“menulislah untuk persoalan
kemanusiaan bukan persoalan pribadi manusia, karena hidup terlalu singkat jika
hanya untuk mendengar permasalahan pribadi”
Kutipan itu saya dapat dari Pak
BQ saat berbicara di FAS (Forum Alternatif Sastra) yang di gelar di fakultas
Ushuluddin UIN Bandung. Bersama para aktifis sastra, HMJ-Akfil, BSI, Komunitas
Rumput, SUAKA, SASAKA dan Verstehn.
Menarik memang ketika
membicarakan sebuah tulisan atau sastra bagi saya, bagaimanapun sastra adalah
sebuah seni meramu kata-kata menjadi suatu bacaan yang penuh ornament cantik,
atau pengharum ruangan yang bisa membuat orang betah lama-lama disuatu ruangan.
Dan kadang kala ada suatu pesan yang tersembunyi yang harus di selami dengan
hati nurani.
Seperti itu juga sastra, sastra
selalu menyampaikan suatu pesan yang cerdas dengan kata-kata menindas yang
sedikit pedas, tapi dengan liukan bahasa yang tidak bablas.
Kadangkala kita menulis suatu hal
yang memang merupakan urusan pribadi, dan ditujukan pada orang-orang agar
simpati kepada kita. bukankah begitu (saya)? betapa kita egois. Kita tidak
menunjukan simpati kepada orang lain,
sedangkan kita tidak memandang mereka sebagai objek perhatian kita.
Salah satu orang yang menulis
persoalan sosial adalah A A Navis, salah satu penulis hebat dari daerah Minang.
Sebelumnya saya belum pernah membaca karyanya, tapi namanya lumayan familiar di
telinga. Bagi yang belum tahu, A A Navis adalah orang yang menulis cerpen
Rubuhnya Surau Kami.
Baginya menulis adalah suatu
kesenangan sama halnya seperti bermain music, melukis, dan memahat. Karena
awalnya dia bergelut dalam bidang itu, tapi akhirnya lebih memilih untuk
menulis. “Jika kita menulis, kita harus menentukan siapa yang akan kita tuju
dalam tulisan itu. Apakah itu orang pintar, orang bodoh, anak kecil, remaja,
tukang becak atau siapapun. “Dan saya tidak menulis untuk orang bodoh”
lanjutnya.
Pilihan-pilihan untuk genre-genre
tersebut akan membuat kita focus pada satu objek ,kalau saya komentari. Dan
bahasa-bahasa kita pun akan lebih cepat tersampaikan kepada siapa sebenarnya
tulisan kita ditujukan.
“Menulis juga harus mempunyai
dasar filosofis” ungkapnya lagi. Dalam hal ini saya mendapat kesimpulan kalau
yang namanya makna filosofis berarti makna yang tersembunyi dan tidak secara
lugas di paparkan oleh penulis, atau mungkin bisa disebut sebagai pesan yang
ingin disampaikan penulis dibalik ceritanya. Bisa kita ambil perumpamaan
ritual-ritual agama-agama lokal di Indonesia, bagi mereka ada yang namanya
hutan terlarang sehingga kadangkala harus melakukan ritual untuk menghormati
mereka. Dan makna filosofisnya begitu bagus, karena alam merupakan nenek moyang
mereka, atau bagian dari Tuhan dan alam menjadi lestari dan terjaga serta
melindungi mereka.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari berbagi pengalaman dan fikiran untuk terus belajar... :)