PEREMPUAN BEMATA BIRU

  • 0

Nanin menginjakan kaki di rumput dengan gaun putihnya yang sangat anggun. Gigi putih bersih yang menghiasi senyum penuhnya menambah rona kecantikannya. Rambut yang dibalut kerudung dengan melati putih menghiasi kerudung, seperti taman bunga surga. Ah betapa cantiknya Nanin anaku.
Ia tatap semua tamu yang datang, disampingnya telah siap menjaga seorang lelaki yang sudah sah menjadi suaminya. Suami yang membawa pesan Tuhan, menjadi bagian dari masa depan anaku. Setiap tamu ia salami dengan senyum penuh, senyum gembira yang renyah. Keluar dari hati sanubari terdalam. Aku mengucurkan airmata, melihat anakku yang sudah tumbuh dewasa. Sudah ada yang berani meminta masa depannya. Menjalani kehidupan bersamanya, mencatat cerita bersamanya. Terharu, aku sungguh terharu.
Begitupun istriku yang sedari tadi tidak berhenti menahan airmata yang keluar, setelah sungkem anakku tadi. Entah berapa tisu yang berceceran di rumput hijau. Aku tak bisa menahan haru itu, sebab aku tahu ia pun bahagia. Sangat bahagia.
*
“lebih baik kau tidak menikah”  bentak Pak Hendro, dengan mata merah dan urat-urat kening yang menonjol. Aku tahu itu kemarah papa Ratna yang sudah memuncak. Aku hanya diam menundukkan kepala, menahan amarah agar tidak lebih menyulut api yang sedang menyala. Aku pun tidak berusaha memadamkan. Lebih banyak diam dan ketakutan merajai pikiran.
Ratna hanya menangis disampingku, ia pun sama sekali tidak bisa berkata lagi. Dadanya sesak, terdengar dari isaknya yang tidak juga reda. Hingga ia sama sekali tidak mampu mengeluarkan kata-kata karena isaknya yang semakin menyesakkan dadanya.
“apa tidak ada laki-laki lain selain Satria yang kau agung-agungkan ini? Atau papa memang tidak becus mendidikmu sampai-sampai kau berani menentang papamu ini, hah.” kata itu adalah kata terakhir yang diucapkan papa Ratna sebelum ia berlalu dan membiarkan aku diam. Matanya basah, aku melihatnya saat ia berjalan kekamar dan menyeka airmatanya dengan sorbannya.
Kita hanya diam seolah menimbang semuanya. Tapi aku tahu apa yang harus aku lakukan. Aku tidak langsung pergi begitu saja.
“aku tahu apa yang harus aku lakukan” aku memegang tangan Ratna, yang sedari tadi memegang saputangan merah jambu.
“apa? Kamu mau menyerah?” Ratna langsung menuduhku, barangkali dia sudah tidak yakin kepadaku. Karena diamku.
“aku pulang dulu, aku harus merumuskan strategi baru. Aku tahu ini bukan waktunya untuk kita melanjutkan perjuangan restu papamu. Tapi ingat Ratna, aku sudah jatuh cinta padamu. Aku tidak akan kembali sebelum aku bisa mendapatkan mawarku. Ingar Ratna, aku bukan pendusta. Aku tidak akan ingkar pada Tuhan. Kalau memang harus ingkar, aku tidak akan ke gereja setiap minggu.”
Ratna tersenyum, aku tahu dia selalu yakin padaku. Karena aku juga banyak belajar ketulusan darinya. Ketulusan yang tidak pernah mengharapkan balasan. Mencintai yang tidak pernah menunggu balasan, itulah Ratna yang aku cintai selama ini.


Hubunganku dengan Ratna sudah hampir sepuluh tahun, selam itu hubungan kami tidak kami tunjukan kepada keluarga kami. Yang kami beritahukan hanya kami bersahabatan baik, dan keluarga kami tidak pernah menentang itu, termasuk Papa Ratna.
Dalam sepuluh tahun itu tidak ada konflik yang berarti, aku dan Ratna sudah saling memahami satu sama lain, saat aku harus ke gereja hari minggu, Ratna tidak pernah mengajakku jalan. Malah dia yang sering menyuruhku dan membangunkanku untuk pergi ke gereja. Sehingga selam sepuluh tahun itu, kalau memang tidak ada sakit aku selalu pergi ke gereja. Kadang Ratna pun ikut menemaniku ke gereja.
Begitupun saat Ratna harus Shalat, aku selalu mengingatkannya untuk sembahyang. Sampai-sampai aku tahu nama sembahyang yang dilakukan Ratna setiap harinya. Begitu indah cinta yang kami jalani selama ini. Aku yakin Tuhan melibatkan diri dalam cinta kami.
*
Tanpa Ratna malam ini bukan apa-apa. Bukan baju belangnya atau mata coklatnya. Tapi suara dan airmukanya yang serupa lampu-lampu kecil di pohon natal yang hijau. Tanpanya, celoteh malam ini akan biasa saja. Malam ini terpahat ukiran batik pada malamku. Ada senyuman yang selalu membuka pintu-pintu ketulusan, itu ada padanya. Aku merasakan malam, menyentuh kulitku dengan nada merdu, itu karena Ratna ada di sisiku. Gerak harmonis selalu keluar dari setiap lakunya, ketika aku bersamanya, suaranya indah sekali.
Seperti kata penyair Chairil Anwar, bahkan dengan cerminpun aku enggan berbagi seperti itulah malam ini cintaku pada Ratna. Aku tak ingin membagi cinta ini pada siapapun.
Dunia memandangku dengan sinis. Aku dan Ratna bahkan tak begitu akrab dengan tetangga rumah. Mereka selalu melihat kami hanya dengan sudut mata, tak pernah mereka menampakkan senyum sedetikpun pada kami. Aku sedikit bersedih, tapi tidak ketika aku sudah melihat mata ratna yang ikhlas dengan segala keadaan ini.
“pak, apa papa yakin Tuhan tidak akan marah kepada kita juga?” Ratna memotong kesejukanku menatap matanya.
“aku yakin, Tuhan sayang umatnya, siapapun. Percayalah, meskipun manusia membenci kita, tapi Tuhan pengasih”
Ratna tersenyum mendengar ucapanku, dari bibirnya tersirat syukur yang mendalam. 

Cibiru, 10 Juli 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari berbagi pengalaman dan fikiran untuk terus belajar... :)