Jawaban Rindu
“Aku hanya
ingin menjadi bagian dari hidupumu, Pras”
Dalam ruang yang tidak sadar aku menumpahkan kata itu kepada
Prasetyo. Seketika tubuhku gemetar, tanganku sulit kukendalikan, mataku menatap
ke segala arah yang mungkin bisa aku jangkau untuk membuang pandangan.
“Maksud kamu apa?”
“Aku ingin menjadi manusia yang tua bersamamu. Aku sampaikan
itu lewat tulisan-tulisanku. Aku maksimalkan kemampuanku untuk itu, lalu
bernegosiasi dengan Tuhan, dan mungkin Ia memberiku petunjuk untuk menulis.
Maka itu yang aku lakukan, aku selalu berharap dalam setiap kata yang aku
tuliskan itu sampai pada kamu.”
Berasal dari keberanian pertama yang aku keluarkan menegaskan
seluruh gerak tubuhku, hingga sampai pada perkataan itu. Mataku seperti memerah,
keberanian mulai mengakar meskipun sejenak sepertinya angin berhenti berembus.
Kursi yang aku duduki seperti ikut bergeming, kopi dan teh
yang kami nikmati di senja itu seperti ikut terkejut mendengar ucapanku . Dudukku
semakin tidak menentu. Kursi panjang yang kami duduki di taman itu pun seperti
manusia ketiga yang mendengarkan ucapanku, malu.
Pras menatapku, aku yakin dia menatapku karena dari ujung
mata aku melihat tangan kanannya bertumpu pada sandaran kursi. Dan posisi
tubuhnya juga menghadapku. Aku merunduk sedari tadi, mencari-cari sesuatu yang
bisa mendukungku, bertepuk tangan atas ke beranianku di atas rumput sana.
****
Jariku dengan lancar menari di atas keyboard laptop, kata-kata
meluncur dengan luwes tanpa ada hambatan sedikitpun. Seperti tidak ada kata
bosan padaku, seperti tidak akan ada kata lelah buatku menyanjung manusia itu. Dia
aku umpamakan Jogjakarta, sebuah kota yang penuh kenangan dan cerita. Seperti
itulah Pras, dengan segala hal ajaib yang ada di kepalanya, dan lakunya. Ah,
ingin rasanya segera berkunjung ke kota itu, menjamah seluruh unsur dalam
kepalanya.
Sialnya aku sangat tergoda, seperti penyair aku sampaikan rinduku
pada orang itu. aku menulis puisi di koran-koran. Aku yakin manusia berkacamata
seperti Pras akrab dengan dunia literasi. Sesekali aku samarkan namanya, tapi
sering sama sekali tidak aku samarkan nama Prasetyo.
Kebiasaan menkhayalku aku dayagunakan untuk kembali berimajinasi
dan mengharapkan suatu hal. Sebenarnya aku agak merengek pada Tuhan, sebenarnya
kalau Ia mengerti maksudku. Seperti pengagum lainnya, aku pun berkhayal untuk
berbicara selamanya dengan Pras, di sudut kafe atau kamar misalnya. Mauku, aku
dan Pras tidak berhenti membicarakan suatu hal yang sangat menarik. Ah, aku
tidak bisa mengabaikan hal ini menjadi mimpi.
Sebenarnya aku tidak terlalu suka dengan suatu hal yang berbau-bau
resmi. Seperti pakaian, ia sering memakai baju batik yang dikepalaku tertancap
label pakaian resmi. Aku sering diancam baju batiknya. Kerap aku disingkirkan
oleh baju batiknya yang resmi itu. Ya, karena setiap aku melihatnya memakai
batik aku merasa menjadi perempuan paling kumal. Aku selalu beranggapan perempuan
kumal sepertiku sepertinya tidak elok bersanding dengan lelaki berbaju batik.
Itu aku tahu, tapi ada yang tidak juga menyerah di kepalaku.
Juga seperti seorang kepala desa picik, aku ingin memilikinya dan
menjadi bagian dari desanya yang elok. Sering aku memerhatikannya dengan tidak
wajar. Melihat dari belakang, kupingnya aku perhatikan, atau ujung rambutnya. Dalam
hati sering aku bergumam “Persilakan aku mencintaimu, tersenyum saja kau,
sekarang itu cukup. Entah nanti, entah esok hari. Tapi aku yakin, haha iya aku
masih memiliki keyakinan bahwa ini tidak akan menjadi hal tidak berarti semata.
Aku perempuan hebat, aku tidak akan mati oleh rasa. Bahkan aku akan hidup lebih
mantap dengan rasa ini. Mungkin hanya membawa ini menjadi tulisan atau
benar-benar diam dikotamu. Sehingga aku dan kau menjadi kita.” Seperti
perempuan yang telah mendapat mantra guna-guna, aku terus merapalnya dalam
setiap tulisan atau yang aku lafalkan dalam fikiran saja.
Pernah suatu hari aku mengetik sebuah surat, dan hendak dikirimkan
padanya. Tapi urung, karena keraguan lebih matang daripada rasa yakinnya
sendiri. Selain itu, perempuan yang hidup di zaman modern ini masih saja
memikirkan bahwa tidak eloknya perempuan yang mengatakan suka pada pria yang ia
senangi.
“Pras, kau tahu perempuan sepertiku tidak
pernah merasa puas. Aku penulis yang tidak pernah bisa meraba tanah. Aku belum
juga bisa menginjak tanah. Aku bisa gila karena ini. Setiap hari aku selalu
berharap ada seorang Mesiah yang mengajakku turun ke bumi lalu meminjamiku
sandal dan aku berjalan di atas tanah dengan riang. Bernyanyi seperti Tasya
anak kecil itu.
Betapa menyedihkannya jadi penulis yang tidak
pernah menginjak tanah. Mungkin bagimu tidak, kau adalah orang bertangan
malaikat. Sedangkan aku, orang-orang yang sering menguatkanku adalah orang-orang
gila, tapi mereka membuatku tenang. Dan orang sepertimu Pras, adalah orang yang
membuatku gila. Orang yang membuat hidupku tidak tenang. Kau mengusikku dengan
tingkahmu yang tidak aku miliki.
Coba Pras, sapa aku sejenak saja pagi ini.
Jangan terlalu sibuk dengan pekerjaanmu, aku pun adalah dunia, memiliki
cakrawala yang mungkin saja belum kau lihat dari dunia yang kau temui
sebelumnya.
Coba sapa aku, hingga akhirnya aku tahu apa
yang akan terjadi denganku. Mungkinkah aku bisa menapak pada tanah, atau aku
malah akan terbang lebih jauh. Apapun itu, bagiku tidak masalah. Asalkan aku
sudah merasakannya dan aku bisa menuliskannya, Pras. Ketahui saja, hidupku
untuk menulis. Jangan kau anggap remeh, sebab mungkin aku diturunkan Tuhan ke
bumi untuk menuliskan segala cerita dan membuat buku harian yang begitu unik.
Jangan kau heran dan menyesal nanti jika saja aku sudah menjadi penulis
terkenal dan kau mengagumiku, serta menyesal tidak pernah menyapaku.”
***
Bip bip... ponselku berbunyi. Segera pesan itu aku buka
“Tulisanmu ditunggu sampai akhir bulan ini Des,” ya Tuhan, SMS dari
pak Seno. Penerbit yang sedang menunggu terbit buku ke duaku. Disamping rasa
syukurku yang semakin mendalam aku semakin stress mendapati hal ini. Dan urusan
dalam kepalaku belum juga selesai.
“saya usahakan pak, “ aku jawab dengan singkat saja. Memangnya
penulis harus memaksakan diri. Ah, tidak bagiku. Aku butuh ruang untuk
memaksimalkan tulisanku.
Buku pertama laku keras, usahaku menulis buku diari dari semester
pertama kuliah tidak sia-sia. Kerja kerasku terbayar lunas, dan cita-citaku
menjadi penulis novel terwujudkan. Catatan-catatan target pencapaian sudah
hampir semua aku coreti. Kecuali yang berhubungan dengan manusia itu, Pras.
Tidak lain adalah karena dia, Prasetyo. Lelaki tinggi besar itu,
yang sejak pertama aku menulis dialah satu-satunya inspirasi terbesar,
pendorong aku menulis.
Sudah dua tahun aku tidak bertemu dengan dia, sejak farewell
party memisahkan jarak kita. Aku tidak bisa setiap hari bertemu dengannya
lagi. Kabar pun tidak aku dapatkan. Di facebook aku berteman dengan Pras, tapi
aku sama sekali tidak berani menyapanya. Karena dia tidak bergeming di Facebook
dan jarang menulis status atau memberikan komentar pada statusku.
****
Pagi di Tahun baru kembali, aku memberi semangat pada diri sendiri.
Seperti kebiasaan, aku duduk di beranda rumah, menatap taman yang tidak begitu
luas di depan rumah. Kopi menemani aktifitas pagiku, menulis.
Sialnya selalu ada saja hal yang membuat Pras berlalu lalang di
ingatan. Aku tatap sejenak kopi disampingku. Ah, sial kenapa aku merasa disini
begitu kosong. Dan Pras mondar-mandir di kepalaku. Rasanya tak lengkap karena
manusia yang aku harapkan itu tidak juga datang. Maka aku biarkan lamunanku
menerawang ke segala arah yang di mau.
Pagi ini rasanya aku sedang membujuk Tuhan untuk bisa minum kopi
bersamaku, dan kita berbincang. Aku akan menunggu izinNya. Hati mendorong akal
dan fikiran untuk mengirim pesan singkat pada Pras. Untuk bertanya apa yang dia
fikirkan tentang tahun baru ini. Aku tahu dia akan punya jawaban yang mengasyikan.
Aku sendiri akan dengan bangga bercerita kepada Pras bahwa tahun baruku aku
habiskan di kamar dengan keberanian. Sebab, dengan caraku aku seperti menemani
mereka yang tidak bisa merayakan tahun baru. Serta, aku selalu malu kepada
Tuhan jika aku foya-foya menikmati hal
yang sejenak saja. Sebuah pergantian yang tidak merubah apapun selain
menimbulkan banyak sampah, dan rumput-rumput yang rusak.
“Kalau kamu punya waktu, mari minta izin bersama kepada Tuhan untuk
keluar sebentar. Kita bicara di angkringan” itu saja yang muncul dalam
kepalaku, harapan kosong.
Setelah menikmati kopi aku putuskan untuk membeli koran, aku ingin
melihat tulisanku yang katanya hari ini di muat di surat kabar harian. Selalu
lagu Jazz menemani perjalanku di sepeda ontelku. Seberang jalan aku lihat orang
berbaju hijau, tubuhnya tinggi besar dengan celana kain berwarna cream. Dia
melihat ke arahku, dan aku memerhatikan dengan seksama tanpa bisa menebak siapa,
karena mataku memang bermasalah ketika melihat orang dengan jarak jauh. Pandanganku
jadi kabur.
“DESEMBER....” orang itu memanggilku dengan lambaian tangannya.
Aku memerhatikan lagi dengan seksama, dan membalasnya dengan sapaan
biasa. Karena aku ragu.
“Hai...”
Lalu orang itu melihat kiri kanan, dan menghampiriku. Wajahnya
mulai jelas, kacamatanya aku kenal, gerak tubuhnya aku kenal, Pras. Aku terpaku
pada sepedaku, Ia berlari kecil menyeberang jalan menuju ke arahku. Pras sudah
berada di sampingku mengulurkan tangannya kepadaku.
“Apa kabar? Lama gak ketemu, kemana aja?”
“A... aku baik-baik aja, kamu sendiri gimana?”
Senyum aku buat-buat, dari rasa keterkejutanku. Seperti tiba-tiba
waktu berhenti mendengarkan denyut jantungku yang sangat kenccang. Mataku tidak
berkedip menatap matanya yang tetap seperti dulu.
“Mau kemana? Kita ngobrol dulu yuk”
“Engga kemana-mana, aku Cuma beli koran.”
“Wah,, Wah,, mulai berlangganan koran nih. Kaya pejabat aja.. hahaha”
“Aku nulis, kata temanku tulisanku dimuat. Jadi aku beli hehe”
“Keren nih temen aku. Ayok jangan lama-lama berdiri dipinggir
jalan, nanti ada yang nawar haha”
“Dasar...”
Candaannya tidak pernah luntur, sekalipun sudah dua tahun kita
tidak bertemu. Tapi ia tidak menampakan kesungkanannya. Lain denganku, aku
semakin canggung.
“Beli kopi yuk.. “ ajakku berharap lelaki seperti dia juga senang
menikmati kopi.
“Emh,, aku berhenti minum kopi. Aku teh saja.”
Sedikit kecewa, tapi tak mengapa. Setelah memesan teh dan kopi kami
duduk di taman samping warung itu. Seperti mimpi dan cerita di sinetron. Aku
fikir ini gila, dan Tuhan, apa yang Dia rencanakan.
“Tempat ini masih sama ya, seperti dua tahun lalu. Kamu betah
banget disini”
“Hheu iya, betah, tempat ini selalu memberi aku banyak inspirasi”
“Aku kangen sahabat-sahabat kita dulu, kemana ya mereka”
“Gak tahu mungkin sudah pada pulang, aku kan kurang akrab sama
mereka. heu”
Aku ambil kopi panas di depanku, diatas meja bulat. Berharap mereka
bisa menyela pembicaraanku, dan memberiku sedikit inspirasi untuk bertanya apa
saja pada Pras. Meja di depanku menjadi sasaran empuk untuk aku jatuhi
pandangan lekat. Ia berwarna putih, dan sudah agak pudar warnanya, tapi
bentuknya kecil membuat dia terlihat unik.
Kadang, korban pandanganku juga adalah kebun jagung di sebrang
jalan. Aku melihat mereka meliuk-liuk, dan seolah aku ancam mereka untuk
memberi tahuku sedikit pertanyaan yang bisa aku ajukan pada Pras.
“Kamu masih sama aja, diam terus. Ngobrol dong.. gak kangen sama
aku”
“Heu,, gimana kuliah disana? Apa yang bawa kamu kesini?”
“Ya gitu deh,”
“Gitu gimana? Singkat banget jawabnya. Ngeselin..”
“Aku mau tanya sesuatu, boleh?”
Dadaku mulai berdetak kencang, sepertinya aku tahu pertanyaan apa
yang akan dilontarkan oleh Pras.
“Ya,, silakan. Minta izin segala ni orang”
“hehe.. Sejak kapan nulis novel?”
Aku menggigit bibir, mataku bergerak kesana kemari. Bingung,
jawaban apa yang mesti aku keluarkan.
“Udah lama...”
“Ohh... aku baca novel kamu. Aku gak nyangka kamu bisa nulis
sebagus itu. Pras, siapa dia, kayaknya dalem banget kamu mengenalnya” matanya
menajam dan mengarah ke mataku, barangkali dia mencari kejujuran disana.
“Heeu,, khayalan Pras, dia nyata tapi khayalan buatku. Sorry aku
pake nama kamu, aku kira kamu gak bakalan baca buku aku. Aku juga gak nyangka
bakal selaku itu, novel aku padahal biasa banget. Aku aja gak yakin”
“Dari hati, biasanya tulisan yang dari hati akan sampai ke hati
juga”
“Kata siapa dari hati, dari komputer keless”
Pras hanya tersenyum saat aku lirik sebentar. Perbincangan
berhenti, aku mulai bingung lagi. Kaki ku ayun-ayunkan mencari kesibukan lain.
Pras menghadap ke arahku duduk dengan tangan dijulurkan diatas sandaran kursi.
Dan caranya duduk membuatku kikuk.
“Kamu mau cerita?”
Dan, aku seperti perempuan yang sedang disorot diatas panggung.
Dimintai pertanggung jawaban atas segala perbuatan. Pras seperti menikamkan
pisau di jantungku.
Aku ceritakan seluruhnya kepada Pras.
“Desember,”
Aku mengangguk tanpa berani menatapnya.
“Sekali ini aku minta maaf, Des. Kalau saja aku tahu dari dulu,
kalau saja kamu bilang itu dari dulu. Banyak kemungkinan yang bisa aku lakukan,
tapi sekarang aku sudah punya Satria.”
“Satria?”
“Ya, anakku”
Bibirku kaku, tidak ada kata yang bisa aku keluarkan. Tapi tidak
ada airmata yang jatuh, untung saja. Aku
malah merasa aku lebih tegar, dan menjadi pemenang di areal pertandingan itu.
Dan aku tersenyum, mendapati Pras yang nampak menyesal.
“Tidak apa-apa, meskipun begitu aku berhasil mencairkan seluruh
rasaku Pras. Sungguh tidak apa-apa”
Giliran Pras yang merunduk, mungkin menyesal dan aku yang berani
menatap sekujur tubuhnya. Keberanian bermuara dari kejujuran dan kemampuanku
untuk berhadapan dengan kenyataan yang pahit.
“Ini buatmu,”
Pras memberikan sebuah buku tulis dan pulpen. Dalam buku itu, ia
membuat sketsa wajahku. Ia menulis bahwa ia kagum kepadaku, bahkan sangat
kagum. Dan ia berkata
“Tetap jadi penulis, aku mengirimu cerita lagi. Mungkin ini jawaban
rindumu, maaf barangkali bukan kabar baik yang bisa aku berikan.”
Aku hanya tersenyum puas. Ya, benar kata Pras, inilah jawaban rindu
yang tidak pernah mencair itu. Jawaban itu hakku, dan yang berhak menjawab
hanya Tuhan yang memiliki beribu rahasia.
Kediri, 8 Januari 2015
Sentimeter Indonesia
Pare, sebuah
kampung di Tegalrejo ini menjadi sayap kebangkitan kota Kediri. Menjadi tempat
mengunduh ilmu bahasa. Kedatanganku kedua kalinya kesini menjadi perjumpaan
yang tidak biasa lagi.
Kereta yang
mengantarku ke Kediri seperti perjumpaan dengan kawan lama. Bahagia meski
kembali canggung. Kemudian ia menjadi tempat tidur paling nyaman saat
perjalanan. Lalu tepat di arah aku melihat ke kanan, aku melihat seorang lelaki
berkulit coklat tua duduk disana. Dengan pakaian hitam, dari wajahnya aku bisa
menebak kalau ia orang Jawa, maksudku dengan bahasa Jawa pula. Kemudian,
suasana Jawa mulai tercium dari pemuda itu.
Dua belas
jam kurang lebih, telah berlalu, perjalanan sudah sampai di statsiun
Lempuyangan. Stasiun yang sering aku temui, bercerita dan kurindukan. Kotanya selalu
memanggilku, selalu memberiku sebuah imajinasi untuk segera menyambanginya
sekedar berjalan kaki di senja hari atau menikmati terik mentarinya. Ya, Jogja
bagiku tidak hanya sekedar cantik, tapi anggun dan bersahaja.
Datang ke
gerbong satu, tempat dimana aku duduk dua orang berkacamata. Kulit sawo matang
dan hidung yang bagus. Bibir yang sama besar tapi tipis, serta berjaket merah
dengan kaos di dalamnya. Aku yakin dia seorang mahasiswa, dan ternyata benar,
setelah temanku sempat berbincang dengannya. Ia duduk di bangku yang sama
denganku. Tepat berada di depan kursi ku duduk. Sampai aku tidak tahu harus
membuang pandangan kemana, karena disampingku jendela, maka ku putuskan
berpura-pura melihat jendela di sebelahku. Padahal raut muka pria itu lebih
menarik.
Setelah dia
duduk aku tahu ada yang tidak beres dengan kepalaku. Khayalanku kembali liar
setelah melihat pemuda itu. Seluruh alam bawah sadarku bangkit menerka-nerka
ingin dan memintaku untuk tidak tinggal diam. Untuk sekedar bertanya,
berdiskusi atau membicarakan hal yang ia sukai. Aku yakin ia bukan lelaki yang
sering aku kenal. Ia pembaca buku, ia mencitai buku dan perempuan yang ia suka
adalah perempuan yang anggun dan berpenampilan bersahaja. Serta terlihat
solehah, berkacamata pula. Fikiranku kembali meracau, aku melihat jendela dan
memikirkan hal yang jauh dari kemugkinan. Aku berfikir untuk bisa berjalan
berdua dengannya bersepeda santai menyusuri kota Kediri. Sebab kebetulan dia
pun pergi ke Pare. Namun, kemudian aku mengingat bentuk tubuhku, caraku
berpakaian, caraku bersosialisasi dan akupun mengurungkan untuk melanjutkan
imajinasi liarku. Dan aku putuskan tidur saja sebelum akhirnya aku harus pindah
tempat duduk.
Perjalanan
kereta api adalah perjalanan yang paling berkesan. Tahui saja, Kereta Api itu
seperti raja di perjalanan. Ia menyingkirkan orang yang lewat di jalan untuk Ia
berjalan di rel. Ya, sebab ia raja kendaraan. Dan untuk orang kampung sepertiku
itu adalah hal yang sangat menyenangkan. Meskipun untuk kesekian puluh kalinya
aku naik kereta. Tapi kesannya selalu saja berbeda di setiap kesempatan. Dengan
kereta api kita diajak kembali ke alam. Menyapa alam dari sudut pandang
masing-masing yang melihat pemandangannya. Dan itu hanya bisa kau dapat dengan
hati yang tenang, dengan fikiran yang jernih. Maka, aku yakin senyummu akan
melebar saat kau melihat sawah-sawah yang terbentang luas. Hutan-hutan yang
seharusnya lebih rimbun, dan kebun-kebun yang bersahabat dengan petani.
Kemudian Cleaning
Servis Perjalanan mulai membersihkan kereta. Mereka menyusuri tiap
gerbong memunguti sampah yang berserakan. Ia adalah seorang bapak yang usianya
mungkin sudah 40-an dan seorang lelaki yang usianya sekitar 28-an. Mereka
kompak memunguti sampah. Hingga kemudian aku mendengar suara si bapak yang
berumur 40-an itu berbicara, dan memerhatikan koperku yang ada di bawah
menghalangi jalan. Si bapak bilang “nanti saya bereskan ya mbak kopernya”.
Dengan wajah datar namun penuh tanggung jawab dan rasa sayang. Demikian kesan
yang aku dapat. Si bapak itu kemudian menggeser ransel yang ada di atas dan
menempatkan koperku disana. “terimakasih ya pak” kata temanku. “Iya, sama-sama”
sambutnya masih dengan wajah yang datar namun terdengar sopan dari logat
Jawanya. Ah, sungguh.
Lalu stasiun
demi stasiun kereta menurunkan penumpang. Stasiun Madiun, Stasiun Barok,
stasiun Balapan, ahhh asyik sekali melihatnya. Yang di dalam, seperti keluarga
yang harus singgah di tempat-tempat yang mereka tuju. Tapi ada perasaan lega,
dan ingin tersenyum saja.
Kemudian,
aku turun di stasiun kediri. Membawa koper dan mengikuti orang-orang melewati
pintu yang sama. Sampai disana, sumringah yang ada. Perjalanan yang sangat
menggembirakan. Lalu, kita disambut oleh para lelaki yang berseragam kuning,
sponsor dari salah satu kartu perdana. Mereka tahu bahwa kami menuju ke Pare
dan menawarkan jasa becak untuk sampai ke tempat mobil yang menuju ke desa
Pare. Mereka menawarkan Jasa sebesar Rp. 20.000 untuk satu becak. Aku setuju
saja untuk membayar mereka sebesar itu, dan sebenarnya sama sekali tidak ingin
menawar kembali. Sebab, dari raut muka mereka aku melihat lelahnya mencari
uang. Legamnya kulit mereka yang harus mengakrabi matahari membuatku enggan
untuk menawar lebih rendah daripada harga itu. lalu, kami putuskan untuk naik
becak, meskipun temanku sempat enggan naik becak, sebab menurut informasi yang
ia dapat harganya cukup mahal.
Perjalanan
becak mengajaku menelusuri Kota Kediri meskipun sedikit, tapi lagi-lagi nuansa
Jawa membuat tubuhku memberikan respon positif untuk selalu menikmati
perjalanan, dan segala hal yang ada disana. Terik matahari tidak canggung ku
nikmati, sebab bagian dari Jawa adalah terik matahari.
Lalu becak
menurunkan kami di tempat lewatnya kendaraan umum menuju ke Pare. Ada tukang
becak juga disana. Dan mereka bertanya kepada kami hendak kemana. Entahlah,
yang selalu ku rasa dari logat Jawa adalah bahasa dan logat mereka yang selalu
anggun dan bersahaja. Lalu, mereka pun membantu kami memberhentikan setiap
kendaraan umum yang lewat yang memang tujuannya ke Pare.
Sedikit
informasi, di daerah Kediri memang kalau untuk pendatang akan sulit menemukan
kendaraan seperti di kota-kota besar, semisal Bandung yang memiliki banyak
kendaraan umum seperti angkot. Tapi di Kediri, kita tidak akan menemukan kendaraan
semacam itu, kendaraan umum yang dipakai lebih mirip kendaraan pribadi dan sebagian
kendaraan tidak ada tertera nama tujuan mobil tersebut. Maka, jika tidak
dibantu oleh tukang becak entah bagaimana aku mendapatkan kendaraan menuju ke
Pare.
Kemudian, aku
perhatikan supir yang membawa kendaraan ini. Ia berambut ikal dengan sedikit di
kepang ke belakang. Rautnya garang, tapi tutur bahasanya masih saja aku suka,
aku anggap bersahaja. Seperti itulah aku melihat orang Jawa hari ini.
Beberapa
orang kutemui disini, Pare kota kecil nan anggun. Kebunnya masih asli,
begitupun rumahnya, hanya sebagian rumah yang berukuran raksasa dan yang
lainnya masih mempertahankan kesederhanaan desa. Begitupun warung-warung makan.
Banyak warung makan sederhana dengan menu-menu kental jawa, bumbu yang tidak
begitu asin dan pecel. Fast food juga ada, tapi lidah dan hatiku lebih
akrab dengan makanan asli mereka.
Banyak orang
berharga yang aku temui kembali disini. Pertemuan dengan orang-orang disini
bukan tidak berarti, tetapi pasti akan ada yang paling berkesan dan ada juga yang berkesan biasa saja.
Orang kedua
setelah orang-orang yang kutemui di perjalanan itu adalah lelaki bertubuh
tinggi besar, jika orang lain berdiri disampingnya, orang itu akan terlihat
sangat pendek, apalagi yang memang asalnya pendek (hehe..) ia berkacamata, dan
berkening lebar. Ya, nampak seperti orang-orang pintar kebanyakan. Dan aku
tidak salah menilai, ternyata dia bukan orang bodoh.
Berasal dari
sebuah kota dekat Kediri, bernama Tulungagung. Dia sarjana bahasa Inggris dari
STKIP PGRI Tulungagung. Agak heran melihat anak ini, aku tidak pernah
melihatnya malas, mengeluh, atau murung. Keadaannya selalu bersemangat,
meskipun kadangkala dia mengantuk. Tapi, dalam keadaan sadar dia selalu
menunjukkan kesan semangat dimataku. Dan dia selalu mengharga waktu, aku tidak
pernah mendapati dia datang telat, kalaupun sudah melewati jam masuk, sudah di
pastikan di tidak masuk.
Dan suatu
hari aku pernah berbincang sedikit dengan lelaki berusia 23 tahun ini, dia
membawaku berbincang tentang keadaan anak muda zaman sekarang, tentang cabe-cabean
dan perkembangan zaman. Beberapa kali berbincang dengannya isinya bukan hal
biasa, menurutku. Tapi selalu ada kesan perjuangan, kritik sosial dan
“mahasiswa” itu ada pada dirinya.
Selain itu,
yang aku heran dia juga selalu cerita. Padahal orang-orang disekitarnya adalah
anak-anak yang baru keluar dari SMA. Aku saja tidak begitu kerasan bersama
mereka. Tapi cara dia menghadapi anak-anak itu lain, aku beranggapan mungkin
karena dia adalah figur guru. Tapi ternyata bukan hanya itu, dia beranggapan
untuk menjadi manusia besar, kita harus bisa masuk ke berbagai kalangan. Dan
itu, aku nilai dia berhasil. Sebab, aku
sendiri tidak mampu seperti itu.
Ya, akan
selalu ada seseorang yang berharga di balik orang seperti itu, begitupun dia.
Dari ceritanya, Ibu adalah inspirasi tertinggi baginya. Segalanya bagi dia.
Dan orang
selanjutnya yang aku temui disini, baru-baru ini adalah lelaki berbadan gemuk
berumur 28 tahun berasal dari Jogjakarta. Kita sempat berbincang di sebuah
angkirangan dekat kosan. Dari pembicaraannya dia orang yang banyak pengalaman.
Ya, dia pernah menjadi reporter sebuah surat kabar dan sekarang dia adalah
penulis di salah satu website besar indonesia. Tapi, sempat dia bilang, “jangan
anggap aku orang keren, itu bukan keinginan aku, itu karena kepepet. Jangan
ditiru” ungkap dia siang itu.
Dia pun
pernah kuliah selama dua tahun, tapi tidak pernah selesai. Dia bilang “Saya
hanya kuliah sampai saya tahu 5W+1H, setelah itu saya tidak lanjutkan kuliah
lagi” aku tanyakan pada dia kenapa. Dia hanya bilang bahwa dia kuliah hanya
ikut-ikutan saja. Dan jurusan yang
diambil pun asal. Dia ambil fakultas Komunikasi dengan konsentrasi periklanan.
“Kuliah
memang bukanlah tempat kita menggantungkan pekerjaan, tapi kuliah untuk
mendapatkan ijazah. Sebab, bukti nyata bagi orang tua adalah ijazah. Dia akan
merasa telah berhasil menjadi orang tua ketika mereka telah kita berikan bukti
ijazah. Mereka akan senang ketika kita mendapatkan ijazah kita. Soal nanti
dapat kerja atau tidak itu masalah lain.” Ungkapnya dengan nada nampak
menyesal. Karena dia harus ditinggal bapaknya beberapa waktu setelah dia
memutuskan berhenti kuliah.
Ia pun
bercerita tentang didikan bapaknya yang mebuat aku sendiri terheran-heran
dengan orang tua yang berani seperti itu. Dia bilang, ayahnya sering menampar
jika adiknya yang duduk di bangku sekolah dasar nyanyi-nyanyi lagu-lagu galau
zaman sekarang. Dan ayahnya lebih senang jika anaknya mengumpat saja jika dia
merasa sedih ataupun kesal. Tapi, itu harus dilakukan di rumah, tidak di tempat
lain.
Cara
pendidikan ayahnya memang unik. Ayahnya tidak pernah melarang dia merokok, tapi
dia berpesan untuk merokok di rumah saja. Tidak di tempat lain, dan jika
ketahuan merokok di luar rumah, maka kembali ke rumah tubuh tidak akan selamat.
Pasti akan ada yang kena dampar.
Dia sadar,
merokok di rumah itu tidak asyik. Karena keasyikan merokok itu adalah ketika
bersembunyi dari orang tua dan merokok disuatu tempat yang tersembunyi dari
orang tua. Itulah asyiknya merokok.
Aturan
paling ekstrim di keluarganya yaitu, ayahnya membolehkannya minum dan masih
sama, tempatnya hanya di rumah. Sebab, dia sendiri pernah ketahuan minum oleh
ayahnya bersama temannya. Dan akhirnya ayahnya berani membelikannya minuman
asal dia minum di rumah dan tidak diketahui ibunya. Dan lagi-lagi itu tidak
membuatnya ingin minum, karena baginya itu tidak asyik.
Selanjutnya
pesan-pesan ayahnya untuk dia dan adik-adiknya adalah dia boleh melakukan hal
apapun di luar, asalkan bertanggungjawab, tidak berbohong, dan tidak menyakiti
manusia manapun. Begitupun saat adiknya yang SMP harus melalui masa SMPnya
dengan tawuran. Ayahnya tidak bergeming melarang, pesannya hanya satu, jika
berantem dan pulang dengan babak belur. Jangan anggap mereka musuh, lalui
dengan rasa gembira dan pulanglah dengan tersenyum. Dan ya, adiknya pernah
pulang dengan keadaan babak belur dan bibirnya tidak sedikitpun terlihat dendam
tapi tetap tersenyum.
Hingga,
kelakuan paling parah membawa adiknya ke penjara. Dan saat itu juga adiknya
tidak tawuran lagi, sebabnya sepele. Karena ketika ayahnya menjenguk, ia tidak
marah atau mengumpati dia. Dia hanya bilang “Hebat kamu bisa sampai masuk
penjara, kamu tetap anak ayah, asal kamu tidak nyolong” ungkap ayahnya dengan
senyuman. Dan itulah yang membuat adiknya tidak kuat melihat raut wajah
ayahnya.
Ia datang ke
Pare dibiayai oleh bosnya untuk belajar bahasa. Tidak sama seperti mahasiswa
bahasa Inggris yang aku katakan tadi, semangat lelaki yang berasal dari Jogja
difokuskan pada pekerjaannya, dan dia bilang dia tidak kuat mengikuti
pelajaran. Dia pun berujar bahwa semua yang diberikan dan diulangankan itu
belum selesai disitu saja. Masih ada dunia nyata yang harus dihadapi. Sehingga
dia lebih sering bolos kelas untuk bekerja daripada masuk untuk mendengarkan
guru menjelaskan.
Tapi dia
tetap bertanggung jawab menjadi ketua kelas, dia tetap memberikan wejangan
kepada anak-anak kelasnya dan memberikan tanggungjawabnya sebagai ketua kelas.
Seperti mengakomodir keinginan anak-anak kelasnya saat akan liburan, atau untuk
sekedar menjenguk anak kelasnya yang sakit. Dia datang, meskipun pada waktu
mata pelajaran dia tidak datang.
To be continued...
BERBINCANG DENGAN WARNA
Sebagai pencerita aku berhak menceritakan apapun yang aku mau. Termasuk aku akan membentuk sendiri jalan ceritaku. Sebab inilah hidupku. Pilihanku bukan hidup dalam hidupku yang nyata, aku hanyalah kamera pengintai. Aku tidak bisa menikmati kebahagiaan mereka. aku hanya bisa melihat, dan berkhayal tertawa bersama mereka. Ya, karena bagiku aku adalah hal yang harus selalu disembunyikan dari apapun diluar diriku.
Mereka bilang aku orang aneh. Mereka
menjulukkiku si Hane, pelesetan dari aneh. Terserah mereka bilang apa, aku
nikmati yang sedang aku jalani dan pilih dalam hidupku.
Pilihan mengandung resiko, ya aku tahu itu.
dan sampai hari ini hidupku terasa begitu normal-normal saja, tak ada yang
berubah. Berjalan sendiri dengan sandal kuning yang murahan. Diantara mereka
yang berjejal dengan sepatu high heals yang menyusahkan. Cewek-cewek bercelana
jeans ketat, make up yang menor layaknya orang yang pergi kondangan atau
ibu-ibu arisan. Ah, gaya hidup bentukan dari modernisasi memang aneh.
Keadaan hidupku menjadi begitu terusik, saat
aku harus masuk kuliah di kelas yang penuh dengan perempuan-perempuan yang
kerjaannya hanya nongkrong saja, mereka bahkan tidak kenal bahkan bersentuhan
dengan buku. Satu hal yang sering aku dengar dari percakapan mereka, “Eh gue
pengen sepatu yang kayak gitu, lagi musim tuh”. Itu-itu saja setiap hari.
Sampai saat ini aku masih yakin bahwa
peradaban yang maju adalah peradaban yang menjadikan buku sebagai pasangan
hidupnya. Aku akan tua bersama karya, dan aku yakin orang-orang seperti itu
hanyalah manusia yang tidak tahu caranya berterimakasih kepada orang tua, dan
hanya menghabiskan uang ibunya saja.
Maka dari itu, aku lebih senang berjalan
sendiri, memerhatikan sekitar kemudian menuliskannya. Atau menikmati musik
sendiri di atas sepeda tuaku.
“Mas, kenapa diem aja sih?”
Perempuan berbibir merah merona, dengan
farfum menyengat mendekatiku dan menyapaku. Aku tidak menjawab dan fokus pada
buku bacaanku.
“Ya, ampun Mas, gitu banget sih”
Sambil berlalu mungkin dengan rasa malu dia
meninggalkanku. Aku lebiih senang dengan cerita di buku bacaanku dari pada
harus menanggapi perempuan tidak jelas itu.
***
Begitu jelas di telinga aku mendengar ibuku
sedang menangis di kamar. Aku tahu apa yang ia tangisi, ia merindukan bapak.
Aku hanya berlalu melewati kamarnya membiarkan dia menikmati kerinduannya. Dan
aku tidak pernah bertanya, apapun tentang kerinduan itu. sampai nanti aku
sendiri mengerti rasanya rindu itu seperti apa.
Sering ibu menangis begitu, setiap aku pulang
kampung sekali atau dua kali kudapati ibu menangis seperti itu. tapi di dalam
kamar, tak ia tunjukan kepadaku. Bahkan saat keluar dari kamar, wajahnya sudah
tegar lagi. Matanya sudah bersinar lagi.
“Nak, tinggal di rumah dulu yah sebentar, ibu
mau kerumah Bude dulu,” ucap ibuku sambil berlalu meninggalkanku di kamar.
Tubuhnya yang semakin mengecil karena lelah, dan dahinya yang semakin banyak
kerutan tersalip dikepala.
“iya bu, hati-hati” ucapku singkat.
Tidak berapa lama kemudian, ibu datang dengan
beberapa kain putih untuk para jemaah haji. Aku ingat kalau itu adalah kain
yang dibawa dari Bude, karena budeku mempunyai usaha travel haji.
“Apa itu bu,” tanyaku pada ibu, aku sedikit
gembira, apa mungkin ibu akan pergi umrah. Mungkin saja dia menyembunyikannya
dariku bahwa dia punya uang simpanan karena ibu rajin sekali menabung.
“Ini kain nak, ibu bantu-bantu Bude lumayan
buat tambahan uang jajanmu” ucap ibu sambil menyunggingkan senyuman yang
sepertinya ia paksakan untuk keluar.
Seketika mataku bergenang air, air mata yang
belum pernah keluar dari mataku sebelumnya menetes tepat di pipiku. Aku terpaku
dalam diam, menatap punggung ibu yang renta, dan tangan-tangan tua itu yang
berusaha memasukan benang dan payet-payet diantara kain-kain putih. Betapa aku
rasai tanganku sungguh tak berguna, kepalaku tak berguna, juga kakiku tidak
berguna.
Aku lepas kacamata yang aku pakai, karena
airmataku ternyata menggenang. Dan aku ingat, kacamata ini pun adalah pemberian
ibu. Dari hasil menjual hasil rempah. Setiap pagi giat menumbuh kopi, kopi dari
Budeku juga. Ia memberikan uangnya kepadaku untuk membeli kacamata, karena dia
tahu mataku mulai bermasalah saat belajar.
Tubuhku yang tinggi besar sungguh terasa tak
ada gunanya, hanya menemani ibu dengan peluh di kening, dan harus memutuskan
keinginannya sendiri untuk menjadi apa yang dia inginkan. Barangkali, kalau aku
tidak ada, ibu akan menjadi wanita karir di luar, karena aku tahu kemampuan ibu
tidak kalah hebat dengan ketua PKK di kampungku. Tapi ibu tidak ingin sekalipun
meninggalkan kami, anak-anaknya di tengah arus zaman yang tidak menentu,
apalagi setelah ayah pulang. Ibu semakin mengerahkan seluruh kemampuannya untuk
tetap membuat kami tersenyum.
Sedangkan aku, statusku sekarang adalah
mahasiswa. Aku masih bodoh, dan tidak bisa apa-apa. Tanganku saja masih di
ragukan oleh orang-orang.
Entah berapa lama ibu mengerjakan pekerjaan
itu, saat aku mengambil minuman malam-malam, ditemani dengan segelas kopi hitam
kesukaannya, ibu masih mengerjakan pekerjaannya. Matanya tidak lelah, campursari
menemani kerjanya di tengah malam.
Malam itu aku hampiri ibu, dan bercakap-cakap
dengannya. Aku dekat dengan ibu, jadi aku ceritakan apapun yang aku temukan di
kampus. Dan aku pun bercerita pada ibuku bahwa perempuan zaman sekarang tidak
ada yang seperti ibu.
Tapi seperti biasanya, ibu menjawab
persoalanku dengan tidak menyalahkan satu pihak. Ia selalu bersikap adil, baik
dalam ucapan ataupun perbuatan.
“Kau ini, jangan terlalu kesal sama orang
lain, nanti kamu cinta lho” canda ibu sambil tersenyum.
“Ah, ibu mana mungkin aku suka sama perempuan
yang tidak seperti ibu”.
“gini lho nak, manusia Tuhan ciptakan dengan
karakter yang berbeda-beda, zamannya juga beda. Kamu harusnya menjadi manusia
yang bisa menyesuaikan zaman. mereka seperti itu karena mereka hidupnya di
zaman sekarang. Mungkin kalau ibu hidup di zaman sekarang, ibu juga akan
seperti mereka. Dan tugas kamu nak, sebagai orang yang Tuhan beri kesadaran.
Dekatilah mereka, ajak mereka bicara, tanyakan apa yang mereka mau, kau sebagai
orang yang tahu, berilah mereka tahu. Sesungguhnya orang yang memberi itu lebih
baik daripada orang yang menerima, bukan? ah, kau anak kuliahan kau akan lebih
tahu. Dan kalau kamu mau perempuan seperti ibu, kamu bakal dapat nenek-nenek”
sambil terkekeh ibu menggodaku.
Setiap ibu berkata panjang lebar seperti itu,
aku hanya bisa mendengarkan dan dalam hati aku iyakan. Mataku juga tidak pernah
berkedip agar memastikan semua perkataan ibuku aku kutip dengan baik di dalam
sanubari.
Sambil menasehatiku, tangan ibu dengan lihai
memegang jarum dengan jemarinya yang mulai keriput dan terbakar sinar matahari.
Ia tusukkan ke bagian bawah kain, dan diatasnya ia pertemukan dengan kancing,
sehingga membentuk ikatan yang kuat.
“Bu, ibu mau aku jadi apa?” aku keluarkan
pertanyaan itu yang sedari dulu aku fikirkan.
“Kamu ini, ada-ada saja, kenapa kok kamu
bertanya seperti itu” sambil menyunggingkan senyum ibu menjawab pertanyaanku.
“He,, soalnya aku penasaran bu, kenapa ibu
selalu bekerja buat anakmu ini yang sudah besar. Kok mau-maunya ibu membiayai
aku dan adik-adik padahal belum tentu masa depan kami cerah lho bu”
“Nak, siapa yang bisa menjamin masa depan
seseorang. Siapa yang tahu, ibu hanya berusaha memenuhi kewajiban ibu sebagai
orang tua. Ibu hanya tandur nak, ibu sudah mengharamkan diri ibu untuk panen.
Ibu hanya memaksimalkan anggota tubuh ibu, jari, tangan, kaki karena sudah
Tuhan kasih”
Aku menundukan kepala, aku tahu ibu selalu
memiliki jawaban yang membuatku harus merunduk. Mencari lagi diri sendiri.
Aku tahu, aku belum membebani diriku dengan
kerja yang maksimal. Saat pelajaran aku masih sering mengantuk dan tidur.
Bahkan aku tidak tahu pelajaran apa yang aku dapatkan hari ini. Tapi, kau tahu,
meskipun ibu tidak pernah memberikan kata semangat, atau bualan kata semangat.
Manusia desa sepertiku tidak suka bergombal-gombal mengatakan hal apa yang
sering orang-orang kota lakukan.
Ibuku tidak begitu, aku bahkan tidak pernah
mengatakan kata sayang kepada dia. Tapi ibu tahu aku sangat sayang. Aku juga
tidak pernah mengucapkan selamat pada ibuku saat hari ibu tiba. Tidak seperti
yang lain. Tapi, aku yakin ibu tahu, bahwa cinta aku kepada ia tidak hanya
dengan ucapan selamat hari ibu. Bahkan aku tidak tahu hari ulang tahun ibu. Itu
pun tidak masalah baginya.
Maka dari itu, hal yang menyemangatiku, orang
kecil sepertiku adalah dari cara ibuku mengabdikan dirinya menjadi seorang ibu.
Melakukan kewajibannya dengan sempurna sebagai seorang ibu.
****
Aku renungi kembali perkataan ibu, bahwa kita
diciptakan berbeda-beda. Dengan keadaan dan zaman yang berbeda pula. Kelas yang
aku rasa sempit karena kesalnya aku melihat kelakuan anak-anak kelas, mulai aku
fikirkan matang-matang. Aku cari sampai ke akar, permasalahan kenapa aku sampai
berfikir seperti demikian.
Akhirnya aku tahu, aku memenjarakan diri
sendiri. Aku membuat neraka dari kepalaku sendiri. Melihat orang lain adalah
musuh besar yang harus dihindari adalah salah besar. Justru hal yang aku yakin
adalah penting adalah cara Tuhan menciptakan manusia. Kenapa mereka harus aku
kenal adalah karena mereka adalah partnerku dalam hidup. Mereka adalah
penyempurna kehidupanku.
Aku mencoba terbuka dengan mereka,
perempuan-perempuan yang tidak enak di pandangan itu. Orang pertama yang aku
kenal adalah Roma, dia anak yang paling update. Pakaiannya ketat sekali, dan
kadang dadanya terlihat. Ia berperawakan Barby, dan aku akui di cantik.
Ia orang pertama yang aku ajak bicara. Aku
ajak bicara dengan pembicaraan yang biasa-biasa saja. Dan dia memang atraktif,
seperti yang ilmu komunikasi bicarakan, orang seperti ini adalah orang yang
akan menarik si pembicara. Nada bicaranya lantang, matanya fokus melihatku
setiap apa yang aku bicarakan. Dan dia pun merespon setiap apa yang aku
bicarakan dengan gaya yang menarik.
“Apa yang kamu rasakan ketika berbicara
tentang ibu?” aku memberikan dia pertanyaan seperti itu.
“Ibu, ibu adalah kata yang paling sulit
buatku, sejujurnya. Sebab, aku tahu dia segalanya bagi aku. Speachless mas,
aku gak bisa bicara soal ibuku” dengan matanya yang berkaca-kaca.
Ternyata setelah aku bicara lebih jauh, Roma
memiliki seorang ibu yang sudah tidak bisa melakukan apapun. Penyakit menahun
yang dideritanya telah membuat saraf-saraf ibunya tidak berfungsi.
Aku ketahui lagi, bahwa Roma bekerja di
sebuah butik. Ia berbakat dan pintar mendesain pakaian. Jadi dia bekerja
disana, dan pekerjaan itu membentuknya menjadi perempuan seperti itu.
Tuhan, maafkan aku salah menilai orang.
Memang benar yang ibuku katakan. Bukan hanya Roma yang aku ajak bicara, Meri,
Andriani, dll. Mereka memiliki karakter yang berbeda. Dan ternyata mereka
adalah anak-anak yang penuh semangat. Dan satu orang yang paling pendiam. Dia
adalah Senja. Senja lain dengan yang lain. Dia tidak bertingkah seperti
perempuan-perempuan lain di kelas. Dia diam, hanya tersenyum saja jika melihat
hal-hal yang mungkin baginya menarik.
Dan aku dekati dia, aku bicara beberapa patah
kata dengannya. Masih belum ia menampakkan aslinya. Aku heran dengan anak ini.
Lelaki mana yang tidak penasaran dengan perempuan seperti dia, ia membuatku
penasaran. Dan aku hanya melihatnya dari jauh. Ia nampak seperti pemurung. Tapi
dari matanya tampak sinar lain, bercahaya.
Aku dekati ia hari demi hari. Senyumannya
semakin hari semakin berkembang. Aku yakin dia sudah mulai tertarik padaku. Aku
gali terus siapa dia, sampai pada akhirnya aku harus tahu bahwa dia adalah
seorang penulis muda berbakat yang tidak tulisannya sudah diterjemahkan kedalam
5 bahasa. Sialan, anak ini. Bagaimana mungkin aku tidak tahu.
***
Benar kata ibuku, aku tidak akan pernah tahu
dimensi setiap manusia tanpa aku melihat mereka dengan dekat. Terimakasih bu,
terimakasih Tuhan.
KEDIRI, 29
DESEMBER 2014
PEREMPUAN YANG MEMENJARAKAN DIRI
Pertemuan dengan seseorang mengandung makna Tuhan. Mengandung lebih
banyak makna Tuhan. Namanya Tyo, lelaki yang kutemui dua bulan yang lalu ditempat
aku bekerja. Dia baru masuk, begitupun aku.
Tak ada kesan saat pertama berpapasan di ruangan itu, semua orang
yang ditraining bermuka sama. Tidak ada yang menarik, mungkin juga karena aku
tidak terlalu tertarik dengan pekerjaan itu karena tidak mendapatkan panggilan
kerja lain.
Aku jenuh, bahkan kehilangan semangat mulai pertama kerja pun.
Seluruh ruangan senyap padahal banyak orang riuh, apalagi anak-anak sekolah
menengah yang baru lulus dan ikut training juga. Tingkah mereka aneh-aneh saja.
Dan aku, lebih memilih membiarkan suasana itu dan menikmati apa yang aku rasa
sendiri. Aku menjadi seorang individual, bekerja sendiri, dan mengutamakan
perasaan sendiri.
Yang ada, dari hari kehari, perasaanku semakin kacau. Tidak juga
aku mendapatkan kenyamanan berada di tempat itu. Seperti sebuah kesialan yang
aku ciptakan sendiri, isi dalam kepalaku hanyalah umpatan-umpatan yang tidak
juga memberi ruang pada keyakinan.
“Semangat”.. bisik seseorang ke telingaku.
Dalam lamunan aku terkaget. Dan mencari-cari darimana suara itu
berasal. Aku menoleh ke kanan, Tyo mengepalkan tangan semangatnya kepadaku. Dan
tidak lama, akupun mengerjakan kembali pekerjaanku, tanpa lupa membalasnya
dengan senyuman. Senyuman? Ya aku kembali tersenyum setelah entah berapa lama
aku tidak bergairah untuk tersenyum. Seperti orang yang dahaga, yang diberi
segelas air putih.
Perhatianku menjadi terpusat kepada Tyo, bagaimana tidak. Raut
wajahnya tidak pernah digambarkannya dengan perasaan kesal, sedih ataupun
jengah. Wajahnya seperti matahari yang selalu terang. Matahari yang tak pernah
bisa ditandingi awan, merekahkan bunga-bunga di sekelilingnya.
Dari hari ke hari semangatku mulai pulih, sebab aku ingat seseorang
yang duduk di sampingku. Dia selalu bersemangat, aku berfikir mungkin Tuhan
hanya menitipkan padanya satu rasa, semangat. Ia tidak pernah menoleh padaku
sebelum pekerjaannya selesai. Dan setelah selesai bekerja sesekali dia
mengajakku berbicara. Tapi aku tidak begitu percaya diri berbicara dengannya,
sehingga jawaban yang keluar dari mulutku tidak meyakinkan dan aku rasa aku
memang ragu mengatakan hal itu.
“Kuliah dimana?” sesekali dia menanyakan hal yang menurutku tidak
penting-penting amat.
Atau dia mengajakku membahas suatu hal,
“Bagaimana pendapatmu tentang universitas yang membatasi buku
rujukan skripsi hanya lima tahun terakhir?.” Ia bermuka serius setiap
berhadapan denganku, tapi tidak dengan yang lain.
Aku anggap dia orang berbahaya, maksudku dia bukan orang biasa yang
memiliki pemikiran yang sama dengan yang lainnya. Ia selalu tepat waktu, tidak
pernah aku melihatnya terlambat, lain dengan teman-teman sekantor yang
seringkali datang terlambat sampa setengah jam. Jika dia tidak datang sebelum
waktu kerja berarti dia tidak masuk kerja. Tubuhnya yang tinggi besar
mengalahkan orang-orang di sekitarnya, sehingga orang lain terlihat seperti
manusia-manusia kerdil. Dengan kacamata tebal dan kening yang lebar memberi
kesan bahwa dia orang cerdas.
Semakin hari keberadaannya menjadi hal yang wajib buatku. Tidak ada
dia perasanku menjadi tidak tenang. Padahal dia tidak melakukan apapun padaku,
bahkan menunjukkan suatu hal yang manis, tidak. Dia hanya menggodaku dengan
kerja keras, cara dia menghargai waktu serta caranya menghargai orang
disekelilingnya.
Pernah aku dapati dia menasihati seorang perempuan yang mungkin
bertingkah terlalu kekanak-kanakan.
“Kamu itu yang serius, ada waktunya serius ada waktunya bercanda.
Jangan keterlaluan, ingat ibumu di rumah berusaha keras agar kamu bisa tamat
sekolah...” nasihatnya kepada Mira anak tamatan SMA yang memang selalu
bertingkah berlebihan.
Orang itu ramah, tapi aku sendiri orang yang pasif. Aku tidak
pernah berani memberi sapa dia terlebih dahulu. Karena setiap akan aku ucapkan
satu hal, dalam kepalaku selalu ada ketakutan, aku takut salah. Ya, itu memang
hal bodoh yang sulit sekali hilang di kepalaku.
Sampai pada siang itu, tepatnya 6 Maret ternyata dia ulang tahun.
Aku tahu dia ulang tahun, tapi aku tidak mengucapkannya terlebih dahulu. Aku
baru mengucapkan selamat setelah teman-temanku yang lainpun mengucapkan
selamat. Senangnya aku bisa menjabat tangannya, ia menyalamiku dengan keras
tanda kepercayaan diri. Aku berlalu dengan senyum dan duduk kembali di tempat
kerjaku. Selanjutnya usianya yang sebenarnya aku tahu ketika menulis biodata
para pekerja magang.
***
Usiaku menginjak 23 tahun, usia dimana perempuan menginjak
kedewasaan. Bahkan fikirannyapun bukan lagi hanya mencari lelaki yang dia
inginkan, tapi lelaki yang bisa hidup bersamanya sampai tua. Pekerjaan, naik
jabatan, diterima kerja bukan hal utama ketika hal itu belum terwujudkan.
Begitupun halnya aku, hal yang masih mengganggu kepalaku adalah satu hal itu.
aku merindukan manusia yang akan mendampingiku segera datang.
“Kenapa melamun terus” Tyo menyapaku siang itu.
“Ga apa-apa” jawabku singkat karena terkejut, dengan tidak lupa
mengukir senyuman sebisa mungkin berharap dia tahu bahwa aku benar-benar
tertarik dan dia mengajakku berbicara lebih lama.
Dia menghampiriku, menarik kursinya dan duduk di dekat kursiku.
“Kamu gak mau sodakoh perkataan? Gak karena istilah diam itu emas
kan? Sodaqohlah, walaupun sedikit.” Ia menohokkan pertanyaan itu dengan muka
tegasnya, sehingga raut mukaku kurasa langsung berubah.
“Enggak” jawabku singkat kembali.
“Kalau kamu tidak berkomunikas dengan orang lain, kamu akan sulit
berkomunikasi dengan Tuhan.” Tegasnya.
Aku hanya diam terpaku, suasana sejenak berubah menjadi tidak
menentu. Antara malu, dan merasa bodoh. Aku mulai ragu untuk menggerakkan
badanku sendiri, apalagi untuk mengutarakan kata apa yang mesti aku ucapkan
pada Tyo untuk melanjutkan perbincangan. Padahal aku benar-benar ingin
berbincang dengannya. Tapi itu tidak terjadi, harapanku untuk berkata banyak
dengannya hanya tinggal di hati saja, tidak aku ungkapkan. Dan dia berlalu,
duduk di kursinya kembali. Dengan sesak dadaku, karena tak keluar kata yang
hendak aku ucapkan.
Tapi aku tetap bersyukur, karena begitu semakin hari perasaanku
semakin bergejolak menjadi sebuah kegelisahan. Dari itu aku bisa lebih banyak
mengarang, tulisanku bisa aku tumbuhkan. Dan kebiasaanku menulis seperti
didukung oleh semesta. Aku jadi ingat pesan ayah “penulis cerdas adalah ia yang
bisa berkarya dalam hal apapun”.
***
Pernahkah kau merindukan sesosok manusia di malam hari saat kau
terjaga untuk minum air putih atau buang air kecil? Aku sering, selama beberapa
hari terakhir pikiranku diracuni lelaki bertubuh tinggi besar itu. Dia
menyapaku setiap malam dalam khayalan. Dan rindu, hanya menguap tanpa ada yang
tertangkap kata. Tanpa ada kata yang sampai pada si rindu.
Yang tidak terbatas waktu bukan saja Tuhan, tapi kurasa rasa pun
begitu. Aku semakin menjadi mengaguminya. Yang terjadi denganku bukanlah
keberanian untuk mengajak Tyo bicara, tapi malah kemunduran diri untuk tidak berbicara,
menarik diri darinya. Sebab, ketakutan-ketakutan mulai berdatangan.
Semangatku datang ke tempat kerja, semata bukan karena pekerjaan.
Tapi bagaimana cara mengajak Tyo bicara. Kata-kata yang sudah ku rangkai di
kepala seketika beku saat berhadapan langsung dengan manusia itu.
“Apa kabar” sapanya pagi itu kepadaku.
“baik” jawabku singkat dengan senyuman yang semoga mantap untuk
diberikan pada manusia seperti dia.
Aku tidak bisa menyapanya balik, tidak ada hal yang aku rasa pantas
untuk aku tanyakan kepada seorang manusia tangguh, pemberani, dan yakin seperti
Tyo. Dan pertanyaan itu, kembali tertahan sampai di hati. Dan lagi lagi tidak
sampai ke bumi.
Bagiku setiap hari bukan usaha untuk lebih baik dalam bekerja. Aku
hanya memiliki satu tujuan saja, yaitu bagaimana caranya agar aku bisa merayu
hati dan fikiranku untuk keluar dari ketidaknyamanan ini. Untuk keluar dari
penjara yang aku buat sendiri. Aku sangat kagum pada Tyo, maka dari itu
hasratku untuk bisa lebih dekat dengan lelaki itu bisa terpenuhi. Bisa aku
wujudkan.
Ah, mungkin orang akan menganggapku orang gila dan orang bodoh yang
bercita-cita hanya secuil upil. Tapi bagi manusia sepertiku itu bukan hal
mudah. Manusia yang tidak pernah bisa menyapaikan rasa apapun yang dimilikinya
kepada orang yang membuat dia tertarik. Mungkin itu bukan hal sulit bagi orang
lain, tapi bagiku itu seperti membalikan sebuah gunung. Penuh keraguan, penuh
ketidakyakinan dan kepasrahan.
“Kemarin aku pulang, menjenguk ibu. Dia berdua bersama adik di
rumah. Jujur saja, aku tidak kuat kalau aku berbicara tentang ibu. Dia
pahlawanku, dan kemarin aku baru tahu kalau ibuku bekerja di budeku.
Bantu-bantu, menempelkan kancing.” Jelas aku dengar cerita Tyo kepada Budiman
yang tidak aku perhatikan dari awal apa yang mereka ceritakan. Aku dengar dia
terisak.
Aku diam dan aku mendengar dia melanjutkan pembicaraannya.
“Itu kenapa aku berusaha bersemangat disini, aku tidak boleh
ngantuk sedikitpun. Sebab, ibukupun di rumah bekerja tanpa mengenal waktu. Aku
harap kau pun menghargai waktumu Man” cerita Tyo kepada Budiman.
Dan akupun begitu,setiap ku dengar cerita seseorang tentang ibu,
aku langsung teringat ibuku dan tidak pernah bisa aku menahan airmata untuk
manusia yang bernama Ibu.
Aku diam, sampai pembicaraan mereka pun selesai karena Bos datang
memeriksa kami yang sedang bekerja. Dan aku tetap terpaku, merenungkan seluruh
perkataannya.
Dari minggu ke minggu aku semakin jarang berkomunikasi dengannya,
mungkin dia jengah menghadapiku. Atau mungkin dia mendapati aku yang tidak
begitu tertarik di matanya. Ah, entahlah. Dan itu membuat nafasku semakin
sesak. Padahal, aku selalu berusaha menarik dia kepadaku. Usahaku, diam di meja
kerja dan melamun lagi. Itu usahaku agar dia mau menyapaku. Tapi luput, tak ada
yang berhasil.
***
“Aku telah melakukan suatu hal konyol yang belum pernah aku lakukan
sebelumnya kepada lelaki manapun, mas” ucapku lirih saat senja mulai
mengucurkan warna merahnya di langit.
“Benarkah?” lelaki itu bertanya dengan menarik pandangannya ke
arahku.
“Ya, “ jawabku dengan kepala yang kusandarkan pada bahunya yang
kekar. bahu yang dulu hanya bisa kulihat dari balik meja kerjaku.
“Aku telah berhasil keluar dari penjara yang aku ciptakan sendiri.
Ternyata memang bebas itu indah ya mas” ungkapku kepada lelaki berkacamata dengan
perubahan rambut yang berubah warna menjadi putih.
“Ya, kita dipertemukan karena Tuhan menyuruhmu belajar. Aku pun
begitu” ucapnya kepadaku dengan tatapan yakin yang sama seperti ia lakukan
dulu.
Tyo, sekarang dia telah berada tepat disampingku. Senyumannya telah
menjadi milikku setiap pagi. Tatapan keyakinannya juga telah ia berikan
untukku. Bukan untuk yang lain. Dengan keluar dari zona nyamanku, memberinya
sebuah senyuman setiap pagi dan mengantarnya dengan sapaan yang telah aku
penjara selama beberapa lama.
“Selamat pagi” ucapku lirih pagi itu, dengan senyuman terbata yang
aku miliki.
“Pagi” balasnya. Dengan senyuman jernih penuh pertanyaan dimatanya.
Kalimat pembuka dariku membuka seluruh jalan di depanku. Seperti
sebuah pintu yang kembali aku temukan. Aku bisa berkomunikasi dengannya tanpa
ada penghalang apapun. Aku memerdekakan diriku dari ketakutan yang selama ini
menghalangiku untuk berkomunikasi dengannya. Aku mengalahkan keraguan, aku
berusaha mengikuti kata hatiku yang didalamnya terdapat petunjuk dari Tuhan.
Dan aku telah sampai pada hari tuaku, bersamanya.
KEDIRI, 29 DESEMBER 2014
Langganan:
Postingan (Atom)