BUKAN PASAR MALAM

  • 0
“Mengapa kita harus mati seorang diri? Lahir seorang diri pula? Dan mengapa kita ini harus hidup di satu dunia yang banyak manusianya? Dan kalau kita sudah bisa mencintai seorang manusia, dan orang itu pun mencitai kita --. Mengapa kita kemudian harus bercerai berai dalam maut. Seorang, seorang, seorang. Dan seorang lagi lahir. Seorang lagi. Seorang lagi. Mengapa orang kini tak ramai-ramai lahir dan ramai-ramai mati? Aku ingin dunia ini seperti pasar malam.”

Jakarta selalu menjadi cerita, tahun ’49 Jakarta sepertinya menampakkan kebisingan yang sama seperti abad ‘20 ini. Agus (di dalam cerita pria ini dipanggil dengan Gus, entah apa nama aslinya, dan aku memakai nama Agus saja, hehe) adalah seorang anak dari Blora yang harus menghadapi Jakarta yang tak ramah. Di tengah kegelisahannya mencari uang untuk pulang ke Blora, ia pergi mencari kawan untuk meminjam uang.

Begitu susah mencari uang untuk orang kecil padahal orang besar bisa mendapatkan segalanya, membuat Agus memikirkan segala hal yang tidak bisa ia rasakan layaknya orang berkuasa. Ketika sepedanya lewat depan istana, cahayanya membuat ia mandi dalam cahaya yang terang. Entah berapa puluh ratus watt, dan sekiranya kekurangan, mereka tinggal menelpon dan mendapat tambahan watt yang lebih besar. Presiden adalah orang yang beruntung dalam hal itu, dan jika kau buka presiden, jangan berharap kau tidak harus menyogok untuk mendapatkan hal yang sama.

Panas waktu itu, dan mobil yang berpuluh ribu banyaknya itu menyemburkan debu pada badan yang berkeringat. Dan debu yang merupakan berbagai macam campuran: reak kering, tahi kuda, hancuran ban mobil, hancuran ban sepeda dan becak. “sekiranya aku punya mobil, mungkin semua takkan terjadi. Di kala itujuga berpendapat: bahwa orang yang punya itu banyak menimbulkan kesusahan kepada yang tak punya. Dan mereka tak merasai ini”. Ujar Agus.

Demokrasi telah menjadikan manusia yang tak beruang menjadi lumpuh dan tak bergerak. Bagi orang kecil, engkau hanya boleh menontong barang yang engkau ingini. Meskipun banyak kemenangan lain, seperti engkau boleh saja jadi presiden, hak yang sama dengan yang lain, tak perlu menyembah presiden atau menteri dan paduka-paduka lain.

Agus pulang untuk menemui ayahnya yang sakit. Surat yang ia terima menyiratkan keriduan seorang ayah kepada anaknya “di dunia ini tak ada satu kegirangan yang lebih besar daripada kegirangan seorang bapak ang mendapatkan anaknya kembali,.....

Hidup ayah Agus adalah hidup yang tercangkuli, diendapkan dan diseret. Seorang guru, yang menghargai masa depan anak bangsa. Ia berkeinginan agar guru di tanah air jangan sampai kurang seorang pun. Sebab, memperbaiki keadaan masyarakat tidak harus pada perwakilan rakyat yang lebih berperan dalam panggung sandiwara yang akan membentuk badut-badut.

Orang yang jatuh sakit oleh kekecewaan-kekecewaan oleh keadaan yang terjadi sesudah kemerdekaan tercapai. Ia membela jenderal di daerah gerilya dan membela kepentingannya, hingga menjadi bapak rakyat yang sungguh-sungguh. Tapi kala kemerdekaan telah tercapai, mereka itu sama berebutan gedung dan kursi. Dan yang tidak memperoleh apa yang diinginkannya mereka pergi. Hingga orang ini tidak sanggup lagi berada dalam keadaan demikian. Kekecewaan diredamnya saja dalam hati hingga ia sakit dan meninggal.

Mati adalah kata yang sangat menyiratkan sepi yang dalam. Ketika orang mati, selalu banyak cerita yang bahkan dahulu tidak terdengar, namun kini menjadi sebuah perbincangan pengantar mewakili keberadaannya ditengah perbincangan.

“dulu ia bercita-cita tinggi, dulu ia gagal dalam cinta, dulu ia sering terdengar bernyanyi, tapi suaranya kini telah mati”

“tak ada orang yang lebih kuat berjudi selain dia”

“dan aku masih ingat, sepuluh tahun yang lalu......”

“Di dunia ini tak ada sesuatu kegirangan yang lebih besar daripada kegirangan seorang bapak yang mendapatkan anaknya kembali”

Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawaya terbang entah kemana.

Kembali aku menemukan buku Pramoedya Ananta Toer disebuah toko buku di depan kampus. Dengan penerbit yang sama yaitu Lentera Dipantara. Buku ini dicetak ulang sampai cetakan ke 7 pada oktober 2013. Roman Bukan Pasar Malam ini disajikan dalam buku setebal 104 halaman.

Buku ini dikemas dengan cerita yang menarik. Pram mengangkat suara-suara nurani yang tak pernah didengar dan bahkan dibenamkan dalam arus kehidupan sejarah yang dikuasai. Dari cerita ini, ia mengangkat sosok seorang penggiat politik yang berjuang membela tanah air dan harus dihianati. Selain itu, dalam cerita ini ia mengangkat kekerdilan diri sendiri, yang disajikan secara apik dan menarik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari berbagi pengalaman dan fikiran untuk terus belajar... :)