Prakkk....
Tiba-tiba
gelas yang kupegang lepas dari genggaman. Air putih yang akan kuminum membasahi
lantai. Pecahan kacanya bertebaran kemana saja mereka suka. Waktu seperti
berhenti satu menit, dan jantungku berdetak sangat kencang saat itu. Kebiasaan
yang mungkin tidak baik, tapi hanya sesaat jantungku kembali normal.
Meeoow...
Kucing
peliharaankupun terkejut mendengar gelas yang jatuh itu. Aku mengambil pecahan
kaca, kemudian ku buang ke tempat sampah. Dan ku bersihkan lantai yang basah
itu. “Ada apa Rum?” Siti datang ke
kamarku.
“Oh tidak, aku hanya menjatuhkan gelas”.
“Oh, kirain...” Siti berlalu meninggalkan
kamarku.
“Eh ada salam dari Banyu tuh.. haha” Siti
berteriak dan cekikikan sambil meninggalkan kamarku. Dia memang paling senang
menggodaku dan mengataiku dengan Banyu. Bibirku tidak bisa biasa saja, ia
spontan mengembang menjelma senyum. Dan ku yakin jika ku lihat wajahku dikaca,
pipiku pun memerah.
Angin
berembus masuk ke dalam kamarku, cahaya matahari sore ini memancar masuk
melalui celah jendela yang sengaja ku buka. Awan begitu merah di luar, berwarna
jingga seperti cat yang tertumpah pada awan. Merah cahayanya menyorot pada foto
bapak yang ku simpan diatas lemari disamping gambarku dan ibu.
Aku mengambil
cangkir di rak piring, cangkir kesayangaku bergambar kupu-kupu hitam. Aku isi
cangkir dengan Kapal Api hitam, cipratan kecil air panas terasa di pori-poriku.
Wangi kopi tercium hidung, hangat sampai kedada. Kuaduk tiga puluh tiga kali
seperti yang selalu diajarkan bapak. Bahwa tiga puluh tiga kali itu simbol
dzikir kepada Tuhan. Sampai sekarang hal
itu menjadi kebiasaanku, dan aku tidak bisa menikmati kopi yang diaduk kurang
dari hitungan itu, harus selalu tiga puluh tiga.
Udara sore
yang begitu sejuk, lain dari biasanya. Sore di kosanku biasanya panas, tapi
hari ini begitu sejuk. Aku putar lagu The Beatles sambil kuminum kopi menghadap
keluar jendela menikmati suasana senja. Kau tahu apa yang paling membahagiakan
dalam hidup ini? Bukan uang atau harta, tapi menikmati kopi dengan iringan
musik. Ah, begitu sederhana dan nikmat sekali.
Kupu-kupu
berwarna kuning menghampiri gelas kopiku. Ia hinggap sebentar kemudian pergi
lagi. Seperti mengucapkan selamat sore kepadaku. Senja di kota Bandung memang
indah. Tapi belum ada yang mengalahkan indahnya senja di kampung halamanku.
Disana aku tidak hanya dihampiri kupu-kupu, tapi aku ditemani nyanyian burung
yang sedang terbang bebas, tidak di dalam sangkar seperti di sini.
Sembari
menikmati kopi dan musik, aku teringat sahabatku, Banyu. Aku pegang ponselku,
dan ku ketik SMS, “Indah sekali senjanya”.
Selesai ku ketik tiga kata itu, tapi ku hapus lagi. Ku ketik lagi SMS “lagi dimana?”. Aku tekan tulisan sending message dengan ragu. Dan tidak
jadi kukirim SMS itu. Lalu kusimpan kembali ponselku.
Yesterday, all my troubles seemed so far away.... ponselku
berbunyi. Kuraih ponsel yang kusimpan di sebelah gelas kopiku. Aku tersenyum,
seketika pikiranku memberitahu bahwa itu Banyu. Tapi ternyata bukan, “My
Sister” nama itu tertera di layar ponselku. Kakakku Sinta, meneleponku. Aku
agak heran, tumben sekali orang ini meneleponku, bahkan menanyakan kabarkupun
ia tak pernah.
“halo, assalamualaikum, ada apa kak?” aku
berbicara padanya terlebih dahulu sebelum ia bicara.
“Pulang yah,” ucap Kak Sinta dengan nada
rendah.
“kenapa kak?”
“Bapak sakit lagi. Kamu nanti dijemput kak
Nano”
Dadaku
langsung sakit, seperti ada yang mencubitnya. Jantungku mulai berdetak tidak
karuan. Cahaya remang mulai terasa disebelah utara, matahari mulai turun. Air
mata menggenang, dan tumpah dengan segera.
Yang ada
dalam kepalaku hanya wajah bapak, senyumnya dan giginya yang putih. Serta
pecinya yang selalu digunakan saat ia hendak pergi ke mesjid. Aku mulai
mengambil tas dan mencari baju yang akan kubawa, yang kupegang tidak terasa
kasar atau lembutnya. Kepalaku sudah dipenuhi dengan bayangan yang tak pernah
ingin aku pikirkan. Wajah bapak, senyum bapak, dan rasa sakit yang bapak
derita.
Pandanganpun
terhalang airmata yang terus menerus menggenang dan jatuh, seperti hujan. Dan wajah
bapak menghantam-hantam seperti petir. Kadang terang kadang tidak terlihat. Dan
tanah merah yang kulihat, menyayat dan menciptakan genang baru.
Kak Nano
datang menjemputku. Ia hanya diam dan mengajakku segera masuk kedalam mobil.
Aku duduk di samping kak Nano yang menyetir. “udah jangan nangis, bapak gak papa kok. Bapak hanya sakit seperti
biasa.” Tapi benar-benar kali ini perasaanku lain dari biasanya. Dadaku
begitu sesak, begitu dalam sesak itu, dan tak ada kata yang keluar dari
mulutku, hanya air mata yang terus menggenang dan tumpah.
“Kamu pulangnya besok saja, bapak masih kangen
sama kamu”. Kata bapak kepadaku sebelum aku kembali ke Bandung.
“Tapi pak, besok aku ada mata kuliah, jadi
harus kuliah. Dosennya agak galak pak, hehe” seperti biasa aku bercanda
kepada bapak. Bercerita sampai larut malam. Kopi selalu menjadi teman kami
bercerita di depan rumah. Diteras yang sengaja bapak buat untukku belajar dan
menyepi. Tempat itupun menjadi tempat dimana aku bercerita segala hal pada
bapak.
“Kamu kuliah yang bener, pesan bapak Cuma
satu, jangan pernah sakiti orang lain. Itu saja.”
“Siap pak, “ jawabku.
Kami
bercerita sampai larut malam, tapi tak pernah ada satu hal pun yang tidak aku
ceritakan pada bapak tentang segala hal yang kualami ditempatku merantau.
Termasuk ketika aku suka pada seseorang. Bapak berpesan padaku, “kalo kamu suka cinta sama dia, cintai dia
dengan tulus. Cintai dia seperti udara yang kosong, jangan berharap apapun.
Tapi cintailah ia, cintai saja itu cukup. Selebihnya dari Tuhan.”
“Dan satu lagi, kalau bapak dijemput pulang.
Kamu jangan terlalu sedih, bapak kembali pada Sang Pemilik yang sesungguhnya.
Dan nanti kita akan bertemu dan berkumpul lagi disana.”
“Maksud bapak?” sambil kuseruput kopi kutanya balik kepada
bapak.
“iya, kan bapak sudah tua, tidak mungkin
menemani kamu seratus tahun lagi. Bapak tidak sudah capek nak.”
Aku kembali
terjaga dari ingatanku pada hari itu. Hujan mulai turun mengiringi perjalananku
pulang. Aku lihat di luar seorang anak perempuan berkuncir digandeng seorang
bapak tua satu payung. Mereka berjalan berdua dibawah hujan, gigi gadis kecil
yang tidak rata itu terlihat jelas, dari tawanya yang lebar, mereka sedang
bercanda dibawah hujan. Air mataku menggenang dan tumpah kembali, teringat
bapak.
Beberapa
meter lagi aku menuju rumah, air mataku semakin membanjir. Dan tubuhku lemas
tidak karuan. Sampai pintu rumah aku melihat banyak sandal dan beberapa
perabotan rumah di simpan di luar, tidak seperti kemarin saat aku pulang. Dari
jendela aku melihat kerumunan orang melingkar, aku segera masuk kedalam rumah.
Segera tasku diambil pamanku, dan aku
dirangkul ibu disebelah bapak yang terbaring kaku berselimut kain putih. Dada
mulai terasa perih seperti dimasuki benda yang sangat tajam. Aku memeluk bapak
yang berbaring, dan kuciumi matanya yang sudah tidak berkedip itu. Seketika,
semuanya menjadi hitam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari berbagi pengalaman dan fikiran untuk terus belajar... :)