"Aku hujan yang sedang menunggu tempat ku
berpijak. Jejakku selalu hilang terbawa tanjakkan. Akupun menjadi genang yang
mendapat usir dari matahari menjemput nasib berupa kering dan meresap pada pori
tanah. Aku selalu hilang-selalu hilang dalam apapun yang telah aku coba untuk
menggenang. Begitupun saat ku coba menggenang dalam hidupmu." -Ning
"Ning, kita
ngopi dulu yu di warung serebu", ungkap Asep usai perkuliahan.
"Wah, dengan
senang hati, hayu" meski mukanya mulai mengkilap karena keringat dan
pantulan sinar matahari yang sangat terik. Namun ajakan Asep membuat sirna
peluhnya yang bercucur.
Warung serebu tak
begitu ramai sore itu, Ning yang hanya ingin menghabiskan sorenya dengan Asep
memesan kopi Moca. Sudut ruangan menjadi tempat mereka
menghabiskan sore.
Banner bergambar tembok china, menara kembar di Malaysia dan menara Eiffel
menjadi perhatian Ning. Asep mulai bercerita dan kopi Ning nikmati dengan
meminumnya sedikit demi sedikit.
Asep duduk tepat di
depan Ning, pada meja yang berkursi dua. Dengan merapikan rambut panjangnya
yang lumayan tidak teratur, Asep membiarkan sahabatnya menatap gambar-gambar
yang berjejer di dinding warung.
"Fikiranku
selalu melemahkanku untuk bisa pergi kesana" sambil menyeruput kopi Ning
menunjuk tempat-tempat yang terpampang di banner itu.
"kamu tahu kan
mimpi itu seperti perahu yang berlayar, perahu akan berlayar dari pelabuhan
yang kita lihat tampak besar. Namun, setelah di samudra dia akan semakin
mengecil dan semakin tidak terlihat, tapi pasti dia akan sampai" ucap Asep
dengan beberapa gerakan tangannya yang Ning perhatikan putih dan bersih.
"ya mungkin
seperti itu, menurut sebagian teori. Hhe maaf aku menyebutnya teori. Kadangkala
aku harus melacurkan diri, menghapus mimpiku. Dan orang-orang sering berkata
itu kehendak Tuhan. Ya, Tuhan menghendaki aku untuk melacur"
"maksudmu?"
Raut muka Asep menyuram, keningnya pun dikerutkan.
"maksudku ya,
banyak orang yang berjalan di jalan yang tidak ingin dia injak. Layaknya para
pelacur. Banyak dari mereka yang tidak ingin menuju kesana, namun apa daya, ada
hal yang memaksa mereka untuk pergi kesana". Jelas Ning sembari memutar-mutar
jarinya diatas gelas kopi.
"tapi kamu
tidak perlu seperti itu Ning"
"memang tidak
harus, tapi kamu tidak tahu bagaimana orang seperti aku membahagiakan orang
tuaku, yang mereka tahu aku kuliah dan menyelesaikan S1 tepat pada waktunya.
Dengan lahirnya aku sebagai manusia yang mendapat kesempatan untuk melangkah ke
jenjang pendidikan tinggi. Dan cacian yang sampai pada telinga mereka, membuat
mereka ingin membentuk aku menjadi orang yang bisa mengangkat sosial keluarga
kita"
"ya, ya aku
faham. Ya sudah, itu permasalahan yang tidak butuh solusi sepertinya. Tapi,
ingat, jangan tanggalkan kemanusiaanmu demi hal itu. Banyak hal yang bisa
membuat tingkat sosial keluarga kamu tinggi. Kamu masih di depan pintu, masih
bisa keluar lagi, sebelum resepsionis mencatat kedatanganmu.
Kelahiran bukan
merupakan suatu yang penting, itu merupakan suatu hal yang kebetulan. Mereka
bukan pemegang kekuasaan atas kamu, mereka pemegang tali layangan, dimana
layangan itu kamu. Tali itu takkan pernah bisa mereka lepas, takkan mungkin juga mereka terbang bersamamu. Tali
itu yang akan mereka tarik ulur agar kamu bisa terbang ke atas sana"
Senyum keruh keluar
dari bibir Ning, pertanda tak ingin obrolannya itu lebih meluas dan meninggikan
kekesalannya pada keadaan. Percakapan selanjutnya Ning ganti,meninggikan harap
agar sorenya bersama Asep bisa lebih tenang.
Kopi mereka sore itu
mulai habis, percakapan yang tidak menemukan ujung itu harus mereka akhiri
karena hujan sudah mulai reda dan senja sudah menampakkan layungnya. Usai
percakapan sore itu, Ning pulang seorang diri.
Gerimis menemani
perjalanan Ning pulang ke kosan, sepatunya agak basah, roknya melayang-layang
diatas tanah hampir menyentuhnya. Warna layung semakin indah, saat dia
mengingat percakapan sorenya.
***
Ning merasa dirinya
adalah anak dari sudut negeri, sebuah tempat dimana manusia sudah puas dengan
hijaunya alam. Manusia yang enggan mengurangi tidurnya hanya untuk mencemaskan
Tuhan, ataupun sekedar untuk memikirkan kelangsungan Sience. Bagaimana mereka
bisa memikirkan hal-hal lain, ketika alamnya saja sudah hijau, dan ketenangan
sudah tersaji dengan hijaunya pemandangan setiap pagi. Dan tidak bisa diingkari
ini mempengaruhi pemikiran Ning.
Ning adalah anak
dari desa itu, anak yang berbeda dari kebanyakan anak perempuan yang seusai SMP
atau SMA sudah menanggalkan nasibnya pada ikatan pernikahan. Sehingga umur 17
tahun sudah mendapat anak yang tubuh ibunya saja lebih mirip seorang kakak.
Tiga bulan yang lalu
Ning ditawari untuk kuliah di jurusan keguruan, atas dasar beasiswa yang
ditawari oleh salah satu guru sekolahnya. Dengan berbanjir air mata, Ning harus
berjalan disana selama empat tahun. Menanggalkan mimpinya untuk kuliah di
fakultas Sastra.
Selama itu pula,
Ning berusaha keras membujuk hatinya untuk ikut bersama menikmati setiap
sentuhan tangan kasar peraturan. Seolah wanita yang dijodohkan, hati Ning masih
belum bisa berdamai dengan lingkungan di sekitarnya.
Beasiswa yang
diterima Ning pun menjadi penjara baru bagi Ning. Dimana dia harus memberikan
seluruh waktunya untuk kegiatan yang dilaksanakan penyelenggara yang
bersangkutan. Memberi senyuman kecut. Dan keadaan menuntutnya untuk selalu
mematuhi aturan, dengan ancaman pemberhentian beasiswa jika diketahui tidak
mengikuti aturan yang ada.
Ning harus
mencerabut sisi kemanusiaannya, kebebasannya untuk mengemukakan pendapat
dibatasi oleh ancaman yang kerap kali akan membunuh keinginan orang tua Ning
agar Ning kuliah. Ning menjadi seorang korban dari kemiskinan yang kerap
melilit orang-orang kampung tidak berpunya.
Namun Ning
membangunkan dirinya untuk tidak selalu terpuruk dalam kegelisahannya itu. Dia
mengibarkan bendera kemerdekaan dari belenggu yang Ning rasa telah mencerabut
dirinya. Ning bangun dan tampil lebih bersahaja.
Tubuh mungil Ning
memancarkan aura berbeda dari caranya berbicara, bukan seorang orator yang
senang berorasi saja. Bicaranya mulai menunjukan kesahajaan, meskipun wajahnya
tidak memenuhi kriteria cantik di masyarakat. Kulit sawo matang membalut
dagingnya yang hanya membalut tulang. Bibirnya yang tebal, dengan mata yang
kecil dan tajam. Balutan kain yang melindungi tubuh Ning pun tidak dia tutupi
untuk menutupi keaslian keadaannya. Baju yang apa adanya, dan tidak pernah
mengikuti zaman atau mengikuti kawan-kawannya yang tampil modis.
Kecintaannya Ning
pada puisi membuatnya lebih memilih bergabung dengan UKM kampus yang bisa
mewadahi dan mengajarinya lebih banyak tentang puisi dan sastra. Namun,
komunitas yang diikuti oleh Ning tidak membuatnya lebih bergairan dalam
berpuisi. Mereka lebih seperti orang pembenci bukan pemerhati atau pengkritisi.
Terutama terhadap dua organisasi ekstra yang mendominasi di kampus: HMI dan
PMII.
****
"Ning ngopi
yu" pesan singkat itu tertera di layar ponsel Ning dengan pengirim bernama
Asep, saat Ning menghabiskan waktunya di taman kampus dengan novel merah
tertera nama Laksmi Pamuntjak. Pada sebuah spot yang sangat dia suka, di bawah
pohon rindang.
"sini saja bawa
kopimu, aku di taman, tempat biasa"
Ning mendengarkan
jejak langkah kaki Asep, dengan muka yang terus merunduk ke arah novel. Tapi
telinganya memberikan sinyal pada setiap tubuhnya, sampai Ning tidak bisa
lengah pada kedatangan sahabatnya itu.
Asep duduk disamping
Ning, baju mereka berpapasan, Ning merasakan itu. Angin berhembus tenang,
menyentuh lembut pipi, dan daun-daun menari diatas kepala mereka. Satu, daun
jatuh ke atas novel Ning. Seperti memberi tanda dirinya harus menutup buku
berlari membaca satu paragraf dan menyapa sosok di sebelahnya.
Seperti menulis
dalam buku catatan harian, Asep spontan saja bercerita tentang keadaan
batinnya. Raut muka sahabatnya selalu Ning baca, dan terbaca meskipun tidak
dibaca. Ning hanya mempersiapkan telinganya, dan mendengarkan lekat-lekat
cerita sahabatnya.
"bagaimana
kabar Sima ya?"
"aku gak tau,
beberapa hari ini aku belum ketemu Sima" ucap Ning menatap mata Asep yang
merunduk lesu. "Ada apa", Ning merangkul murung yang Asep ucapkan
dengan matanya.
"Aku ingin
mengakhiri ceritaku bersama Najwa, tapi aku belum bisa mendapatkan Sima,
Ning".
Cerita itu, adalah
cerita yang seringkali Asep ceritakan pada Ning. Ning kadang jemu dengan cerita
Asep. Tapi Ning tetap terjaga menangkap setiap rasa yang Asep tuangkan. Merasa
dirinya adalah manusia yang masih mencari jati kemanusiaan, Ning merasa hal itu
adalah sebuah cara memanusiakan manusia. Dalam pada itu, masih ada hal lain
yang menguasai pikiran Ning. Yang seringkali membuat dadanya sesak.
Jam sore kota
Bandung menampakkan sisa hujan, air menggenang di setiap sudut jalan menjadi
pemandangan rutin. Motor berjalan dengan tidak sopan, menggilas air dengan
kencang, menciprat orang yang
menanggalkan nasibnya pada kaki, berjalan.
Gang Ambon mulai
sepi, hanya ada kucing kampung yang sedang mencari makan di tempat sampah. Ning
pulang dan mengusap air mata dengan sudut kerudungnya. Asep, Najwa, dan Sima
terus berkelebat dalam fikirannya. Ingatan itu membuatnya merasa bukan lagi
manusia diantara mereka, dan dipinggirkan oleh Tuhan. Langit senja yang mendung, menjadi sahabatnya
untuk bercerita. Ya, bercerita dengan airmata.
Rumput-rumput
tersenyum lebar, warna layung bercumbu pada tiap senyum rumput .Meninggalkan
Ning sendiri dalam derai airmata dan sunyi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari berbagi pengalaman dan fikiran untuk terus belajar... :)