Pernikahan Beda Agama, Lantas Kenapa?

  • 0
Pernikahan beda agama adalah permasalahan yang tidak kunjung usai diperbincangkan, sedangkan pasangan pernikahan beda agama juga tidak bisa ditiadakan. Pernikahan lintas agama, adalah hal yang menjadi pembahasan yang belum menemukan titik yang pasti. Negara pun menyerahkan hal tersebut kepada agama, sehingga tidak sedikit pasangan pernikahan lintas agama yang melangsungkan pernikahannya dengan dilanda banyak permasalahan yang cukup kuat dari pihak eksternal. Meskipun begitu, pernikahan beda agama di Indonesia oleh sebagian dari mereka dianggap tidak boleh dilakukan, karena beberapa hal yang sangat mendesak yang berasal dari rujukan kitab suci yang mereka pahami.
Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwanya pada tahun 2005 mengenai pernikahan lintas agama, merujuk pada Q.S An-Nisa ayat 3: 
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Serta QS. Ar-Rum ayat 21:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
Selain dua surat al-Quran tersebut, MUI juga merujuk pada beberapa surat dalam al-Quran diantaranya : at-Tahrim ayat 6, an-Nisa ayat 25, al-Maidah ayat 5, al-Baqarah ayat 221, dan al-Mumtahanah ayat 10. Dan ditetapkan bahwa pernikahan beda agama dan pernikahan laki-laki dengan perempuan ahl kitab adalah haram.
            Nahdlatul Ulama (NU) pada Muktamar ke-28 di Yogyakarta akhir November 1989 dalam fatwanya menegaskan bahwa nikah beda agama itu tidak sah. Begitu pula ormas Islam terbesar kedua di Indonesia Muhammadiyah. Muhammadiyah juga memfatwakan haram bagi pernikahan beda agama yang didasarkan pada Q.S al-Baqarah ayat 221.

Namun, dalam realitasnya pernikahan lintas agama tetap saja terjadi. Di Indonesia saja, pasangan pernikahan beda agama pada tahun 2011 sudah mencapai 299 pasangan, sedangkan pada tahun 2004 mencapai 1.109 pasangan[1]. Seperti yang terjadi pada pasangan mentalist yang sering di sorot di media massa adalah Deddy Corbuzier dan pasangannya Kalina. Mereka menikah dengan perbedaan agama, yang akhirnya harus bercerai dengan alasan perbedaan agama yang mereka yakini.  Hal ini ternyata berpengaruh besar terhadap keberlangsungan pernikahan mereka. Ada kesadaran yang muncul dari pasangan ini bahwa perbedaan agama yang mereka miliki akan memberatkan anak mereka.[2]
Lain halnya dengan Ahmad Nurcholis[3], pelaku pernikahan lintas agama, yang melangsungkan pernikahannya pada bulan Juni 2003. Pernikahan  dilakukan dengan dua cara, yaitu secara Islam, di sahkan di Universitas Paramadina. Dan di pihak Istri dengan cara pernikahan Konghucu di Li Cheng MATAKIN. Sampai saat ini Ahmad Nurcholis sudah dikaruniai dua putera.
Bisa disimpulkan bahwa pernikahan lintas agama ini memang memiliki dua tantangan yang cukup signifikan. Yang pertama, tantangan berasal dari komitmen yang nanti bisa dibangun oleh pelaku, dan tentangan kedua yaitu muncul dari pasangan tersebut, atau kita sebut saja faktor eksternal.
Sebagai pelaku pernikahan lintas agama, Nurcholis memberikan pertanyaan terkait pernikahan ini. Yaitu, sejauh mana kesiapan pelaku pernikahan. Dan kedua, bagaimana komitmen yang akan dibangun oleh suami istri tersebut terhadap anak-anaknya kelak.
Dari faktor eksternal, permasalahan yang kerap kali muncul dari pelaksanaan pernikahan lintas agama, kurang lebih ada 5 permasalahan yang ditemukan.[4] (1) aspek keagamaan. Terkait hal ini lembaga keagamaan jarang yang memberikan ruang terhadap pernikahan lintas agama. Hal ini merupakan hambatan utama yang akan dihadapi oleh pelaku pernikahan lintas agama. Pandangan-pandangan haram yang didapatkan dari kitab suci seringkali dijadikan rujukan utama. QS. al-Baqarah ayat 221:
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”
(2) Lembaga keagamaan. Pernikahan berkaitan erat dengan lembaga keagamaan. Sebagaimana pandangan agama terhadap pernikahan lintas agama, mereka bahkan menafsirkan bahwa hari ini ahli kitab sudah tidak ada lagi, yang hari ini diakui sebagai ahli kitab adalah mereka yang sesat. Pandangan lembaga keagamaan ini, seharusnya tidak terjadi di negara kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila.
 (3) Orangtua dan keluarga, juga merupakan tantangan tersendiri. Keluarga yang tidak paham akan keagamaan, biasanya mereka menyerahkan seluruh persoalan kepada agamawan.
(4) Oknum penyelenggara negara (RT, RW, Catatan Sipil). Dalam beberapa pasal tentang pernikahan, tidak ada pelarangan negara terhadap pernikahan lintas agama. telah disebutkan dalam Undang-undang, asalkan sesuai hukum agama masing-masing.[5] Namun yang terjadi di KUA ternyata belum bisa mencatat pernikahan lintas agama. Padahal, keputusan MA No. 1040 tahun 1986/189 telah ditetapkan bahwa perbedaan agama tidak ada halangan untuk melakukan pernikahan. MA memerintahkan terhadap pemerintah Departemen Dalam Negeri untuk mencatat mereka yang menikah beda agama ;dan
(5) Masyarakat, dalam tantangan sosial kemasyarakatan, hal yang memang akan didapatkan oleh pasangan pernikahan beda agama ini adalah mereka akan mendapatkan perlakuan yang terkadang mengalienasikan keberadaannya. Dan secara psikologis ini dapat mengganggu.
Seluruh permasalahan ini lebih dominan dari pihak luar yang memproses pernikahan lintas agama. Pada aspek keagamaan, yang muncul adalah klaim kitab suci yang mengharamkan pernikahan beda agama, yang pada akhirnya menjadi sebuah budaya yang ditentang dari berbagai pihak. Berawal dari pandangan terhadap kitab suci yang ditafsirkan hanya dari satu sisi. Dari keterlarangan tersebut, dan dari adanya pembelaan dan klaim kebenaran yang dianut.
Ada ayat yang sering dilupakan oleh para agamawan, menangani penikahan ini. Yaitu Q.S al-Maidah ayat:5  

“Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi.”
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terjadi perubahan yang signifikan terutama dalam penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Aspek-aspeknya menjadi sorotan oleh masyarakat dunia. Perkawinan merupakan hak asasi yang paling mendasar yang tidak bisa diintervensi oleh siapapun termasuk negara. Sebaliknya negara memiliki kewajiban melindung hak-hak tiap warga negaranya. Penyikapan terhadap HAM juga kurang populer di kalangan petugas pencatatan sipil pernikahan, termasuk agamawan. Pada UUD HAM tahun 1999, dinyatakan bahwa negara menjamin hak-hak sipil termasuk pernikahan beda agama.
Peraturan perkawinan campuran/regeling op de gemengde huwelijken, Staatsblad 1898 nomor 158 (GHR), beberapa ketentuan[6] tentang perkawinan beda agama selanjutnya dijelaskan oleh Muhibuddin bahwa pasal-pasal tersebut menandakan bahwa perbedaan agama bukan alasan untuk tidak melakukan pernikahan.
Kemudian landasan UUD No. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat (1), pasal 8 huruf f dan pasal 57 pasal 2 ayat (1) berbunyi: Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.
Sedangkan pasal 8 huruf f berbunyi: mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
Dari sinilah muncul pemahaman yang berbeda tentang pernikahan lintas agama. Namun, kita juga bisa melihat hukum tersebut dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 49 huruf c dan pasal 44 yang menyatakan sebagai berikut.
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita karena keadaan tertentu:
a.Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;
b. Seorang wanita yang masih dalam masa iddah dengan pria lain;
c.Seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Pasal 60 Kompilasi Hukum Islam menguatkan hal ini:
(1) Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan peraturan perundang-undangan.
(2) Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon istri yang akan melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan.
Coppyright: by Iis Nurhayati  (Diulas dalam proposal Iis Nurhayati yang berjudul Perniakahan Beda Agama dalam Perspektif Komunitas LIntas Agama Jakatarub). 




[1] Sejak 2004-2011 ada 1190 Pernikahan Beda Agama, diakses dari  http://beritakbar.blogspot.com/ pada tanggal 26 Desember 2013 pukul 21.49 WIB
[2] Deddy-Kalina Akui Bercerai Karena Perbedaan Agama, diakses dari okezone.com, pada tanggal 04 Desember 2013, pukul 08.00 WIB.
[3] Aktifis ICRP (Interfaith Conference for Religious and Peace).
[4] Dikemukakan oleh Ahmad Nurcholis pada diskusi pernikahan lintas agama yang dilaksanakan oleh komunitas lintas agama JAKATARUB  pada 23 Januari 2010.
[5] Pasal 2 (1) Undang-undang No. 1/1974 yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Hal ini berarti Undang-Undang menyerahkan kepada masing-masing agama untuk menentukan cara-cara dan syarat-syarat perlaksanaan perkawinan tersebut (di samping cara-cara dan syarat-syarat yang telah ditetapkan Negara).
[6] Pasal 1:
Pelangsungan perkawinan antara orang-orang, yang di Hindia Belanda tunduk pada hukum yang berbeda, disebut perkawinan campuran.
Pasal 6 ayat (1):
Perkawinan campuran dilangsungkan menurut hukum yang berlaku atas suaminya, kecuali izin para calon mitrakawin yang selalu diisyaratkan.
Pasal 7 ayat (2):
Perbedaan agama, golongan penduduk atau asal-usul tidak dapat merupakan halangan perlangsungan pernikahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari berbagi pengalaman dan fikiran untuk terus belajar... :)