Pernikahan
beda agama adalah permasalahan yang tidak kunjung usai diperbincangkan,
sedangkan pasangan pernikahan beda agama juga tidak bisa ditiadakan. Pernikahan
lintas agama, adalah hal yang menjadi pembahasan yang belum menemukan titik
yang pasti. Negara pun menyerahkan hal tersebut kepada agama, sehingga tidak
sedikit pasangan pernikahan lintas agama yang melangsungkan pernikahannya dengan
dilanda banyak permasalahan yang cukup kuat dari pihak eksternal. Meskipun
begitu, pernikahan beda agama di Indonesia oleh sebagian dari mereka dianggap
tidak boleh dilakukan, karena beberapa hal yang sangat mendesak yang berasal
dari rujukan kitab suci yang mereka pahami.
Majelis
Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwanya pada tahun 2005 mengenai pernikahan
lintas agama, merujuk pada Q.S An-Nisa ayat 3:
“Dan
jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
Berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang
kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Serta
QS. Ar-Rum ayat 21:
“Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
Selain
dua surat al-Quran tersebut, MUI juga merujuk pada beberapa surat dalam
al-Quran diantaranya : at-Tahrim ayat 6, an-Nisa ayat 25, al-Maidah ayat 5,
al-Baqarah ayat 221, dan al-Mumtahanah ayat 10. Dan ditetapkan bahwa pernikahan
beda agama dan pernikahan laki-laki dengan perempuan ahl kitab adalah haram.
Nahdlatul Ulama (NU) pada Muktamar
ke-28 di Yogyakarta akhir November 1989 dalam fatwanya menegaskan bahwa nikah
beda agama itu tidak sah. Begitu pula ormas Islam terbesar kedua di Indonesia
Muhammadiyah. Muhammadiyah juga memfatwakan haram bagi pernikahan beda agama
yang didasarkan pada Q.S al-Baqarah ayat 221.
Namun,
dalam realitasnya pernikahan lintas agama tetap saja terjadi. Di Indonesia
saja, pasangan pernikahan beda agama pada tahun 2011 sudah mencapai 299
pasangan, sedangkan pada tahun 2004 mencapai 1.109 pasangan[1].
Seperti yang terjadi pada pasangan mentalist yang sering di sorot di media
massa adalah Deddy Corbuzier dan pasangannya Kalina. Mereka menikah dengan
perbedaan agama, yang akhirnya harus bercerai dengan alasan perbedaan agama yang
mereka yakini. Hal ini ternyata
berpengaruh besar terhadap keberlangsungan pernikahan mereka. Ada kesadaran
yang muncul dari pasangan ini bahwa perbedaan agama yang mereka miliki akan
memberatkan anak mereka.[2]
Lain
halnya dengan Ahmad Nurcholis[3],
pelaku pernikahan lintas agama, yang melangsungkan pernikahannya pada bulan
Juni 2003. Pernikahan dilakukan dengan
dua cara, yaitu secara Islam, di sahkan di Universitas Paramadina. Dan di pihak
Istri dengan cara pernikahan Konghucu di Li Cheng MATAKIN. Sampai saat ini
Ahmad Nurcholis sudah dikaruniai dua putera.
Bisa
disimpulkan bahwa pernikahan lintas agama ini memang memiliki dua tantangan
yang cukup signifikan. Yang pertama, tantangan berasal dari komitmen yang nanti
bisa dibangun oleh pelaku, dan tentangan kedua yaitu muncul dari pasangan
tersebut, atau kita sebut saja faktor eksternal.
Sebagai
pelaku pernikahan lintas agama, Nurcholis memberikan pertanyaan terkait
pernikahan ini. Yaitu, sejauh mana kesiapan pelaku pernikahan. Dan kedua,
bagaimana komitmen yang akan dibangun oleh suami istri tersebut terhadap
anak-anaknya kelak.
Dari
faktor eksternal, permasalahan yang kerap kali muncul dari pelaksanaan
pernikahan lintas agama, kurang lebih ada 5 permasalahan yang ditemukan.[4]
(1) aspek keagamaan. Terkait hal ini lembaga keagamaan jarang yang memberikan
ruang terhadap pernikahan lintas agama. Hal ini merupakan hambatan utama yang
akan dihadapi oleh pelaku pernikahan lintas agama. Pandangan-pandangan haram
yang didapatkan dari kitab suci seringkali dijadikan rujukan utama. QS.
al-Baqarah ayat 221:
“Dan
janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin
lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran.”
(2)
Lembaga keagamaan. Pernikahan berkaitan erat dengan lembaga keagamaan.
Sebagaimana pandangan agama terhadap pernikahan lintas agama, mereka bahkan
menafsirkan bahwa hari ini ahli kitab sudah tidak ada lagi, yang hari ini diakui
sebagai ahli kitab adalah mereka yang sesat. Pandangan lembaga keagamaan ini,
seharusnya tidak terjadi di negara kesatuan Republik Indonesia yang
berlandaskan Pancasila.
(3) Orangtua dan keluarga, juga merupakan
tantangan tersendiri. Keluarga yang tidak paham akan keagamaan, biasanya mereka
menyerahkan seluruh persoalan kepada agamawan.
(4)
Oknum penyelenggara negara (RT, RW, Catatan Sipil). Dalam beberapa pasal
tentang pernikahan, tidak ada pelarangan negara terhadap pernikahan lintas
agama. telah disebutkan dalam Undang-undang, asalkan sesuai hukum agama
masing-masing.[5] Namun
yang terjadi di KUA ternyata belum bisa mencatat pernikahan lintas agama.
Padahal, keputusan MA No. 1040 tahun 1986/189 telah ditetapkan bahwa perbedaan
agama tidak ada halangan untuk melakukan pernikahan. MA memerintahkan terhadap
pemerintah Departemen Dalam Negeri untuk mencatat mereka yang menikah beda
agama ;dan
(5)
Masyarakat, dalam tantangan sosial kemasyarakatan, hal yang memang akan
didapatkan oleh pasangan pernikahan beda agama ini adalah mereka akan
mendapatkan perlakuan yang terkadang mengalienasikan keberadaannya. Dan secara
psikologis ini dapat mengganggu.
Seluruh
permasalahan ini lebih dominan dari pihak luar yang memproses pernikahan lintas
agama. Pada aspek keagamaan, yang muncul adalah klaim kitab suci yang
mengharamkan pernikahan beda agama, yang pada akhirnya menjadi sebuah budaya
yang ditentang dari berbagai pihak. Berawal dari pandangan terhadap kitab suci
yang ditafsirkan hanya dari satu sisi. Dari keterlarangan tersebut, dan dari
adanya pembelaan dan klaim kebenaran yang dianut.
Ada
ayat yang sering dilupakan oleh para agamawan, menangani penikahan ini. Yaitu
Q.S al-Maidah ayat:5
“Pada
hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang
yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi
mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara
wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas
kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak
(pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman
(tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari
kiamat Termasuk orang-orang merugi.”
Dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara terjadi perubahan yang signifikan terutama
dalam penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Aspek-aspeknya menjadi sorotan oleh
masyarakat dunia. Perkawinan merupakan hak asasi yang paling mendasar yang
tidak bisa diintervensi oleh siapapun termasuk negara. Sebaliknya negara
memiliki kewajiban melindung hak-hak tiap warga negaranya. Penyikapan terhadap
HAM juga kurang populer di kalangan petugas pencatatan sipil pernikahan,
termasuk agamawan. Pada UUD HAM tahun 1999, dinyatakan bahwa negara menjamin hak-hak
sipil termasuk pernikahan beda agama.
Peraturan
perkawinan campuran/regeling op de
gemengde huwelijken, Staatsblad 1898 nomor 158 (GHR), beberapa ketentuan[6]
tentang perkawinan beda agama selanjutnya dijelaskan oleh Muhibuddin bahwa
pasal-pasal tersebut menandakan bahwa perbedaan agama bukan alasan untuk tidak
melakukan pernikahan.
Kemudian
landasan UUD No. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat (1), pasal 8 huruf f dan pasal 57
pasal 2 ayat (1) berbunyi: Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.
Sedangkan pasal 8
huruf f berbunyi: mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain
yang berlaku, dilarang kawin.
Dari
sinilah muncul pemahaman yang berbeda tentang pernikahan lintas agama. Namun,
kita juga bisa melihat hukum tersebut dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 49
huruf c dan pasal 44 yang menyatakan sebagai berikut.
Dilarang
melangsungkan perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita karena keadaan
tertentu:
a.Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu
perkawinan dengan pria lain;
b. Seorang wanita yang masih dalam masa iddah dengan pria
lain;
c.Seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Pasal
60 Kompilasi Hukum Islam menguatkan hal ini:
(1) Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu
perkawinan yang dilarang hukum Islam dan peraturan perundang-undangan.
(2) Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami
atau calon istri yang akan melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan
peraturan perundang-undangan.
Coppyright: by Iis Nurhayati (Diulas dalam proposal Iis Nurhayati yang berjudul Perniakahan Beda Agama dalam Perspektif Komunitas LIntas Agama Jakatarub).
[1] Sejak 2004-2011 ada 1190
Pernikahan Beda Agama, diakses dari http://beritakbar.blogspot.com/ pada tanggal 26 Desember 2013
pukul 21.49 WIB
[2] Deddy-Kalina Akui Bercerai Karena Perbedaan Agama, diakses dari
okezone.com, pada tanggal 04 Desember 2013, pukul 08.00 WIB.
[3] Aktifis ICRP (Interfaith
Conference for Religious and Peace).
[4] Dikemukakan oleh Ahmad Nurcholis
pada diskusi pernikahan lintas agama yang dilaksanakan oleh komunitas lintas
agama JAKATARUB pada 23 Januari 2010.
[5] Pasal 2 (1) Undang-undang No.
1/1974 yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Hal ini berarti Undang-Undang
menyerahkan kepada masing-masing agama untuk menentukan cara-cara dan
syarat-syarat perlaksanaan perkawinan tersebut (di samping cara-cara dan
syarat-syarat yang telah ditetapkan Negara).
[6] Pasal 1:
Pelangsungan perkawinan antara orang-orang, yang di
Hindia Belanda tunduk pada hukum yang berbeda, disebut perkawinan campuran.
Pasal 6 ayat (1):
Perkawinan campuran dilangsungkan menurut hukum yang
berlaku atas suaminya, kecuali izin para calon mitrakawin yang selalu
diisyaratkan.
Pasal 7 ayat (2):
Perbedaan agama, golongan penduduk atau asal-usul
tidak dapat merupakan halangan perlangsungan pernikahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari berbagi pengalaman dan fikiran untuk terus belajar... :)