FIRASAT

  • 0
Prakkk....
Tiba-tiba gelas yang kupegang lepas dari genggaman. Air putih yang akan kuminum membasahi lantai. Pecahan kacanya bertebaran kemana saja mereka suka. Waktu seperti berhenti satu menit, dan jantungku berdetak sangat kencang saat itu. Kebiasaan yang mungkin tidak baik, tapi hanya sesaat jantungku kembali normal.
Meeoow...
Kucing peliharaankupun terkejut mendengar gelas yang jatuh itu. Aku mengambil pecahan kaca, kemudian ku buang ke tempat sampah. Dan ku bersihkan lantai yang basah itu. “Ada apa Rum?” Siti datang ke kamarku.
Oh tidak, aku hanya menjatuhkan gelas”.
Oh, kirain...” Siti berlalu meninggalkan kamarku.
Eh ada salam dari Banyu tuh.. haha” Siti berteriak dan cekikikan sambil meninggalkan kamarku. Dia memang paling senang menggodaku dan mengataiku dengan Banyu. Bibirku tidak bisa biasa saja, ia spontan mengembang menjelma senyum. Dan ku yakin jika ku lihat wajahku dikaca, pipiku pun memerah.
Angin berembus masuk ke dalam kamarku, cahaya matahari sore ini memancar masuk melalui celah jendela yang sengaja ku buka. Awan begitu merah di luar, berwarna jingga seperti cat yang tertumpah pada awan. Merah cahayanya menyorot pada foto bapak yang ku simpan diatas lemari disamping gambarku dan ibu.
Aku mengambil cangkir di rak piring, cangkir kesayangaku bergambar kupu-kupu hitam. Aku isi cangkir dengan Kapal Api hitam, cipratan kecil air panas terasa di pori-poriku. Wangi kopi tercium hidung, hangat sampai kedada. Kuaduk tiga puluh tiga kali seperti yang selalu diajarkan bapak. Bahwa tiga puluh tiga kali itu simbol dzikir kepada Tuhan.  Sampai sekarang hal itu menjadi kebiasaanku, dan aku tidak bisa menikmati kopi yang diaduk kurang dari hitungan itu, harus selalu tiga puluh tiga.
Udara sore yang begitu sejuk, lain dari biasanya. Sore di kosanku biasanya panas, tapi hari ini begitu sejuk. Aku putar lagu The Beatles sambil kuminum kopi menghadap keluar jendela menikmati suasana senja. Kau tahu apa yang paling membahagiakan dalam hidup ini? Bukan uang atau harta, tapi menikmati kopi dengan iringan musik. Ah, begitu sederhana dan nikmat sekali.
Kupu-kupu berwarna kuning menghampiri gelas kopiku. Ia hinggap sebentar kemudian pergi lagi. Seperti mengucapkan selamat sore kepadaku. Senja di kota Bandung memang indah. Tapi belum ada yang mengalahkan indahnya senja di kampung halamanku. Disana aku tidak hanya dihampiri kupu-kupu, tapi aku ditemani nyanyian burung yang sedang terbang bebas, tidak di dalam sangkar seperti di sini.
Sembari menikmati kopi dan musik, aku teringat sahabatku, Banyu. Aku pegang ponselku, dan ku ketik SMS, “Indah sekali senjanya”. Selesai ku ketik tiga kata itu, tapi ku hapus lagi. Ku ketik lagi SMS “lagi dimana?”. Aku tekan tulisan sending message dengan ragu. Dan tidak jadi kukirim SMS itu. Lalu kusimpan kembali ponselku.
Yesterday, all my troubles seemed so far away.... ponselku berbunyi. Kuraih ponsel yang kusimpan di sebelah gelas kopiku. Aku tersenyum, seketika pikiranku memberitahu bahwa itu Banyu. Tapi ternyata bukan, “My Sister” nama itu tertera di layar ponselku. Kakakku Sinta, meneleponku. Aku agak heran, tumben sekali orang ini meneleponku, bahkan menanyakan kabarkupun ia tak pernah.
halo, assalamualaikum, ada apa kak?” aku berbicara padanya terlebih dahulu sebelum ia bicara.
Pulang yah,” ucap Kak Sinta dengan nada rendah.
kenapa kak?
Bapak sakit lagi. Kamu nanti dijemput kak Nano
Dadaku langsung sakit, seperti ada yang mencubitnya. Jantungku mulai berdetak tidak karuan. Cahaya remang mulai terasa disebelah utara, matahari mulai turun. Air mata menggenang, dan tumpah dengan segera.
Yang ada dalam kepalaku hanya wajah bapak, senyumnya dan giginya yang putih. Serta pecinya yang selalu digunakan saat ia hendak pergi ke mesjid. Aku mulai mengambil tas dan mencari baju yang akan kubawa, yang kupegang tidak terasa kasar atau lembutnya. Kepalaku sudah dipenuhi dengan bayangan yang tak pernah ingin aku pikirkan. Wajah bapak, senyum bapak, dan rasa sakit yang bapak derita.
Pandanganpun terhalang airmata yang terus menerus menggenang dan jatuh, seperti hujan. Dan wajah bapak menghantam-hantam seperti petir. Kadang terang kadang tidak terlihat. Dan tanah merah yang kulihat, menyayat dan menciptakan genang baru.
Kak Nano datang menjemputku. Ia hanya diam dan mengajakku segera masuk kedalam mobil. Aku duduk di samping kak Nano yang menyetir. “udah jangan nangis, bapak gak papa kok. Bapak hanya sakit seperti biasa.” Tapi benar-benar kali ini perasaanku lain dari biasanya. Dadaku begitu sesak, begitu dalam sesak itu, dan tak ada kata yang keluar dari mulutku, hanya air mata yang terus menggenang dan tumpah.

Kamu pulangnya besok saja, bapak masih kangen sama kamu”. Kata bapak kepadaku sebelum aku kembali ke Bandung.
Tapi pak, besok aku ada mata kuliah, jadi harus kuliah. Dosennya agak galak pak, hehe” seperti biasa aku bercanda kepada bapak. Bercerita sampai larut malam. Kopi selalu menjadi teman kami bercerita di depan rumah. Diteras yang sengaja bapak buat untukku belajar dan menyepi. Tempat itupun menjadi tempat dimana aku bercerita segala hal pada bapak.
Kamu kuliah yang bener, pesan bapak Cuma satu, jangan pernah sakiti orang lain. Itu saja.
Siap pak, “ jawabku.
Kami bercerita sampai larut malam, tapi tak pernah ada satu hal pun yang tidak aku ceritakan pada bapak tentang segala hal yang kualami ditempatku merantau. Termasuk ketika aku suka pada seseorang. Bapak berpesan padaku, “kalo kamu suka cinta sama dia, cintai dia dengan tulus. Cintai dia seperti udara yang kosong, jangan berharap apapun. Tapi cintailah ia, cintai saja itu cukup. Selebihnya dari Tuhan.
Dan satu lagi, kalau bapak dijemput pulang. Kamu jangan terlalu sedih, bapak kembali pada Sang Pemilik yang sesungguhnya. Dan nanti kita akan bertemu dan berkumpul lagi disana.”
“Maksud bapak?” sambil kuseruput kopi kutanya balik kepada bapak.
iya, kan bapak sudah tua, tidak mungkin menemani kamu seratus tahun lagi. Bapak tidak sudah capek nak.

Aku kembali terjaga dari ingatanku pada hari itu. Hujan mulai turun mengiringi perjalananku pulang. Aku lihat di luar seorang anak perempuan berkuncir digandeng seorang bapak tua satu payung. Mereka berjalan berdua dibawah hujan, gigi gadis kecil yang tidak rata itu terlihat jelas, dari tawanya yang lebar, mereka sedang bercanda dibawah hujan. Air mataku menggenang dan tumpah kembali, teringat bapak.
Beberapa meter lagi aku menuju rumah, air mataku semakin membanjir. Dan tubuhku lemas tidak karuan. Sampai pintu rumah aku melihat banyak sandal dan beberapa perabotan rumah di simpan di luar, tidak seperti kemarin saat aku pulang. Dari jendela aku melihat kerumunan orang melingkar, aku segera masuk kedalam rumah. Segera  tasku diambil pamanku, dan aku dirangkul ibu disebelah bapak yang terbaring kaku berselimut kain putih. Dada mulai terasa perih seperti dimasuki benda yang sangat tajam. Aku memeluk bapak yang berbaring, dan kuciumi matanya yang sudah tidak berkedip itu. Seketika, semuanya menjadi hitam.

Cibiru, 26 Maret 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari berbagi pengalaman dan fikiran untuk terus belajar... :)