“Mengapa kita harus mati seorang diri? Lahir seorang diri pula? Dan
mengapa kita ini harus hidup di satu dunia yang banyak manusianya? Dan kalau
kita sudah bisa mencintai seorang manusia, dan orang itu pun mencitai kita --. Mengapa
kita kemudian harus bercerai berai dalam maut. Seorang, seorang, seorang. Dan seorang
lagi lahir. Seorang lagi. Seorang lagi. Mengapa orang kini tak ramai-ramai
lahir dan ramai-ramai mati? Aku ingin dunia ini seperti pasar malam.”
Jakarta
selalu menjadi cerita, tahun ’49 Jakarta sepertinya menampakkan kebisingan yang
sama seperti abad ‘20 ini. Agus (di dalam cerita pria ini dipanggil dengan Gus,
entah apa nama aslinya, dan aku memakai nama Agus saja, hehe) adalah seorang
anak dari Blora yang harus menghadapi Jakarta yang tak ramah. Di tengah
kegelisahannya mencari uang untuk pulang ke Blora, ia pergi mencari kawan untuk
meminjam uang.
Begitu susah
mencari uang untuk orang kecil padahal orang besar bisa mendapatkan segalanya,
membuat Agus memikirkan segala hal yang tidak bisa ia rasakan layaknya orang
berkuasa. Ketika sepedanya lewat depan istana, cahayanya membuat ia mandi dalam
cahaya yang terang. Entah berapa puluh ratus watt, dan sekiranya kekurangan,
mereka tinggal menelpon dan mendapat tambahan watt yang lebih besar. Presiden adalah
orang yang beruntung dalam hal itu, dan jika kau buka presiden, jangan berharap
kau tidak harus menyogok untuk mendapatkan hal yang sama.
Panas waktu
itu, dan mobil yang berpuluh ribu banyaknya itu menyemburkan debu pada badan
yang berkeringat. Dan debu yang merupakan berbagai macam campuran: reak kering,
tahi kuda, hancuran ban mobil, hancuran ban sepeda dan becak. “sekiranya aku
punya mobil, mungkin semua takkan terjadi. Di kala itujuga berpendapat: bahwa
orang yang punya itu banyak menimbulkan kesusahan kepada yang tak punya. Dan mereka
tak merasai ini”. Ujar Agus.
Demokrasi telah
menjadikan manusia yang tak beruang menjadi lumpuh dan tak bergerak. Bagi orang
kecil, engkau hanya boleh menontong barang yang engkau ingini. Meskipun banyak
kemenangan lain, seperti engkau boleh saja jadi presiden, hak yang sama dengan
yang lain, tak perlu menyembah presiden atau menteri dan paduka-paduka lain.
Agus pulang
untuk menemui ayahnya yang sakit. Surat yang ia terima menyiratkan keriduan
seorang ayah kepada anaknya “di dunia ini
tak ada satu kegirangan yang lebih besar daripada kegirangan seorang bapak ang
mendapatkan anaknya kembali,.....”
Hidup ayah
Agus adalah hidup yang tercangkuli, diendapkan dan diseret. Seorang guru, yang
menghargai masa depan anak bangsa. Ia berkeinginan agar guru di tanah air
jangan sampai kurang seorang pun. Sebab, memperbaiki keadaan masyarakat tidak
harus pada perwakilan rakyat yang lebih berperan dalam panggung sandiwara yang
akan membentuk badut-badut.
Orang yang
jatuh sakit oleh kekecewaan-kekecewaan oleh keadaan yang terjadi sesudah
kemerdekaan tercapai. Ia membela jenderal di daerah gerilya dan membela
kepentingannya, hingga menjadi bapak rakyat yang sungguh-sungguh. Tapi kala
kemerdekaan telah tercapai, mereka itu sama berebutan gedung dan kursi. Dan yang
tidak memperoleh apa yang diinginkannya mereka pergi. Hingga orang ini tidak
sanggup lagi berada dalam keadaan demikian. Kekecewaan diredamnya saja dalam
hati hingga ia sakit dan meninggal.
Mati adalah
kata yang sangat menyiratkan sepi yang dalam. Ketika orang mati, selalu banyak
cerita yang bahkan dahulu tidak terdengar, namun kini menjadi sebuah
perbincangan pengantar mewakili keberadaannya ditengah perbincangan.
“dulu ia bercita-cita tinggi, dulu ia gagal dalam cinta, dulu ia
sering terdengar bernyanyi, tapi suaranya kini telah mati”
“tak ada orang yang lebih kuat berjudi selain dia”
“dan aku masih ingat, sepuluh tahun yang lalu......”
“Di dunia ini tak ada sesuatu kegirangan yang lebih besar daripada
kegirangan seorang bapak yang mendapatkan anaknya kembali”
Dan yang
belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawaya terbang entah kemana.
Kembali aku
menemukan buku Pramoedya Ananta Toer disebuah toko buku di depan kampus. Dengan
penerbit yang sama yaitu Lentera Dipantara. Buku ini dicetak ulang sampai
cetakan ke 7 pada oktober 2013. Roman Bukan Pasar Malam ini disajikan dalam
buku setebal 104 halaman.
Buku ini
dikemas dengan cerita yang menarik. Pram mengangkat suara-suara nurani yang tak
pernah didengar dan bahkan dibenamkan dalam arus kehidupan sejarah yang
dikuasai. Dari cerita ini, ia mengangkat sosok seorang penggiat politik yang
berjuang membela tanah air dan harus dihianati. Selain itu, dalam cerita ini ia
mengangkat kekerdilan diri sendiri, yang disajikan secara apik dan menarik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari berbagi pengalaman dan fikiran untuk terus belajar... :)