Nanin menginjakan kaki di rumput dengan gaun
putihnya yang sangat anggun. Gigi putih bersih yang menghiasi senyum penuhnya
menambah rona kecantikannya. Rambut yang dibalut kerudung dengan melati putih
menghiasi kerudung, seperti taman bunga surga. Ah betapa cantiknya Nanin anaku.
Ia tatap semua tamu yang datang, disampingnya
telah siap menjaga seorang lelaki yang sudah sah menjadi suaminya. Suami yang
membawa pesan Tuhan, menjadi bagian dari masa depan anaku. Setiap tamu ia
salami dengan senyum penuh, senyum gembira yang renyah. Keluar dari hati
sanubari terdalam. Aku mengucurkan airmata, melihat anakku yang sudah tumbuh
dewasa. Sudah ada yang berani meminta masa depannya. Menjalani kehidupan
bersamanya, mencatat cerita bersamanya. Terharu, aku sungguh terharu.
Begitupun istriku yang sedari tadi tidak berhenti
menahan airmata yang keluar, setelah sungkem anakku tadi. Entah berapa tisu
yang berceceran di rumput hijau. Aku tak bisa menahan haru itu, sebab aku tahu
ia pun bahagia. Sangat bahagia.
*
“lebih baik kau tidak menikah” bentak Pak Hendro, dengan mata
merah dan urat-urat kening yang menonjol. Aku tahu itu kemarah papa Ratna yang
sudah memuncak. Aku hanya diam menundukkan kepala, menahan amarah agar tidak
lebih menyulut api yang sedang menyala. Aku pun tidak berusaha memadamkan.
Lebih banyak diam dan ketakutan merajai pikiran.
Ratna hanya menangis disampingku, ia pun sama
sekali tidak bisa berkata lagi. Dadanya sesak, terdengar dari isaknya yang
tidak juga reda. Hingga ia sama sekali tidak mampu mengeluarkan kata-kata
karena isaknya yang semakin menyesakkan dadanya.
“apa tidak ada laki-laki lain selain Satria yang
kau agung-agungkan ini? Atau papa memang tidak becus mendidikmu sampai-sampai
kau berani menentang papamu ini, hah.” kata itu
adalah kata terakhir yang diucapkan papa Ratna sebelum ia berlalu dan
membiarkan aku diam. Matanya basah, aku melihatnya saat ia berjalan kekamar dan
menyeka airmatanya dengan sorbannya.
Kita hanya diam seolah menimbang semuanya. Tapi
aku tahu apa yang harus aku lakukan. Aku tidak langsung pergi begitu saja.
“aku tahu apa yang harus aku lakukan” aku memegang tangan Ratna, yang sedari tadi memegang saputangan merah
jambu.
“apa? Kamu mau menyerah?” Ratna langsung menuduhku, barangkali dia sudah tidak yakin kepadaku. Karena
diamku.
“aku pulang dulu, aku harus merumuskan strategi
baru. Aku tahu ini bukan waktunya untuk kita melanjutkan perjuangan restu
papamu. Tapi ingat Ratna, aku sudah jatuh cinta padamu. Aku tidak akan kembali
sebelum aku bisa mendapatkan mawarku. Ingar Ratna, aku bukan pendusta. Aku
tidak akan ingkar pada Tuhan. Kalau memang harus ingkar, aku tidak akan ke
gereja setiap minggu.”
Ratna tersenyum, aku tahu dia selalu yakin
padaku. Karena aku juga banyak belajar ketulusan darinya. Ketulusan yang tidak
pernah mengharapkan balasan. Mencintai yang tidak pernah menunggu balasan,
itulah Ratna yang aku cintai selama ini.
Hubunganku dengan Ratna sudah hampir sepuluh
tahun, selam itu hubungan kami tidak kami tunjukan kepada keluarga kami. Yang
kami beritahukan hanya kami bersahabatan baik, dan keluarga kami tidak pernah
menentang itu, termasuk Papa Ratna.
Dalam sepuluh tahun itu tidak ada konflik yang
berarti, aku dan Ratna sudah saling memahami satu sama lain, saat aku harus ke
gereja hari minggu, Ratna tidak pernah mengajakku jalan. Malah dia yang sering
menyuruhku dan membangunkanku untuk pergi ke gereja. Sehingga selam sepuluh
tahun itu, kalau memang tidak ada sakit aku selalu pergi ke gereja. Kadang
Ratna pun ikut menemaniku ke gereja.
Begitupun saat Ratna harus Shalat, aku selalu
mengingatkannya untuk sembahyang. Sampai-sampai aku tahu nama sembahyang yang
dilakukan Ratna setiap harinya. Begitu indah cinta yang kami jalani selama ini.
Aku yakin Tuhan melibatkan diri dalam cinta kami.
*
Tanpa Ratna malam ini bukan apa-apa. Bukan baju
belangnya atau mata coklatnya. Tapi suara dan airmukanya yang serupa
lampu-lampu kecil di pohon natal yang hijau. Tanpanya, celoteh malam ini akan
biasa saja. Malam ini terpahat ukiran batik pada malamku. Ada senyuman yang
selalu membuka pintu-pintu ketulusan, itu ada padanya. Aku merasakan malam,
menyentuh kulitku dengan nada merdu, itu karena Ratna ada di sisiku. Gerak
harmonis selalu keluar dari setiap lakunya, ketika aku bersamanya, suaranya
indah sekali.
Seperti kata penyair Chairil Anwar, bahkan
dengan cerminpun aku enggan berbagi seperti itulah malam ini cintaku pada
Ratna. Aku tak ingin membagi cinta ini pada siapapun.
Dunia memandangku dengan sinis. Aku dan Ratna
bahkan tak begitu akrab dengan tetangga rumah. Mereka selalu melihat kami hanya
dengan sudut mata, tak pernah mereka menampakkan senyum sedetikpun pada kami.
Aku sedikit bersedih, tapi tidak ketika aku sudah melihat mata ratna yang
ikhlas dengan segala keadaan ini.
“pak, apa papa yakin Tuhan tidak akan marah
kepada kita juga?” Ratna memotong kesejukanku
menatap matanya.
“aku yakin, Tuhan sayang umatnya, siapapun.
Percayalah, meskipun manusia membenci kita, tapi Tuhan pengasih”
Ratna tersenyum mendengar ucapanku, dari bibirnya
tersirat syukur yang mendalam.
Cibiru, 10 Juli 2014
Cibiru, 10 Juli 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari berbagi pengalaman dan fikiran untuk terus belajar... :)