kepada siapa sebenarnya tulisan kita ditujukan.
“Menulis juga harus mempunyai dasar filosofis” ungkapnya lagi. Dalam hal ini saya mendapat kesimpulan kalau yang namanya makna filosofis berarti makna yang tersembunyi dan tidak secara lugas di paparkan oleh penulis, atau mungkin bisa disebut sebagai pesan yang ingin disampaikan penulis dibalik ceritanya. Bisa kita ambil perumpamaan ritual-ritual agama-agama lokal di Indonesia, bagi mereka ada yang namanya hutan terlarang sehingga kadangkala harus melakukan ritual untuk menghormati mereka. Dan makna filosofisnya begitu bagus, karena alam merupakan nenek moyang mereka, atau bagian dari Tuhan dan alam menjadi lestari dan terjaga serta melindungi mereka.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari berbagi pengalaman dan fikiran untuk terus belajar... :)