Rindu ini meradang.
Aku hujan yang
sedang menunggu tempat ku berpijak. Jejakku selalu hilang terbawa tanjakkan.
Akupun menjadi genang yang mendapat usir dari matahari menjemput nasib berupa
kering dan meresap pada pori tanah. Aku selalu hilang-selalu hilang dalam
apapun yang telah aku coba untuk menggenang. Begitupun saat ku coba menggenang
dalam hidupmu.
Suatu hari, Tuhan
membawa semburat matamu pada hari dimana aku sedang tidak sehat. Ketika
ilalang-ilalangku mulai kering. Dan aku menatap senja disana, pada suatu hari
itu dan senja sedang tak bersahabat, membelakangi ramah pada merah layung. Dan
aku manja bersama sunyi. Hingga matamu datang tamah pada senjaku.
Ya, kau datang, dan
mungkin Tuhan yang mengundang.
Bosan, sebenarnya
aku bosan. Kertas, pensil, semesta juga mungkin bosan dengan segala yang aku
limpahkan pada mereka tentang matamu itu. Tapi, aku tahu, aku belum mampu
menemukan bahasa yang mungkin bisa mewakili segala rasa yang hadir dari matamu
dan terasa kelu di dadaku. Ya, karena kamu bertahta denganNya.
Aku bukan penulis, tapi aku tak punya sahabat yang bisa menemaniku
bercerita. Namun, bahasa menemaniku dengan hal berbeda. Bahasa-bahasa itu
kupilih, kuambil dari keraton sana, yang pernah dipakai Ranggawarsita. Ada hal
yang luarbiasa yang keluar dari matamu. Dari matahari yang kau sapa, dari hujan
yang kau usap, dan dari senja yang kau tatap.
Tuhan, ku tahu kau
ada pada dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari berbagi pengalaman dan fikiran untuk terus belajar... :)