Ning #1

  • 0
"Aku hujan yang sedang menunggu tempat ku berpijak. Jejakku selalu hilang terbawa tanjakkan. Akupun menjadi genang yang mendapat usir dari matahari menjemput nasib berupa kering dan meresap pada pori tanah. Aku selalu hilang-selalu hilang dalam apapun yang telah aku coba untuk menggenang. Begitupun saat ku coba menggenang dalam hidupmu." -Ning


"Ning, kita ngopi dulu yu di warung serebu", ungkap Asep usai perkuliahan.
"Wah, dengan senang hati, hayu" meski mukanya mulai mengkilap karena keringat dan pantulan sinar matahari yang sangat terik. Namun ajakan Asep membuat sirna peluhnya yang bercucur.

Warung serebu tak begitu ramai sore itu, Ning yang hanya ingin menghabiskan sorenya dengan Asep memesan kopi Moca. Sudut ruangan menjadi tempat mereka
menghabiskan sore. Banner bergambar tembok china, menara kembar di Malaysia dan menara Eiffel menjadi perhatian Ning. Asep mulai bercerita dan kopi Ning nikmati dengan meminumnya sedikit demi sedikit.

Asep duduk tepat di depan Ning, pada meja yang berkursi dua. Dengan merapikan rambut panjangnya yang lumayan tidak teratur, Asep membiarkan sahabatnya menatap gambar-gambar yang berjejer di dinding warung.

"Fikiranku selalu melemahkanku untuk bisa pergi kesana" sambil menyeruput kopi Ning menunjuk tempat-tempat yang terpampang di banner itu.

"kamu tahu kan mimpi itu seperti perahu yang berlayar, perahu akan berlayar dari pelabuhan yang kita lihat tampak besar. Namun, setelah di samudra dia akan semakin mengecil dan semakin tidak terlihat, tapi pasti dia akan sampai" ucap Asep dengan beberapa gerakan tangannya yang Ning perhatikan putih dan bersih.

"ya mungkin seperti itu, menurut sebagian teori. Hhe maaf aku menyebutnya teori. Kadangkala aku harus melacurkan diri, menghapus mimpiku. Dan orang-orang sering berkata itu kehendak Tuhan. Ya, Tuhan menghendaki aku untuk melacur"

"maksudmu?" Raut muka Asep menyuram, keningnya pun dikerutkan.

"maksudku ya, banyak orang yang berjalan di jalan yang tidak ingin dia injak. Layaknya para pelacur. Banyak dari mereka yang tidak ingin menuju kesana, namun apa daya, ada hal yang memaksa mereka untuk pergi kesana". Jelas Ning sembari memutar-mutar jarinya diatas gelas kopi.

"tapi kamu tidak perlu seperti itu Ning"

"memang tidak harus, tapi kamu tidak tahu bagaimana orang seperti aku membahagiakan orang tuaku, yang mereka tahu aku kuliah dan menyelesaikan S1 tepat pada waktunya. Dengan lahirnya aku sebagai manusia yang mendapat kesempatan untuk melangkah ke jenjang pendidikan tinggi. Dan cacian yang sampai pada telinga mereka, membuat mereka ingin membentuk aku menjadi orang yang bisa mengangkat sosial keluarga kita"

"ya, ya aku faham. Ya sudah, itu permasalahan yang tidak butuh solusi sepertinya. Tapi, ingat, jangan tanggalkan kemanusiaanmu demi hal itu. Banyak hal yang bisa membuat tingkat sosial keluarga kamu tinggi. Kamu masih di depan pintu, masih bisa keluar lagi, sebelum resepsionis mencatat kedatanganmu.
Kelahiran bukan merupakan suatu yang penting, itu merupakan suatu hal yang kebetulan. Mereka bukan pemegang kekuasaan atas kamu, mereka pemegang tali layangan, dimana layangan itu kamu. Tali itu takkan pernah bisa mereka lepas, takkan  mungkin juga mereka terbang bersamamu. Tali itu yang akan mereka tarik ulur agar kamu bisa terbang ke atas sana"

Senyum keruh keluar dari bibir Ning, pertanda tak ingin obrolannya itu lebih meluas dan meninggikan kekesalannya pada keadaan. Percakapan selanjutnya Ning ganti,meninggikan harap agar sorenya bersama Asep bisa lebih tenang.

Kopi mereka sore itu mulai habis, percakapan yang tidak menemukan ujung itu harus mereka akhiri karena hujan sudah mulai reda dan senja sudah menampakkan layungnya. Usai percakapan sore itu, Ning pulang seorang diri.

Gerimis menemani perjalanan Ning pulang ke kosan, sepatunya agak basah, roknya melayang-layang diatas tanah hampir menyentuhnya. Warna layung semakin indah, saat dia mengingat percakapan sorenya.

***
Ning merasa dirinya adalah anak dari sudut negeri, sebuah tempat dimana manusia sudah puas dengan hijaunya alam. Manusia yang enggan mengurangi tidurnya hanya untuk mencemaskan Tuhan, ataupun sekedar untuk memikirkan kelangsungan Sience. Bagaimana mereka bisa memikirkan hal-hal lain, ketika alamnya saja sudah hijau, dan ketenangan sudah tersaji dengan hijaunya pemandangan setiap pagi. Dan tidak bisa diingkari ini mempengaruhi pemikiran Ning.

Ning adalah anak dari desa itu, anak yang berbeda dari kebanyakan anak perempuan yang seusai SMP atau SMA sudah menanggalkan nasibnya pada ikatan pernikahan. Sehingga umur 17 tahun sudah mendapat anak yang tubuh ibunya saja lebih mirip seorang kakak.

Tiga bulan yang lalu Ning ditawari untuk kuliah di jurusan keguruan, atas dasar beasiswa yang ditawari oleh salah satu guru sekolahnya. Dengan berbanjir air mata, Ning harus berjalan disana selama empat tahun. Menanggalkan mimpinya untuk kuliah di fakultas Sastra.

Selama itu pula, Ning berusaha keras membujuk hatinya untuk ikut bersama menikmati setiap sentuhan tangan kasar peraturan. Seolah wanita yang dijodohkan, hati Ning masih belum bisa berdamai dengan lingkungan di sekitarnya.

Beasiswa yang diterima Ning pun menjadi penjara baru bagi Ning. Dimana dia harus memberikan seluruh waktunya untuk kegiatan yang dilaksanakan penyelenggara yang bersangkutan. Memberi senyuman kecut. Dan keadaan menuntutnya untuk selalu mematuhi aturan, dengan ancaman pemberhentian beasiswa jika diketahui tidak mengikuti aturan yang ada.

Ning harus mencerabut sisi kemanusiaannya, kebebasannya untuk mengemukakan pendapat dibatasi oleh ancaman yang kerap kali akan membunuh keinginan orang tua Ning agar Ning kuliah. Ning menjadi seorang korban dari kemiskinan yang kerap melilit orang-orang kampung tidak berpunya.

Namun Ning membangunkan dirinya untuk tidak selalu terpuruk dalam kegelisahannya itu. Dia mengibarkan bendera kemerdekaan dari belenggu yang Ning rasa telah mencerabut dirinya. Ning bangun dan tampil lebih bersahaja.

Tubuh mungil Ning memancarkan aura berbeda dari caranya berbicara, bukan seorang orator yang senang berorasi saja. Bicaranya mulai menunjukan kesahajaan, meskipun wajahnya tidak memenuhi kriteria cantik di masyarakat. Kulit sawo matang membalut dagingnya yang hanya membalut tulang. Bibirnya yang tebal, dengan mata yang kecil dan tajam. Balutan kain yang melindungi tubuh Ning pun tidak dia tutupi untuk menutupi keaslian keadaannya. Baju yang apa adanya, dan tidak pernah mengikuti zaman atau mengikuti kawan-kawannya yang tampil modis.

Kecintaannya Ning pada puisi membuatnya lebih memilih bergabung dengan UKM kampus yang bisa mewadahi dan mengajarinya lebih banyak tentang puisi dan sastra. Namun, komunitas yang diikuti oleh Ning tidak membuatnya lebih bergairan dalam berpuisi. Mereka lebih seperti orang pembenci bukan pemerhati atau pengkritisi. Terutama terhadap dua organisasi ekstra yang mendominasi di kampus: HMI dan PMII.

****
"Ning ngopi yu" pesan singkat itu tertera di layar ponsel Ning dengan pengirim bernama Asep, saat Ning menghabiskan waktunya di taman kampus dengan novel merah tertera nama Laksmi Pamuntjak. Pada sebuah spot yang sangat dia suka, di bawah pohon rindang.

"sini saja bawa kopimu, aku di taman, tempat biasa"

Ning mendengarkan jejak langkah kaki Asep, dengan muka yang terus merunduk ke arah novel. Tapi telinganya memberikan sinyal pada setiap tubuhnya, sampai Ning tidak bisa lengah pada kedatangan sahabatnya itu.

Asep duduk disamping Ning, baju mereka berpapasan, Ning merasakan itu. Angin berhembus tenang, menyentuh lembut pipi, dan daun-daun menari diatas kepala mereka. Satu, daun jatuh ke atas novel Ning. Seperti memberi tanda dirinya harus menutup buku berlari membaca satu paragraf dan menyapa sosok di sebelahnya.

Seperti menulis dalam buku catatan harian, Asep spontan saja bercerita tentang keadaan batinnya. Raut muka sahabatnya selalu Ning baca, dan terbaca meskipun tidak dibaca. Ning hanya mempersiapkan telinganya, dan mendengarkan lekat-lekat cerita sahabatnya.

"bagaimana kabar Sima ya?"

"aku gak tau, beberapa hari ini aku belum ketemu Sima" ucap Ning menatap mata Asep yang merunduk lesu. "Ada apa", Ning merangkul murung yang Asep ucapkan dengan matanya.

"Aku ingin mengakhiri ceritaku bersama Najwa, tapi aku belum bisa mendapatkan Sima, Ning".

Cerita itu, adalah cerita yang seringkali Asep ceritakan pada Ning. Ning kadang jemu dengan cerita Asep. Tapi Ning tetap terjaga menangkap setiap rasa yang Asep tuangkan. Merasa dirinya adalah manusia yang masih mencari jati kemanusiaan, Ning merasa hal itu adalah sebuah cara memanusiakan manusia. Dalam pada itu, masih ada hal lain yang menguasai pikiran Ning. Yang seringkali membuat dadanya sesak.

Jam sore kota Bandung menampakkan sisa hujan, air menggenang di setiap sudut jalan menjadi pemandangan rutin. Motor berjalan dengan tidak sopan, menggilas air dengan kencang, menciprat  orang yang menanggalkan nasibnya pada kaki, berjalan.

Gang Ambon mulai sepi, hanya ada kucing kampung yang sedang mencari makan di tempat sampah. Ning pulang dan mengusap air mata dengan sudut kerudungnya. Asep, Najwa, dan Sima terus berkelebat dalam fikirannya. Ingatan itu membuatnya merasa bukan lagi manusia diantara mereka, dan dipinggirkan oleh Tuhan.  Langit senja yang mendung, menjadi sahabatnya untuk bercerita. Ya, bercerita dengan airmata.

Rumput-rumput tersenyum lebar, warna layung bercumbu pada tiap senyum rumput .Meninggalkan Ning sendiri dalam derai airmata dan sunyi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari berbagi pengalaman dan fikiran untuk terus belajar... :)