Mengenang cerita
dari sahabatku waktu itu, dia bukan orang parlente tapi bisa menjadi orang
parlente. Cuek dan menghadapi segala hal dengan santai sampai kadangkala
menjadi sesal.
Beberapa bulan yang
lalu dia menikam hati seorang gadis, dan gadis tersebut jatuh hati. Namun, beberapa bulan dia
menjalani kisah cintanya tak pernah dia merasakan nyaman. Mungkin, karena masih
terpaku pada satu sosok, sahabat perempuanku.
Pemuda itu sering bercerita tentang gadis itu di depan
warung dekat kampus. Miris, ketika pertama-tama aku mendengar ceritanya. Dia,
kadangkala berkata ingin mengakhiri hubungan dengan gadis itu. Karena, ya itu
tadi, dia masih terpaku pada sosok gadis yang menjadi sahabatku.
Kegelisahan, dia
sampaikan dengan segala hal. Mungkin dia terkejut dengan segala yang gadis itu berikan, dengan
segala kebiasaan yang sudah sering dia lakukan. Jika memang tidak sanggup, aku
menasehatinya, untuk bertahan beberapa minggu, dan jika sudah mampu seminggu
dicoba beberapa minggu lagi. Dan mungkin dia melakukannya.
Ceritapun lain,
kemarin aku dengar dari orang itu. Dia mengatakan kalau tak ada nama lain
selain gadis itu. Dan itu, disebabkan karena dia pernah merasa kehilangan
sejenak gadis itu. Tak ada ikatan, bahasa percintaannya, putus.
Dan, hal itu
menyadarkan si pemuda merasakan
kehilangan gadis itu. Tak ada hal lain yang merasa dia membuat jenuh selain
kehilangan gadis itu. Aku tafsirkan saja seperti itu.
Ikatan dalam sebuah
hubungan bukanlah suatu hal yang bisa dirasakan secara sejenak. Mementingkan
ego masing-masing. Pemuda itu berkata, kalau segala hal masih bisa dibicarakan,
kenapa tidak dengan jalan damai.
Aku yakin dia
mengamalkan ilmu yang dia peroleh dari kuliahnya Perbandingan Agama. Dialog
adalah suatu hal yang sangat penting dalam sebuah hubungan apalagi percintaan.
Kita semua ada dalam ikatan percintaan. Pembelaan pada negara adalah sebuah
kecintaan.
Ketika suatu
kelompok ingin menegakkan negara Islam di Indonesia, itu adalah sebuah dasar
dari kecintaan kelompok tersebut kepada negara Indonesia yang diyakini bisa
harmonis dan selamat dengan adanya label islam. Ya, selain kepentingan
pragmatis juga.
Ketika suatu ormas
ingin membubarkan segala hal yang keluar dari kapasitas islam, hal itu juga
barangkali ada sebuah kecintaan terhadap agama islam yang akan tercemar dengan
perilaku-perilaku keislaman yang membuat agama islam menjadi, bisa ditafsirkan
'kotor'.
Kekerasan, yang
sekarang ini muncul ketika kita mendengar kata kelompok tersebut. Hal ini
disebabkan karena banyak ketimpangan yang dirasakan ketika ormas tersebut
melakukan aksinya. Ada yang kurang benar, dan mungkin tidak tepat sasaran.
Dialog dalam hal ini
seharusnya dilakukan. Karena bagaimapun juga, ketika ada warga yang membuka
warung pada saat bulan ramadhan pada siang hari, hal itu bisa saja ada hal lain
yang melatar belakangi orang tersebut membuka warung. Ya, bisa saja orang tersebut
tidak memeluk agama Islam. Kemudian apa salahnya ketika orang tersebut membuka
warungnya, namun dia tetap berpuasa.
Saat perkuliah hal
ini tidak lepas dari perbincangan beberapa dosen. Salah satunya pak Julian,
dosen yang berpendirian teguh, yang membiarkan adik kelasnya menyandang gelar
doktor duluan. Perkataannya menarik, ketika memperbincangkan tentang puasa dan
membuka warung saat puasa. Dia mengatakan, membuka warung bukanlah suatu hal
yang perlu diperdebatkan. Orang Islam, pada bulan puasa adalah orang yang
sedang diuji dalam segala hal. Maka, warung pun merupakan salah satu ujian
untuk bulan puasa.
Maka, ketika ada
orang yang melarang membuka warung saat puasa, bukannya hal itu malah
manandakan bahwa iman orang islam itu sangat rendah?
Bukannya di negara
Indonesia yang pada siang bulan ramadhan yang tidak makan itu hanya orang-orang
Islam?
Ah, sudahlah, mari
berlomba-lomba dalam "melakukan."
Gus Miek, salah satu
tokoh yang kontroversial dan orang kyai yang mampu keluar dari mainstream kiai
pada umumnya. Yang saya tahu, kyai pada umumnya adalah orang yang selalu
berkutat dengan pesantren. Dengan segala hal yang berbau suci. Tapi Gus Miek
lain, beliau menjejakki diskotik-diskotik dan bromocorah-bromocorah. Dan beliau
berdakwah. Sehingga gelar kyai sesat tercoret di namanya.
Satu lagi, yang bisa
kita petik dari cerita sahabat saya itu adalah jangan gampang mengambil
keputusan ketika ego sedang dalam kegelisahan.
benar, jangan terlalu mementingkan ego sepertinya.
BalasHapus